Pertumbuhan benih mangrove, antara permintaan dan penyediaan

on Monday, February 7, 2011




Tulisan ini kami dedikasikan kepada dunia akademik, yang telah bersusah payah, melakukan penerapan teknologi demi perkembangan keilmuan di bidang mangrove. Walaupun masih belum mencapai hitungan puluan ribu, namun upaya kalangan akademik dan para peneliti dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang menggelayuti mangrove, patut diacungi jempol. Berikut catatan kami, mengenai hal terpuji tersebut.


Masalah mangrove, salah satunya, adalah masalah pertumbuhan. Pembenihan mangrove tergolong sangat lama, bahkan sampai sekitar 12 pekan (6 bulan) untuk mendapatkan bibit mangrove dengan 2 helai daun, terhitung sejak propagul. Sementara untuk mencapai taraf "propagul dengan satu tunas daun", propagul harus ditanam sekitar 45 hari (Yadi, 2005). Jika mempersiapkan bibit tanaman yang dikelola sendiri untuk memenuhi pesanan, membutuhkan waktu 6-8 bulan siap tanam. Sementara, pihak pemesan biasanya mematok waktu pemenuhan bibit, maksimal hanya 5 bulan. Padahal di lain hal, pemenuhan kebutuhan akan penyediaan bibit mangrove merupakan hal yang tak bisa dibantah, lebih-lebih untuk kawasan pantai yang mengalami krisis mangrove (sebuah realitas buruk yang terjadi di berbagai penjuru bumi). Di negara kita sendiri, tingkat kerusakan hutan mangrove sudah mencapai 68%. Kepedulian terhadap mangrove yang belakangan mengalami peningkatan, juga memberikan imbas kenaikan permintaan terhadap bibit mangrove siap tanam. Hal ini juga sekaligus memunculkan masalah baru, dimana permintaan yang sedemikian tingginya, ditambah lagi dengan terbatasnya waktu yang disediakan untuk memenuhi pemesanan bibit tersebut, sementara jumlah bibit yang tersedia tidak mencukupi.

Dunia kampus, ternyata tidak tinggal diam, menyikapi masalah tersebut. Dosen dan mahasiswa dari universitas Muhammadiyah Malang, pada tahun 2010 memunculkan ide untuk menerapkan kultur jaringan, sebagai salah satu cara perbanyakan tanaman secara vegetatif, kepada permasalahan penyediaan bibit mangrove. Sejatinya, kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbayakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril.

Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan ditengarai mempunyai beberapa penanda, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional. Sampai saat tulisan ini diturunkan, sayangnya belum terdapat jawaban dari upaya ini.

Permasalahan penyediaan bibit rupanya juga cukup menyedot perhatian civitas akademika bilamana dirunut lebih kebelakang. Tiga dosen muda dari UNdip pada bulan November 2003, melaporkan usaha mereka untuk melakukan pembenihan mangrove jenis Rhizopora mucronata diatas rakit apung. Teknik ini mengacu kepada keberhasilan metode yang serupa kepada rumput laut pada tahun 2002. Sayangnya, teknik ini belum memberikan hasil yang menggembirakan.
Tahun 2005, laboratorium Atom dan Nuklir Jurusan Fisika FMIPA UnDip pada bulan Mei sd Oktober 2005, mencoba menjawab permasalahan tersebut. Peradiasian plasma propagul mangrove, dengan harapan dapat mempercepat pertumbuhan mangrove sebagai bentuk implementasi upaya perbaikan kualitas tumbuhnya. Pilihan mereka sebagai bentuk terapan teknologi plasma di bidang biologi tanam-tanaman ini, didasarkan kepada kesuksesan peradiasian terhadap biji sawi, yang terbukti menghasilkan peningkatan prosentase perkecambahan tanaman sawi, dan peningkatan pertambahan panjang hipokotil secara signifikan. Upaya serupa pada propagul mangrove dari species Rhizopora apiculata, sayangnya masih belum memunculkan hasil yang menggembirakan.

Sebagai penutup, kami berikan sebagai ilustrasi tentang besarnya bisnis pengadaan bibit mangrove. Pada tahun 2005, melalui sebuah saluran informasi terbatas, ketika itu Departemen Kehutanan mengadakan proyek rekonstruksi Pantura Jawa Barat dengan penanaman 36.5 juta pohon Mangrove (Bakau) setiap tahunnya, untuk 7.300 ha di tahun 2005. Para pebisnis, kala itu sudah mulai menawarkan kerjasama penanaman investasi untuk membuat pembibitan Mangrove di Kabupaten Indramayu, sebanyak 1.000.000 batang/tahun, dengan spesifikasi bibit siap salur: tinggi 30 cm dengan minimal 4 daun, senilai @ Rp.1.500,- dengan harga pokok @Rp.825,- perbatang. Jangka proyek mulai Agustus s/d Desember 2005, dengan modal awal yang diperlukan Rp.175.000.000,- dengan share-profit 30% bagi investor. Alih-alih mempercepat proses, penawaran tersebut juga menyasar laboratorium kultur jaringan yang memiliki kemampuan menduplikasi tanaman Mangrove.

Demikianlah, berbagai ide dan metode yang dapat kami paparkan, dalam menjawab sebuah permasalahan yang muncul dari upaya mulia untuk merehabilitasi kondisi mangrove di nusantara. Semoga saja, paparan singkat ini dapat memberikan inspirasi bagi perkembangan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, untuk menjawab berbagai permasalahan yang muncul, khususnya seputar budidaya mangrove.

bersambuung....
(dpp)

Check Page Rank of your Web site pages instantly:

This page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service

Locations of visitors to this page