
Mobil tangguh untuk melihat mangrove
on Monday, December 6, 2010

Membaca berbagai "buku" tentang mangrove
on Wednesday, December 1, 2010



Membaca adalah suatu cara untuk mendapatkan informasi dari sesuatu yang ditulis. Membaca melibatkan pengenalan simbol yang menyusun sebuah bahasa. Membaca dan mendengar adalah 2 cara paling umum untuk mendapatkan informasi. Informasi yang didapat dari membaca dapat termasuk hiburan, khususnya saat membaca cerita fiksi atau humor.
Sebagian besar kegiatan membaca sebagian besar dilakukan dari kertas. Batu atau kapur di sebuah papan tulis bisa juga dibaca. Tampilan komputer dapat pula dibaca. Pembaca mangroveblog sekalian, untuk belajar tentang mangrove, anda juga perlu membaca, selain berdiskusi dengan para penggiat mangrove. Beberapa buku tentang mangrove dapat anda unduh dengan gratis melalui internet. Misalkan saja Mangrove Guidebook for Southeast Asia, yang diterbitkan FAO, yang bisa anda unduh disini, atau ada "pecahannya" yang bisa diunduh melalui ftp disini. Namun bagi anda yang merasa tidak memerlukan informasi di tingkat asia tenggara, maka anda dapat memilih buku terbitan Wetlands Indonesia tentang Panduan pengenalan mangrove di Indonesia (2006) disini. Atau anda lebih tertarik untuk mencari pengetahuan seputar olahan berbahan baku mangrove yang diterbitkan oleh Mangrove Action Project, Cooking with Mangrove disini, atau yang file pdf aslinya terbitan dari Yayasan Mangrove Indonesia disini. Bilamana lebih berminat pada sisi penghutanan mangrove, silvofishery dan beragam tetek bengeknya, worldagroforestrycentre, memberikan buku pdf berbahasa Indonesia, sebuah kompilasi abstrak agroforestry di Indonesia, disini. Global Nature Fund, tahun 2007, juga mengeluarkan Mangrove Rehabilitation Guidebook, post Tsunami Restoration of Mangroves, Education & Reestablishment of Livelihoods in Sri Lanka, yang dapat anda unduh disini.

Dari website Mangrove Action Project, kita dapat mengunduh buku-buku mengenai penggunaan bahan baku untuk berbagai bangunan di kawasan mangrove yang relatf ramah lingkungan, berikut teknik mengawetkannya, sebagai sebuah hasil pengalaman project mereka di Sulawesi disini dan disini.
Bahan menarik buat kalangan akademik yang berminat terhadap mangrove, dapat diunduh disini, tentang Biodiversitas Genetik, Spesies dan Ekosistem Mangrove di Jawa, yang diterbitkan oleh Jurusan FMIPA, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2002, sebagai peuntun praktikum analisis vegetasi di kawasan ekosistem mangrove.



Anda juga dapat menikmati dua karya mini biografi dari, Soni Mohson, salah satu pionir dalam konservasi mangrove di pantai timur Surabaya, dalam bentuk pdf, yang berjudul Tak Kenal menyerah disini atau atau Aku, anugerah dan Mangrove disini
Ada lagi satu buku yang cukup menarik, dari Six Senses Resorts & Spas, sebuah konsorsium resort dan spa management, yang memiliki jaringan cukup luas mulai dari Maldive, Thailand, Vietnam, Oman, Jordan, dan Spanyol. Tentang bagaimana bisnis ekoturisme yang berwawasan lingkungan disini. Mereka mengambil judul unik, The little green book.
Lebih menarik lagi, ada sebuah ilustrasi dalam bentuk animasi tentang proses kehidupan yang terjadi di ekosistem mangrove, yang sepertinya sangat berguna untuk penyuluhan kepada usia sekolah, disini. Bilamana untuk usia pra sekolah, bahan untuk kegiatan pengenalan mangrove, yakni dengan mewarnai berbagai species mangrove, disediakan oleh mangroveactionproject, dengan ijin dari JICA, disini. Delapan gambar hitam putih dari species Xilocarpus granatum, Sonneratia alba, Rhizopora mucronata, Rhizopora apiculata, Ceriops tagal, Brugueira gymnorrhiza, Avicennia marina, Aegiceras corniculatum, dapat menjadi bahan ampuh untuk penyuluhan mengenai mangrove sampai ke tingkat taman kanak-kanak.
Sumber Pustaka
Friendsofmangrove, Mangroveactionproject, Worldagroforestrycentre, FAO, Globalnature, Oneocean, Sixsenses
Keluarga besar Sonneratia
on Monday, November 29, 2010

Salah satu spesies "menarik" yang hidup di kawasan ekosistem mangrove adalah Sonneratia. Di dunia, Sonneratia memiliki anggota 20 spesies, namun di Indonesia lebih mudah menemukan 3 spesies dari genus Sonneratia, yaitu : Sonneratia alba, S. caseolaris, dan S. ovata. Salah satu jenis mangrove yang dimanfaatkan buahnya yaitu jenis pedada (Sonneratia caseolaris) yang hidup dan tumbuh di hutan mangrove. Tanaman ini memiliki daun berbentuk elips dan ujungnya memanjang dengan tulang daun berbentuk menjari. Bunga memiliki kelopak bunga mengkilat dan hijau serta datar dengan benang sari berwarna merah dan renggang. Buah ini memiliki morfologi yang sangat unik berbentuk bulat dengan diameter 6-8 cm. Namun demikian, warga asli di seputaran ekosistem mangrove, memberikan berbagai nama daerah antara lain pedada, perepat, pidada, bogem, bidada, posi – posi, wahat, putih, berapak, bangka, susup, kedada, muntu, pupat dan mange – mange. Wikipedia mencatat, bahwa Sonneratia sudah tidak masuk lagi kedalam suku Sonneratiaceae, tetapi telah menjadi suku Lythraceae.
Sonneratia memiliki "perawakan" sebagai pohon besar yang memiliki banyak sekali akar berbentuk serupa pensil yang mencuat ke atas. Bentuk akar ini merupakan bentuk adaptasi sonneratia untuk bernafas mengambil udara, karena kondisi tanah mangrove yang anoksik. Secara langsung bisa dikatakan kondisi anoksik adalah kondisi beracun, tapi arti sebenarnya dari anoksik adalah kurang oksigen atau tidak ada oksigen. Hal ini disebabkan ketidakberadaan oksigen di satu tempat bisa membuat satu pohon (dalam hal ini mangrove) bisa mati, oleh karena itu sonneratia "membuat" mekanisme akar nafas
Taman Nasional Baluran, memiliki koleksi sonneratia dari jenis alba (disana dikenal dengan nama Pedada). Pohon Pedada yang ada di TN Baluran memiliki ukuran keliling + 927 cm (9,27 m), tinggi bebas cabangnya + 15 m dan tinggi totalnya mencapai 25 m. Dapat dikatakan dengan ukurannya yang besar itu maka pohon Pedada ini merupakan yang terbesar di Indonesia atau mungkin di dunia. Hal ini didasari oleh pendapat Bapak Ir. Suwendra yang pada awal tahun 1990-an menjabat sebagai Kepala Seksi Pemanfaatan di Taman Nasional Baluran. Sebelum bertugas di Baluran, beliau pernah mengukur tanaman mangrove se- Indonesia dan menurut data yang ada pada waktu itu tercatat bahwa jenis pohon Sonneratia alba (Pedada) yang terbesar berada di Papua, dengan keliling pohon + 3 meter. Dan saat beliau mengukur pohon ini pertama kali diawal 90-an, kelilingnya masih + 4,5 meter. Pantai timur surabaya, memiliki dua jenis dari keluarga sonneratia, yakni dari jenis alba (Bogem prapat) dan caseolaris (bogem)
Sesama keluarga sonneratia, ternyata memiliki sifat yang berbeda-beda. Jenis alba, dikenal sebagai pionir, dan tidak toleran terhadap air tawar dalam periode yang lama. Menyukai tanah yang bercampur lumpur dan pasir, kadang-kadang pada batuan dan karang. Sering ditemukan di lokasi pesisir yang terlindung dari hempasan gelombang, juga di muara dan sekitar pulau-pulau lepas pantai. Di lokasi dimana jenis tumbuhan lain telah ditebang, maka jenis ini dapat membentuk tegakan yang padat. Sementara caseolaris memiliki kemiripan dengan jenis ovata, menyukai bagian yang kurang asin di hutan mangrove, pada tanah lumpur yang dalam, seringkali sepanjang sungai kecil dengan air yang mengalir pelan dan terpengaruh oleh pasang surut. Tidak pernah tumbuh pada pematang/ daerah berkarang. Juga tumbuh di sepanjang sungai, mulai dari bagian hulu dimana pengaruh pasang surut masih terasa, serta di areal yang masih didominasi oleh air tawar.
Sonneratia dikenal memiliki banyak manfaat, dan kegunaan. Primata pada umumnya sangat menyukai buah sonneratia yang rasanya asam ini. Mereka bahkan sudah mampu memilih, hanya buah yang matang saja yang bisa dimakan. Selain itu hewan pemakan buah yang lain, seperti kelelawar maupun burung, juga ikut menjadi 'penggemar" buah ini. Sementara manusia, dengan belajar dari kera, telah mampu mengolah sonneratia dari jenis caseolaris untuk diolah menjadi sirup. Di Sulawesi, kayunya dibuat untuk perahu dan bahan bangunan, atau sebagai bahan bakar ketika tidak ada bahan bakar lain, karena kayunya berkualitas rendah dan memiliki serat yang padat, jadi sulit untuk memanfaatkan kayu pohon pidada ini sebagai bahan baku mebel. Akar nafas digunakan oleh orang Irian untuk gabus dan pelampung.
Kalangan akademik juga tidak mau ketinggalan, terus meneliti manfaat spesies ini. Ilmuwan dari IPB mencoba mengekstrak daun, kelopak, buah dan biji Sonneralia alba dan S. caseolaris sebagai bahan alami antibakterial terhadap patogen Udang Windu, Vibrio harveyi. Sementara penggunaan ekstrak Rambai Bogem (Sonneratia alba) untuk menghambat pertumbuhan bakteri A. hydrophila penyebab MAS (Motile Aeromonas Septicemia)”, pernah dilakukan mahasiswi fakultas Perikanan, Universitas Lampung. Dalam buku Mangrove Guidebook for Southeast Asia, disebutkan bahwa di Papua Nugini telah ditemukan persilangan Sonneratia caseolaris dengan Sonneratia alba, yang dinamai Sonneratia X gulngai.
Terhadap lingkungan pesisir, sonneratia dari jenis alba dikenal sebagai tumbuhan perintis atau reklamasi. . Secara tidak langsung tumbuhan pidada maupun tumbuhan bakau lainya dapat mencegah erosi dan abrasi pantai dari pasang surut air laut, selain itu tumbuhan ini akan menjadi tempat tinggal hewan-hewan rawa, seperti kepiting, udang, kerang ikan, dan lain-lain. Pengetahuan yang memadai terhadap berbagai jenis spesies mangrove, akan memberikan manfaat yang besar bagi berbagai kalangan pendidikan dan organisasi yang ingin melakukan restorasi ekosistem mangrove di sekitar tempat mereka, dengan teknik replanting, dengan lebih mengedepankan fungsi, jenis dan keberadaan lahan yang akan ditanami. Pengetahuan tersebut akan memberikan kita pemahaman yang cukup, bahwa penanaman mangrove tidaklah sekedar seremonial, mengejar kecepatan tumbuh mangrove yang akan ditanam, namun juga memperhitungkan kebutuhan ekosistem terhadap jenis mangrove yang paling sesuai untuk ditanam, karena dalam ekosistem mangrove, terdapat zonasi yang membuat ekosistem mangrove tersebut dapat memfungsikan dirinya secara optimal sebagai penahan ombak, dan lain sebagainya.
Sonneratia alba
A. Umum
1. Komponen: termasuk komponen utama/mangrove mayor
2. Bentuk: pohon/perdu. Tinggi mencapai 16 m
3. Akar: akar nafas, berbentuk kerucut
4. Daun: susunan tunggal, bersilangan; bentuk oblong sampai bulat telur sungsang; ujung membundar sampai berlekuk; ukuran panjang 5 – 10 cm
5. Tipe biji: biji normal
6. Lainnya: bagian atas dan bawah permukaan daun hampir sama
7. Kulit kayu: halus, retak/celah searah longitudinal, warna kulit krem sampai coklat
8. Ciri khusus: tangkai daun pada bunga dewasa berwarna kuning, helai kelopak menyebar atau sedikit melengkung ke arah buah (pada S. ovata helai kelopak tegak pada buah)
9. Fenologi: berbunga sepanjang tahun (antara 3 – 4 bulan); berbuah pada bulan Mei – Juni dan Oktober – November; pembuahan sampai masak memakan waktu 2 – 3 bulan
10. Spesies yang mirip: S. caseolaris, S. ovata
11. Habitat: tumbuh di lumpur berpasir di muara sungai, sering ditemukan di daerah tepian yang menjorok ke laut, daerah dengan salinitas relatif tinggi
B. Bunga
1. Rangkaian: 1 sampai beberapa bunga bersusun, di ujung atau cabang/dahan pohon
2. Mahkota: putih
3. Kelopak: 6 – 8 helai, merah dan hijau
4. Benang sari: banyak, putih
5. Ukuran: diameter 5 – 8 cm
6. Lainnya: bunga sehari (ephemeral), terbuka menjelang malam hari dan berlangsung sepanjang malam, mengandung banyak madu pada pembuluh kelopak
C. Buah
1. Ukuran: diameter 3,5 – 4,5 cm
2. Warna: hijau
3. Permukaan: halus
4. Lainnya: kelopak berbentuk cawan, menutupi dasar buah, helai kelopak menyebar atau melengkung, berisi 150 – 200 biji dalam buah
Sonneratia caseolaris
A. Umum
1. Komponen: termasuk komponen utama/mangrove mayor
2. Bentuk: pohon, tinggi mencapai 16 m
3. Akar: akar nafas, berbentuk kerucut, tinggi dapat mencapai 1 m
4. Daun: susunan tunggal, bersilangan; bentuk jorong sampai oblong; ujung membundar, dengan ujung membengkok tajam yang menonjol; ukuran panjang 4 – 8 cm
5. Tipe biji: biji normal
6. Lainnya: ranting menjuntai
7. Kulit kayu: halus
8. Ciri khusus: bunga dewasa memiliki tangkai daun pendek dengan dasar berwarna kemerah-merahan, benang sari berwarna merah dan putih, akar nafas yang berkembang dengan baik dapat mencapai tinggi lebih dari 1 m, lebih tinggi dibandingkan S. alba
9. Spesies yang mirip: S. alba, S. ovata
10. Habitat: tumbuh di tepi muara sungai terutama pada daerah salinitas rendah dengan campuran air tawar
B. Bunga
1. Rangkaian: 1 sampai beberapa bunga bersusun, di ujung
2. Mahkota: merah
3. Kelopak: 6 – 8 helai, hijau
4. Benang sari: tak terhitung, merah dan putih
5. Ukuran: diameter 8 – 10 cm
6. Lainnya: bunga sehari (ephemeral), terbuka menjelang malam hari dan berlangsung sepanjang malam, mengandung banyak madu pada pembuluh kelopak
C. Buah
1. Ukuran: diameter 6 – 8 cm
2. Warna: hijau kekuning-kuningan
3. Permukaan: mengkilap
4. Lainnya: kelopak datar, memanjang horisontal, tidak menutupi buah, helai kelopak menyebar, buah lebih besar dari S. alba, mengandung 800 – 1200 biji dalam buah, dapat dimakan
Sumber:
Wikipedia
Wetlands
Proseanet
Kesemat
TN alas purwo
Blog Si ken arok
IPB
Blog Iqbal
Blog lidiabayang
Ekoturisme di ekosistem Mangrove pantai Timur Surabaya?
on Tuesday, November 16, 2010

Pernahkah anda melihat logo seperti disamping? Paling gampang adalah dengan mencarinya melalui google. Anda akan menemukiannya secara lebih mudah berkat bantuan mesin pencari tersebut.
Lalu bagaimana di Pantai Timur Surabaya? Apakah ada yang merindukan hadirnya sebuah lembaga dengan sertifikasi ramah lingkungan di pantai timur Surabaya? Apa pentingnya sertifikat ini buat ekosistem? Sepertinya akan mempersulit aktifitas arek2 Suroboyo dalam menikmati mangrove ya? Atau kayaknya itu sekedar akal2 asing belaka?

Paradigma pelestarian alam perlu dipikirkan untuk ditata ulang sehingga bukan saja menjadi kewajiban pemerintah, namun seluruh komunitas idealnya bersatu padu. Kesadaran akan pelestarian alam perlu dibentuk dari bawah. Oleh karena itu, perlu membangun konsep dan menerapkan prinsip-prinsip penyadaran komunitas untuk pelestarian alam yang antara lain melalui ekoturisme. Isu mana saja yang melatarbelakangi pengembangan ekoturisme itu? Apa sebenarnya ekoturisme tersebut? Bagaimana mengeksplorasi dan mengelaborasi ekoturisme?
Perkembangan industri pariwisata merupakan salah satu isu utama dari isu 4T dalam milenium ketiga. Keempat T tersebut adalah Transportation, Telecommunication, Tourism dan Technology. Artinya, pariwisata menjadi salah satu industri yang akan tumbuh dan dominan di berbagai belahan dunia pada milenium ketiga. Industri pariwisata selama milenium ketiga memiliki peran dan makna begitu tinggi dalam aspek kehidupan manusia.
Selain isu di atas, pemeliharaan lingkungan alam tiada hentinya menjadi isu penting dalam berbagai forum dunia. Lingkungan alam dijadikan basis pengembangan hampir keseluruhan industri. Pariwisata merupakan salah satu industri yang tidak luput dari tuntutan aplikasi pengembangan industri berwawasan pemeliharaan lingkungan alam tersebut.
Kerangka berpikir dan bekerja industri pariwisata berubah menjadi, bagaimana mengembangkan pariwisata tanpa mengubah dan merusak alam. Perumusan kerangka pengembangan pariwisata berwawasan pemeliharaan lingkungan adalah hal mendesak yang perlu direalisasikan. Makin mencuatnya isu pemeliharaan dan pelestarian alam diekspresikan antara lain dalam bentuk greenspeak. Greenspeak itu sendiri berkonotasi mendalam untuk kemaknaan “alam yang hijau dan terpelihara.” Oleh karena itu, serta-merta muncul isu go green. (Cooper;1997;WTO;2000).
Isu lain yang telah lama mengglobal adalah back to nature yang tidak luput menyentuh pengembangan pariwisata. Kembali ke alam menjalar bukan saja di negara-negara maju, tetapi juga masuk ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Indonesia memiliki kekayaan alam lebih dibanding negara lainnya di dunia. Alam hijau baik alam hutan maupun tanaman rekayasa manusia begitu melimpah. Dengan demikian Indonesia berpeluang membangun kepariwisataan yang berkelanjutan melalui pemeliharaan lingkungan alam.

Ekoturisme merupakan istilah berkonotasi pariwisata berwawasan lingkungan alam. Jenis wisata ini termasuk suatu bentuk pariwisata alternatif yang bertanggung jawab terhadap pelestarian lingkungan alam sekitarnya. World Tourism Organization (WTO) sebagai badan dunia kepariwisataan menggulirkan isu ekoturisme sejalan dengan manuver konservasi alam di berbagai belahan dunia.
Pemahaman masyarakat terhadap ekoturisme tidak jarang menyimpang dari makna yang sebenarnya. Ecotourism merupakan gabungan dari ecologycal dengan tourism. Ekologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya. Di Indonesia khususnya, keilmuan ini secara umum relatif belum berkembang sebagaimana diharapkan. Ilmu ini lebih banyak berkaitan erat dengan tatanan kehidupan manusia, baik manusia secara pasif sebagai bagian dari alam maupun manusia sebagai elemen aktif yang dapat merekayasa alam. Berbagai kegiatan kehidupan manusia yang berkaitan erat dengan ekologi antara lain kehidupan ekonomi, sosial, maupun budaya. (Hardesty;1977; Soewarno;2000).
Ecotourism atau ecologycal tourism diterjemahkan menjadi wisata ekologi, lengkapnya pariwisata ekologi, berarti bertanggung jawab atas perjalanan wisata ke area alam yang mampu memelihara lingkungan, serta bertanggung jawab untuk memelihara keberadaan manusia dan mahluk hidup di sekitarnya untuk tetap hidup aman dan nyaman dalam lingkungannya (Blangly dan Megan;1994). Tentu berbeda dengan hanya sekadar wisata alam. Karena itu penyetaraan makna ekoturisme dengan ‘wisata alam’ tentu saja tidak tepat.
Ekoturisme maknanya setara dengan pariwisata yang berwawasan konservasi lingkungan. Sementara itu, wisata alam adalah kegiatan berwisata di dalam lingkungan alam.

Apakah suatu kegiatan wisata alam merupakan ekoturisme? Mungkin ya mungkin tidak! Ini lain perkaranya! Kegiatan wisata alam umpamanya arung jeram, pendakian gunung, wisata selam, wisata tirta, berperahu ke kawasan mangrove dan sejenisnya. Seluruh contoh wisata alam tersebut belum tentu dapat dikualifikasikan ekoturisme. Mungkin saja pendakian gunung menimbulkan kerusakan pada lingkungan dan keaslian alam pegunungan tersebut. Oleh karena itu, wisata seperti itu tidak masuk kualifikasi wisata berwawasan pelestarian lingkungan alam. Karena itulah, ekoturisme ini sarat oleh aspek primer yakni, mengelaborasi alam untuk kepentingan pariwisata tanpa menurunkan kualitas alam, atau mengubahnya menjadi wujud intervensi penyebab degradasi ekosistem.
Tema mass tourism berubah dari sun, see, sand menjadi tema trilogi yang berorientasi pada alam yakni nature, nostalgia, nirvana (Cooper;1997). Aspek alam atau nature merupakan daya tarik wisata yang asli atau prestine form. Keaslian alam disajikan dan ditawarkan untuk menciptakan pengalaman wisata bermakna. Misalnya membiarkan dan tetap melestarikan keindahan alam bawah laut di Bunaken.

Sementara itu, nirvana merupakan istilah pengganti dari paradise atau surga yang telah lama dikenal dalam tema kepariwisataan tradisional. Nirvana ini dimaksudkan agar wisatawan dapat melepaskan segala kerisauan pikiran dan hatinya, sehingga dalam tahap akhir mereka memperoleh kesehatan spiritual. Misalnya, ketika memandang hamparan panorama keutuhan dan keindahan alam, maka tergeraklah hatinya dan menyadari betapa agungnya kebesaran Allah.
Akumulasi dari isu yang berorientasi terhadap alam, mendorong perumusan paradigma baru dalam pariwisata yang terkait dengan alam. Paradigma hijau atau green paradigm merupakan salah satu paradigma yang sinergis untuk pengembangan ekoturisme (Weaver;2000).
Paradigma lingkungan yang telah lama dikenal di negara-negara Barat jika dibandingkan dengan paradigma hijau, terdapat perbedaan mendasar. Marilah kita toleh beberapa hal penting diantara lingkup paradigma hijau tersebut. Manusia yang dulu dianggap bukan bagian dari alam, kini dianggap sebagai bagian dari alam. Dulu manusia menjadi superior terhadap alam, kini berkedudukan setara alam. Dulu diyakini setiap kejadian di masa akan datang dapat diprediksi, namun kini masa depan alam dianggap sulit bahkan tidak dapat diprediksi.
Hal lain seperti penggunaan teknologi. Dulu teknologi lebih berorientasi pada penggunaan hard technology, kini sebaliknya lebih pada soft technology. Berdasarkan paradigma hijau ini, maka bukan saja sebagai upaya ‘proksi’ atau program yang mirip-mirip, bahkan kepura-puraan deudeuh pada lingkungan alam, namun absolut dalam bentuk “perwujudan” wisata berbasis konservasi alam.
Prinsip ekoturisme
Suatu kegiatan pariwisata dapat dikategorikan pariwisata ekologi jika memenuhi 5 prinsip ekoturisme (Cooper;1997). Kelima prinsip tersebut, 1) prinsip sustainable adalah pariwisata yang berkonsentrasi pada penyokongan pelestarian alam, 2) bahwa lingkungan alam harus aman dan terjamin keselamatannya untuk dijadikan harta warisan bagi generasi mendatang. 3) pemeliharaan beragam mahluk yang ada di sekitarnya, baik manusia, hewan, tumbuhan dan lain-lainnya apa pun yang berasal dari alam dan hidup di alam bersangkutan. Keragaman makhluk hidup diyakini dapat bertahan jika secara ekosistem terjaga. 4) merumuskan perencanaan secara holistik dan mengimplementasikannya secara holistik pula. Harmonisasi alam dengan manusia dan totalitas lingkungannya (environmental integrity) harus jadi kenyataan. 5) carying capacity, artinya seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan pariwisata tersebut mendapat manfaat. Tingkat kemanfaatan harus diperoleh baik secara dimensional bagi penyedia maupun bagi wisatawan.

Sementara itu, jenis kedua menuntut perysaratan tidak seberat jenis sebelumnya. Tipe ini tentu lebih banyak diminati, namun demikian penerapan prinsip konservasi tetap menjadi panduan dalam mengembangkan jenis wisata ini.
Komunitas ekoturisme
Pengembangan pariwisata ekologi yang hati-hati (elaborasi) untuk kelestarian lingkungan tidak lepas dari dukungan komunitas di sekitarnya, baik dari masyarakat biasa maupun para pelaku dalam lingkungan industri dan pemerintahan. Beberapa pihak yang terinstitusi dalam pengembangan ekoturisme yang dikenal di Indonesia antara lain WALHI, ASITA, PHRI, HPI, PUTRI, pemda, Departemen Kelautan, Kehutanan, Kantor Lingkungan Hidup, LSM bidang lingkungan hidup, serta organisasi masyarakat setempat.
Pengembangan ekoturisme memerlukan kerja terpadu antara berbagai komponen masyarakat. Karena itu, perumusan berbagai kebijakan serta implementasinya, perlu melibatkan pihak terinstitusi untuk bekerja sama dalam suatu wahana. Wahana ini idealnya dibangun berdasarkan konsep bottom-up. Wadah yang dibentuk perlu dinasionalisasikan untuk membumikan ekoturisme di seluruh penjuru Tatar Nusantara ini.
Hal lain yang perlu diimplementasikan adalah prinsip-prinsip ekoturisme sehingga dengan aplikasi prinsip ini di samping akan banyak meraup devisa juga lingkungan alam tetap terjaga.
Beberapa hal penting perlu mendapat perhatian dari semua pihak terkait, 1) pengembangan ekoturisme perlu diyakini dan disadari berkontribusi menopang pelestarian lingkungan alam. 3) pengembangan ekoturisme perlu dibangun melalui totalitas upaya kebersamaan yang integral dalam suatu wahana komunitas kepariwisataan. 4) adanya kebutuhan mendesak membentuk asosiasi untuk mewahanai berbagai elemen yang terkait dalam pengembangan ekoturisme khususnya di tingkat daerah. 4) pelestarian lingkungan hendaknya menerapkan paradigma bottom-up yang dilengkapi konsep Atur-Diri-Sendiri (ADS) oleh komunitas ekoturisme. 5) perlunya mengembangkan ekoturisme secara hati-hati (elaborasi) agar lingkungan alam dan budaya masyarakat setempat tetap terjaga.

Apakah aktifitas wisata baik yang berlabel ekowisata maupun bukan, sudah memenuhi kriteria seperti yang kami paparkan diatas? Apakah dengan kondisi pelayanan wisata yang kami yakin sudah sangat dikenal khalayak surabaya ini, dapat menambah pemahaman terhadap mangrove dengan wawasan yang lebih luas. Atau apakah ditemukan adanya kerjasama yang berkesinambungan antara berbagai organisasi lingkungan khusus di bidang mangrove, seperti Wetlands Indonesia atau ecoton, dan jalinan dengan WWF Indonesia?
Cooper, secara gamblang, telah merumuskan kegiatan pariwisata yang dapat dikategorikan pariwisata ekologi, jika memenuhi 5 prinsip ekoturisme (Cooper;1997). Berdasarkan pemenuhan prinsipnya, pengembangan pariwisata berbasis pemeliharaan lingkungan ini dapat diketegorikan dalam hard ecotourism dan soft ecotourism. Hard ecotourism merupakan pengembangan wisata ekologi tanpa mengubah kondisi alam sekitarnya, tanpa penambahan aksesori apa pun yang menjadi daya tarik maupun sarana dan prasarana di tempat bersangkutan. Kondisi ini tentu amatlah berat. Jenis ini cocok dikembangkan di beberapa tempat umpama di daerah Kalimantan atau beberapa pulau kecil yang dimiliki Indonesia maupun di kawasan cagar alam, taman nasional, dan sejenisnya.
Ekoturisme di kawasan mangrove pantai timur Surabaya, seyogyanya mampu menjadi salah satu pilihan dalam mempromosikan lingkungan yang khas yang terjaga keasliannya sekaligus menjadi suatu kawasan kunjungan wisata. Potensi yang ada adalah suatu konsep pengembangan lingkungan yang berbasis pada pendekatan pemeliharaan dan konservasi alam. Konsep ini sangat unik dengan pengembangan dan pelibatan sector management yang terpadu serta seluruh stakeholders’ yang terkait. Namun pada prinsipnya cukup sederhana dengan pola management lingkungan yang rill.
Sekali lagi, konsep tersebut tidak akan terlepas dari:
1. Penataan Lingkungan Alami.
2. Nilai Pendidikan (Penelitian dan pengembangan).
3. Partisipasi Masyarakat Local dan Nilai Ekonomi.
4. Upaya Konservasi dan Pengelolaan Lingkungan.
5. Minimalisasi Dampak dan Pengaruh Lingkungan (tentunya dengan beberapa strategi khusus).

Untuk mudahnya kita bisa melihat beberapa contoh pengembangan kawasan wisata yang berbasis pada pemeliharaan lingkungan itu sendiri. Suatu kawasan akan bernilai lebih dan menjadi daya tarik tersendiri bagi orang jika di dalamnya terdapat suatu yang khas dan unik untuk di lihat dan di rasakan. Ini menjadi kunci dari suatu pengembangan kawasan wisata. Lebih jauh pada kawasan mangrove, dengan estetika wilayah pantai yang mempunyai berjuta tumbuhan dan hewan unik akan menjadi daya tarik tersendiri. Yang lebih penting lagi adalah nilai ekonomis, ekologis dan pendidikan yang sangat besar yang ada di kawasan hutan mangrove.
Promosi pengembangan hutan mangrove sebagai kawasan ekowisata harus lebih terpusat pada ketiga nilai tadi, tentunya dengan melihat pula keseimbangan ekologis dari seluruh potensi tadi.
Artikel ini semata-mata kami dedikasikan untuk memberikan sumbangsih pemikiran yang kiranya dapat membantu upaya pelestarian mangrove Pantai Timur Surabaya secara lebih bertanggung jawab dan lebih berpihak kepada "kepentingan Mangrove" itu sendiri, dan bukan berpangku kepada kepentingan bisnis apalagi politik praktis. Jawabannya, kami kembalikan kepada sidang pembaca yang terhormat, apakah di Surabaya, khususnya di pantai timur Surabaya, sudah memenuhi kriteria dan sertifikasi ekoturisme bertaraf Internasional.(dpp)
Pemanfaatan Mangrove sebagai Bahan Alternatif Pembuatan Makanan
on Tuesday, August 31, 2010

1. Brugulera gymnorhiza
Mengandung tanin yang dalam jumlah sedikit dapat mengurangi sakit perut, namun dalam jumlah banyak akan menjadi racun
A. Brugulera gymnorhiza sebagai Bahan Alternatif Pembuatan Tepung dan Beras
Bahan :
Cara Pembuatan :
Buah dikupas kulitnya kemudian daging buah dicincang sekecil mungkin
Untuk mengurangi kandungan tanin, buah yang telah dicincang direndam selama 3 hari dengan air biasa ( air diganti setiap hari ). Namun jika tergesa-gesa buah tidak perlu direndam melainkan dicuci sambil diremes-remes kemudian direbus dengan air yang telah mendidih sambil diaduk kurang lebih 20-30 menit
Buah yang telah direndam atau direbus dicuci dengan air biasa sambil diuleni
Buah dijemur di bawah sinar matahari kurang lebih hingga 1 hari
Buah yang telah dijemur akan kering dan menyusut, bila ingin langsung dijadikan nasi atau belendung buah direndam kemudian ditanak
Jika ingin dijadikan tepung, buah bisa langsung digiling setelah dijemur atau diblender dulu dalam keadaan basah sebelum dijemur, setelah jadi bubur dijemur di atas karung bekas baru digiling sampai halus.
Setelah digiling tepung di ayak, hasil pengayakan tepung yang halus digunakan sebagai tepung sebagai bahan dasar pembuatan roti, kerupuk, dll, hasil pengayakan tepung yang kasar dapat ditanak sebagai nasi.
Bahan :
Cara Pembuatan :
Tepung dari Brugulera gymnorhiza dicampur dengan tepung tapioka sebagai pelekat serta ditambah dengan sedikit air
Ditambahkan perasa pada adonan misalnya bawang putih, sari rajungan, dll
Adonan diuleni dan dibentuk seperti lontong
Adonan dikukus, kemudian diiris tipis
Jika ingin dijadikan cireng irisan adonan langsung digoreng
Jika ingin dijadikan kerupuk, irisan adonan dijemur di bawah sinar matahari selama kurang lebih 1 hari. Kerupuk yang masih mentah tersebut bisa langsung digoreng maupun disimpan. Jika disimpan, sebelum digoreng kerupuk yang masih mentah tersebut dijemur terlebih dahulu
C. Bruguiera gymnorhiza sebagai Bahan Alternatif Pembuatan Roti
Bahan :
Tepung 1 gelas, telur 6, ditambahkan ovalet secukupnya, pewarna coklat, mentega cair 250 gram, gula pasir 1 gelas, susu bubuk 1 saset, vanili 2
Cara pembuatan:
Tambahkan ovalet, gula, vanili, telur, di mixer hingga warnanya putih mengembang, di tambah pewarna coklat, susu bubuk, tepung, di aduk (mixer) masukkan mentega cair 1 ons, setelah itu masukkan ke loyang di oven ± 20 menit, roti siap di sajikan.
2. Sonneratia Caseolaris (Bogem) di manfaatkan sebagai Sirup Mangrove dan jenang
Cara pembuatan sirup:
Buah sonneratia, Kupas, cuci.
Di tambahkan air dengan perbandingan 1 kg:1 liter, misalnya 2 ons maka airnya sebanyak 200 mL.
Kemudian di rebus sampai buahnya lunak atau empuk, jangan sampai airnya mendidih. Setelah itu di dinginkan beberapa saat.
Buah di haluskan dalam panci, kemudian di saring dengan ayakan untuk memisahkan sari buah dengan daging buahnya.
Setelah terpisah antara daging buah dan sari buah, kemudian pada daging buah tadi ditambahkan lagi air sebanyak 1 liter lalu disaring lagi.
Lalu hasil saringan di saring kembali dengan kain, agar diperoleh air buah yang bebas dari ampas.
Akhirnya diperoleh sirup rasa buah Bogem.
Ampas sisa sirup dapat dibuat jenang dengan syarat ampas disisakan dengan kandungan airnya 30 %
Hasil akhir yang berupa sirup, direbus kembali dan ditambahkan gula sebanyak 2 kg. Dapat disimpulkan perbandingan buah,air dan gula adalah 1(kg):2(liter):2(kg)
Cara pembuatan jenang:
1 kg Sisa ampas sirup yang masih mengandung 30% air tadi atau 1 kg daging buah yang telah dimasak dan dilumatkan
250 gr tepung ketan
500 gr gula pasir
250 gr gula merah 2 liter air matang
Bahan-bahan diatas dimasukkan ke wajan besar secara bersamaan kemudian dicampur aduk sehingga semua bahan tercampur rata.
Lalu wajan di tempatkan pada kompor untuk memasak bahan-bahan yang ada di dadalamnya, kompor diatur dengan api kecil.
Pada saat memasak, bahan-bahan terus diaduk selama kurang lebih 4 jam
Ketika hampir 4 jam, saat jenang mulai lengket, maka tambahkan sedikitnya 1 ons mentega ke dalam wajan.
Setelah 4 jam maka diperoleh jenang bogem yang siap dicetak dan dimakan
Sumber; mangroviesta
Mencicip manis buah mangrove dari pantai timur Surabaya
on Friday, August 27, 2010
Tapi di ibukota propinsi Jawa Timur, Surabaya, penduduknya boleh menepuk dada. Karena selain kenangan heroik arek-arek suroboyo yang sudah tidak diragukan lagi, untuk soal sirup, mereka punya hal yang berbeda, yang boleh jadi tidak akan mudah ditemukan di tempat lain. Ya, surabaya boleh disebut metropolis dengan segala heterogenitas aktifitas enduduknya. Nun di pesisir timur surabaya, nyaris di ujung kali jagir-wonokromo, penduduk kota surabaya punya empu pengolah sirup modern berbahan dasar buah mangrove. Soal rasa? Hmmmm, banyak yang bilang seperti madu yaman.
Pantai timur surabaya boleh dibilang daerah pesisir kota yang unik. Kondisi masyarakatnya tidak seratus persen mewakili karakteristik masyarakat pesisir secara umumnya. Mereka sama seperti halnya penduduk kota besar lainnya yang kalau berbelanja masih memilih pergi ke mall, dan menonton gambar bergerak di jaringan bioskop terkemuka negeri ini. Hanya saja, lingkungan hidup sekitar rumah mereka didominasi ekosistem air payau.
Justru karena air yang payau itulah, mangrove dapat tumbuh, dan salah satunya adalah species Sonneratia caseolaris, atau masyarakat setempat mengenalnya dengan nama bogem. Nah, penduduk di sekitar muara sungai wonorejo ini sudah semenjak tahun 2004 silam mampu mengolah buah bogem yang telah masak, menjadi olahan sirup.
Adalah mohson, yang lebih akrab dipanggil soni, yang mengawali kiprah olahan sirup bogem mangrove ini. Setelah di tahun 2007 hasil olahannya mendapat sertifikasi dari Departemen Kesehatan, dan terdaftar di Disperindag, maka semenjak itulah hasil karyanya melanglang negeri. Dua menteri perikanan dan kelautan berturut-turut, Freddy Numberi dan fadel Muhammad, sudah beberapa kali mencicip manisnya olahan buah mangrove tersebut. Kebetulan dalam peresmian Puspa Agro, salah satu sentra pasar buah terbesar di jawa Timur yang peresmiannya dilakukan beberapa saat yang lalu, dihadiri empat menteri, dan seleuruhnya berkenan mampir dan mencicip sirup mangrove tersebut.
Bukan tanpa hambatan, untuk menyajikan sirup mangrove sehingga siap seduh. Keberadaan buah yang di mancanegara dikenal sebagai apple mangrove ini cukup sulit ditemukan. Bukan karena pohonnya yang mati, tetapi lebih karena perubahan musim yang membuat masa berbunga dan berbuah-nya menjadi tidak menentu. Namun kearifan lokal, sedikit mengatasi hal tersebut, sehingga pak mohson, mampu panen minimal 2 kilo buah apple mangrove setiap harinya.
Pemasaran sirup ini, walaupun masih belum masuk ke pasar, juga cukup menjanjikan. Pasalnya mereka yang sudah mencicipnya, pasti akan ketagihan untuk mencicipinya kembali. Beruntunglah kalian warga surabaya, sudah punya mangrove, bisa mencicipi manisnya pula. (dpp)
Dokumentasi Antarafoto
on Friday, July 30, 2010

SURABAYA, 29/7 - SIRUP MANGROVE. Seorang perempuan berada di balik jajaran botol sirup yang terbuat dari Bougem (buah Mangrove), saat Pameran UKM Surabaya di Balai Kota Surabaya, Kamis (29/7). Pameran UKM yang digelar dalam rangka Hari Keluarga Nasional dan Hari Koperasi tersebut, bertujuan untuk mengenalkan beberapa produk unggulan hasil inovasi warga Surabaya, yang dihasilkan dari kekayaan alam Surabaya. FOTO ANTARA/Eric Ireng/ss/NZ/10
Sirup mangrove Hadir di JHCC
on Tuesday, July 20, 2010

Dalam rangkaian Fashion and Craft 2010, Sirup Bogem tidak ketinggalan turut hadir meramaikan di JHCC, mulai tanggal 21 sampai dengan 25 Juli 2010. Kesempatan kali ini diwakili oleh Pak Saipul dan Pak Kaderi, dua praktisi mangrove dari Wonorejo yang turut mendampingi keberangkatan team dari Jawa Timur. Pameran ini sekaligus juga pameran perdana bagi Koperasi Mina mangrove Sejahtera. So, jangan lupa, bagi anda di seputaran Jakarta yang menginginkan merasakan nikmatnya sirup daru buah Sonneratia caseolaris, kami persilahkan mampir di stand No A18, Hall A, pameran Fashion and Craft 2010. Untuk harga per botol nya, mulai dari Rp. 20.000,-. Stock yang dibawa kali ini tidak terlalu banyak, pasalnya keberadaan buah bogem (atau orang jakarta mengnalnya dengan nama pidada) yang terlambat berbuah, sebagai akibat dari global warming. So, selamat bertemu dengan Ketan Mangrove dan Koperasi Mina Mangrove Sejahtera di JHCC.
Berbagi Ilmu di Gerbang Pulau Garam
on Monday, July 19, 2010
Berbagi Ilmu di Gerbang Pulau Garam
Wednesday, 14 July 2010 03:35
Pagi itu, Kamis 6 Mei lalu, matahari memanggang bumi Socah, Bangkalan, Madura. Di pintu gerbang Pulau Garam ini, langit terang benderang nyaris tanpa halangan barisan awan. Cuaca yang kurang bersahabat ini tak menghalangi langkah Mahrun dan Bilal, Ketua dan Sekretaris Kelompok Tani Karya Makmur, Desa Tengket, Arosbaya, Bangkalan, untuk menimba ilmu.
Dari Tengket, Mahrun dan Bilal berboncengan naik sepeda motor menuju kawasan Sembilangan, Socah. Mereka memenuhi undangan tim pengembang model Kelompok Studi (Pokdi) Pendidikan Masyarakat (Dikmas) BPPNFI Regional IV, untuk mengikuti diskusi kelompok terfokus. Diskusi itu digelar di sebuah rumah makan yang jaraknya sepelemparan batu saja dari Selat Madura.
Mahrun dan Bilal tak sendirian.
Ikut diundang pula Abdullah Hanafi MPd dari Universitas Negeri Malang (UM) selaku konsultan tim model, DR Imam Mukhlis dosen Fakultas Ekonomi UM, dan Sapto Andriyono, dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga, Surabaya. Selain itu, ada Muhammad Sony, Ketua Kelompok Tani Mangrove Wonorejo serta wakil dari Dinas Kehutanan dan Dinas Lingkungan Hidup Bangkalan.
Dari seluruh pembicara, paparan Muhammad Sony alias Muhson menarik banyak perhatian. Betapa tidak, sebagai seorang alumnus SMK jurusan kelistrikan, ia tak pernah menyangka kalau seperempat umurnya dihabiskan untuk mangrove seperti sekarang. Ibarat bumi dan langit, pria 47 tahun ini berurusan dengan hal yang berbeda 180 derajat dari latar belakangnya. Semua bermula ketika pria berkumis tebal ini hijrah bersama istri, Riyati dan tiga anak dari Bojonegoro ke Wonorejo, Surabaya, pada akhir 1997. Migrasi sejauh 120 Kilometer ini hanya untuk mencari pekerjaan.
Status sebagai mengantarkan Muhson terlibat dalam proyek pembangunan gardu induk tegangan ekstratinggi milik Perusahaan Listrik Negara. Selepas proyek itu, Muhson bekerja serabutan. Sampai akhirnya, ia bekerja pada sebuah proyek perumahan di dekat pantai Wonorejo pada 1998. Dilahirkan di tempat yang jauh dari pantai membuat Muhson penasaran. Demi memuaskan keinginannya menikmati pantai yang kini tak jauh dari rumahnya, dia memutuskan untuk melihat dari dekat.
Pada suatu akhir pekan, Muhson menggenjot sepedanya ke pesisir pantai Wonorejo. Apa daya, bayangan Muhson akan pantai yang indah jauh dari kenyataan. Aneka sampah rumah tangga menghiasi sekujur pesisir pantai berlumpur itu. Sebagian besar menutupi tunas-tunas bakau. Padahal, letak Pantai Wonorejo sangat strategis. Ia adalah muara Sungai Wonorejo dan Sungai Wonokromo.
“Muara adalah lahan subur untuk tanaman bakau,” katanya.
Atas dasar keprihatinan itu, Muhson memancangkan tekad untuk membersihkan sampah dari tunas-tunas bakau agar pertumbuhannya bisa optimal. Strategi pun dirancang. Setiap akhir pekan, Muhson bergerak sendirian ke tepi pantai untuk membersihkan sampah. Dia himpun sampah itu ke terpal raksasa yang dibelinya sendiri. Kewalahan membersihkan sampah sendiri, Muhson menyusun strategi lain. Dia dekati beberapa pekerja tambak untuk dimintai bantuan. Sebagai iming-iming, Muhson membawa rokok, serta puluhan nasi bungkus, dan air minum buatan sang istri. Makanan itu sengaja dibawa untuk menjamu makan siang para pekerja tambak.
Setelah tiga tahun berjuang membersihkan sampai, barulah Muhson menanam bibit-bibit bakau di pesisir Pantai Wonorejo. Bibit bakau diperoleh dari bogem (nama buah bakau dalam bahasa Jawa) yang berjatuhan di pantai. Dia meminta para pekerja tambak mengumpulkan bogem untuk dibelinya seharga Rp 25-50.
Sedikit demi sedikit, dalam tempo beberapa tahun, pesisir pantai Wonorejo mulai menghijau oleh hutan bakau. Bogem semula sekadar dimanfaatkan untuk bibit. Muhson belum mengetahui kalau buah sebesar bawang bombay ini bisa diolah menjadi produk pangan. Saat beristirahat di bawah rerimbunan pohon bakau pada 2007, Muhson mencium bau wangi laiknya buah apel dari jarak sepuluh meter. Penasaran, Muhson mendatangi asal bau. Teryata berasal dari bogem matang bekas gigitan hewan yang berjatuhan di akar bakau.
”Saya pikir manis, langsung saya gigit bogemnya. Ternyata kecut (asam),” tukasnya
Yakin bahwa ada sesuatu yang bisa dimanfaatkan dari aroma harum itu, Muhson membawa pulang beberapa bogem.
”Kalau hewan saja suka, pasti ada sesuatu yang bisa dibuat dari bogem itu,” ungkapnya.
Selanjutnya, Muhson mengupas, mencuci, dan melumatkan bogem untuk diperas airnya. Proses berikutnya, air perasan bogem disaring lalu dicampur gula pasir. Jadilah sirup bogem. Rasanya manis-asam segar mirip sirup buah leci. Sirup ini kerap disajikan Muhson ketika menjamu tamu atau saat ada kegiatan kerja bakti warga.
”Ternyata banyak yang suka dengan sirup bogem ini,” ucapnya bangga.
Muhson makin bersemangat mengolah daging bogem. Melalui serangkaian eksperimen bersama kelompok taninya, Muhson berhasil membuat jenang dan tepung dari bogem. Namun, tidak semua jenis bogem bisa dijadikan makanan enak dan bergizi. Untuk sirup dan jenang, bogem yang cocok diolah adalah bogem jenis pedada (Sonneratia alba). Bogem ini mengandung banyak vitamin C namun rendah kalori. Khusus bogem linaur (Bruguiera gymnoriza) hanya bisa diolah menjadi tepung untuk dipakai sebagai bahan dasar kue. Kendati olahan bogem mereka makin dikenal luas, kemampuan pembuatannya masih terbatas di tingkat industri rumah tangga.
”Semua masih dikerjakan sendiri untuk menjaga kualitas,” tambah Muhson.
Harga jualnya beragam. Sirup dibandrol Rp 15 ribu per botol sedangkan jenang dipatok Rp 8 ribu per kotak. Untuk tepung, menurut Muhson, tidak dijual karena dimanfaatkan sebagai bahan baku ketika memberikan pelatihan.
Keberhasilan Muhson merehabilitasi pesisir pantai bergema luas. Dia kemudian diminta membantu rehabilitasi pantai di wilayah Gresik dan Sidoarjo.
Pengalamannya pun dibagi melalui pelatihan di berbagai wilayah di Indonesia.
Selesai membagi pengalamannya, Muhson dihujani pertanyaan. Mahrun dan Bilas bertanya lebih jauh mengenai teknis pengolahan bogem. “Kami belum mengolah bogen karena belum tahu bogen jenis apa yang tumbuh di daerah kami,” ujar Mahrun.
Muhson menanggapi dengan menyampaikan janji untuk membantu identifikasi bogem di wilayah Tengket. Lebih dari itu, Muhson menekankan pentingnya mengubah cara berpikir dari menebang bakau menjadi mengolah buah bakau.
Hanya dengan cara ini kelestarian lingkungan pesisir pantai dan rantai ekosistem akan terjaga. (mss)
Last Updated on Wednesday, 14 July 2010 03:54
‘World Atlas of Mangroves’ Terbaru Diluncurkan
on Sunday, July 18, 2010

Atlas Mangrove Dunia (World Atlas of Mangroves) terbitan Earthscan diluncurkan sejak bulan Juni 2010. Atlas ini memuat informasi sebaran dan keadaan terkini ekosistem mangrove di hampir seluruh negara-negara yang berada di kawasan tropis maupun sub-tropis yang memiliki bentangan hutan mangrove (123-124 negara). Publikasi ini merupakan luaran dari proyek yang dirintis dan dijalankan oleh ITTO (International Tropical Timber Organization) bersama lembaga-lembaga internasional lainya seperti ISME (International Society for Mangrove Ecosystem), UNEP (United Nations Environment Program), UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization), UNU (United Nations University) dan TNC (The Nature Conservancy) sejak tahun 2005.
UNEP dalam rilisnya (14/07/2010) menyebutkan bahwa Atlas ini menggambarkan kecenderungan yang positif secara global dalam upaya konservasi dan restorasi hutan mangrove dunia. Hampir 400 ribu ha areal kawasan mangrove di berbagai belahan dunia mendapat dukungan restorasi. Kondisi ini tak lain dari meningkatnya kesadaran pemerintah sejumlah negara akan pentingnya jasa lingkungan hutan mangrove dan juga untuk kepentingan cadangan dan penyimpan karbon menyahuti isu perubahan iklim. Meskipun demikian, tetap saja deforestrasi hutan mangrove masih jauh lebih tinggi, sekitar 3-4 kali, dibandingkan dengan tipe atau jenis hutan lainnya dalam 10 tahun terakhir.
Sebelumnya, rilis FAO (31/01/2008) menegaskan bahwa mangrove dunia telah hilang seluas 3,6 juta ha sejak tahun 1980 dengan presentase kehilangan sebesar 20% dari total luasan mangrove dunia (18.8 juta ha pada tahun 1980) menjadi sebesar 15,2 juta ha pada tahun 2005 sebagaimana laporan FAO “The World’s Mangroves 1980-2005” yang dipublikasi pada tahun 2007.
Berdasarkan laporan FAO 2007 tersebut dan sebagaimana tersaji pada World Atlas of Mangroves 2010, menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan mangrove terluas didunia (sekitar 3 juta ha) atau sekitar 21% dari total dunia. Tidak hanya itu, laporan FAO tersebut memperlihatkan bahwa Indonesia juga memiliki kekayaan jenis mangrove-sejati tertinggi, yaitu sebanyak 43 jenis (dari 71 jenis). Namun ironisnya, laporan FAO tersebut juga menunjukkan bahwa laju deforestrasi hutan mangrove Indonesia paling tinggi didunia sepanjang 1980-2005, yaitu: tertinggi sekitar 70 ribu ha untuk periode 1980-1990; turun menjadi 35 ribu ha pada periode 1990-2000; dan naik lagi menjadi 50 ribu ha dalam periode 2000-2005.
Atlas ini turut membeberkan bahwa ancaman terbesar yang dihadapi oleh mangrove dunia adalah alih fungsi lahan menjadi tambak (kegiatan akualkultur), pertanian dan pembangunan perkotaan termasuk permukiman, industri, pariwisata dan sebagainya. Tidak diketahui pasti apakah laporan ini juga menyebutkan secara pasti berapakah luas hutan mangrove yang dikonversi akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit?
Ya, yang pasti Atlas ini dibandrol seharga 65 Pound Sterling atau berkisar 898 ribu Rupiah. Sila berkunjung ke
About this Book - World Atlas of Mangrove
This atlas provides the first truly global assessment of the state of the world’s mangroves. Written by the leading expert on mangroves with support from the top international researchers and conservation organizations, this full color atlas contains 60 full-page maps, hundreds of photographs and illustrations and a comprehensive country-by-country assessment of mangroves.
Included are the first detailed estimates of changes in mangrove forestcover worldwide and at regional and national levels, an assessment of these changes and a country-by-country examination of biodiversity protection. The book also presents a wealth of global statistics on biodiversity, habitat area, loss and economic value which provide a unique record of mangroves against which future threats and changes can be evaluated. Case-studies, written by regional experts, provide insights into regional mangrove issues, including primary and potential productivity, biodiversity, and information on present and traditional uses and values and sustainable management.
Published with ISME, ITTO and project partners FAO, UNESCO-MAB, UNEP-WCMC and UNU-INWEH.
PRODUCT DESCRIPTIONS:
Binding: Hardcover
Dewey Decimal Number: 577.698
EAN: 9781844076574
ISBN: 1844076571
Label: Earthscan Publications Ltd.
Manufacturer: Earthscan Publications Ltd.
Number Of Items: 1
Number Of Pages: 304
Publication Date: 2010-06
Publisher: Earthscan Publications Ltd.
Studio: Earthscan Publications Ltd.
Blogwalking: Jagomakan dan mangroviesta
on Friday, July 16, 2010


Berjalan-jalan ke blog kuliner, menjadi salah satu kesenangan pengolola mangroveblog, karena selain mendapatkan informasi tempat makan enak, juga ternyata membuat mata terhibur, dengan sajian tampilan makanan yang berhasil tertangkap oleh kamera. Salah satunya adalah blog jagomakan, yang menganggkat profil ketua kelompok tani mangrove Wonorejo, Pak Soni Mohson. Berikut tulisananya, secara lebih lengkap, dapat dibaca disini. Walaupun artikel tersebut ditulis sudah cukup lama, bulan september 2009 lalu, namun informasinya masih cukup menyegarkan.
Jalan-jalan ini masih diteruskan, ke salah satu blog di wordpress, yang menyajikan tentang resep yang dipakai oleh Pak Soni Mohson dalam mengolah buah sonneratia menjadi sirup. Anda dapat membacanya secara lebih lengkap disini. Sebagioan tulisan dari blog tersebut di copy paste di bawah ini.
- Buah sonneratia, Kupas, cuci.
- Di tambahkan air dengan perbandingan 1 kg:1 liter, misalnya 2 ons maka airnya sebanyak 200 mL.
- Kemudian di rebus sampai buahnya lunak atau empuk, jangan sampai airnya mendidih. Setelah itu di dinginkan beberapa saat.
- Buah di haluskan dalam panci, kemudian di saring dengan ayakan untuk memisahkan sari buah dengan daging buahnya.
- Setelah terpisah antara daging buah dan sari buah, kemudian pada daging buah tadi ditambahkan lagi air sebanyak 1 liter lalu disaring lagi.
- Lalu hasil saringan di saring kembali dengan kain, agar diperoleh air buah yang bebas dari ampas.
- Akhirnya diperoleh sirup rasa buah Bogem.
- Ampas sisa sirup dapat dibuat jenang dengan syarat ampas disisakan dengan kandungan airnya 30 %
- Hasil akhir yang berupa sirup, direbus kembali dan ditambahkan gula sebanyak 2 kg. Dapat disimpulkan perbandingan buah,air dan gula adalah 1(kg):2(liter):2(kg)
Mangroves Are Nurseries for Reef Fish, Study Finds
on Saturday, July 3, 2010

Mangroves Are Nurseries for Reef Fish, Study Finds
John Roach
for National Geographic News
February 4, 2004
Mangroves—forests of tropical trees and shrubs rooted in saltwater
sediments between the coast and the sea—are crucial nurseries for
coral reef fish, according to a new study.
The finding highlights the importance of the rapidly dwindling habitats to reef communities.
"Beyond showing they are important, we showed they are much more important than even assumed," said Peter Mumby, a marine biologist at the University of Exeter, England.
Mumby and his colleagues found that mangroves serve as a vital, intermediate nursery as coral reef fish journey from their cribs in seagrass beds to the large coral reef ecosystems that fringe coastal communities.
Coral reef fish were up to twice as abundant on reefs adjacent to mangrove forests compared to reefs that weren't, researchers found. They also learned at least one species, the rainbow parrotfish (Scarus guacamaia), depends on mangroves for its very survival.
The study will appear in tomorrow's issue of the science journal Nature and was supported by a grant from the National Geographic Society's Committee for Research and Exploration.
Mangrove Conservation
Mumby and his colleagues believe that conservation efforts are necessary to protect connected corridors of mangroves, seagrass beds, and coral reefs to maintain the resiliency of coral reef ecosystems—and their productivity for fisheries.
Ivan Valiela, a marine biologist with Boston University's Marine Biological Laboratory in Woods Hole, Massachusetts, agrees. He said the research reinforces the concept that individual ecological units—mangroves, reefs, land—are crucially intertwined.
"Maintenance of these important environments therefore has to be done from a wider perspective," he said. "This whole set of concepts bears on the issue of setting up coastal reserves, national parks, maintaining commercial stocks, and a host of other management issues."
Nursery School
Mangrove forests are home to an abundance of wildlife. Above water, butterflies, birds, and mosquitoes zip around the canopy. Snakes, crocodiles, and crabs scurry and swim about the forest floor. And in India, Bengal tigers (Panthera tigris) laze in forest branches.
"You tend to find mangroves form this very dense network of channels and creeks that are very, very calm and peaceful but also [teem] with all sorts of life," said Mumby.
Researchers have long known that fish often mature in the murky saltwater amid the tangled labyrinths of roots created by mangroves. But according to Mumby, the importance of these nurseries to reef fish communities had never been quantified.
Factors such as fishing pressure and larval supply were thought to be more important to the structure and abundance of reef fish than the presence or absence of mangrove forests.
Since juvenile fish are known to hang out in other habitats like seagrass beds and small, protected patch reefs before venturing out to large reefs, researchers sought to answer a key question: In the absence of mangroves, wouldn't these other habitats suffice?
To find out, they sought coral reefs so isolated from mangroves that it would be impossible for fish from mangrove habitats to reach them. They found such reefs in Belize.
"In Belize, we have the unusual situation of offshore reef atolls with massive amounts of mangroves as well as atolls with nothing at all," said Mumby.
The researchers contrasted the populations of 164 fish species in the two different habitats. They found that mangroves serve as an intermediate nursery, making for much healthier and robust coral reef fish communities.
Mumby explained that the fish start out in seagrass beds, but once they grow two to three inches (five to eight centimeters) they are too big to hide from predators there. At that point they move into mangroves, which offer murky hiding spots and abundant food.
"They survive well in the mangroves until they are a bit larger," said Mumby. "But at some point they need to move to the reef. We are not sure why they move to the reef, but [we] suspect it's a good place to reproduce."
Once they grow big enough in the mangrove, the fish swim out to patch reefs in the lagoon. There, they co-exist with thousands of other juvenile fish, packing on girth in order to reach and survive on the larger, fringing reef.
In the absence of mangroves, fish swim directly from the seagrass beds to the patch reefs. But because they are smaller, predators catch them more easily, said Mumby.
Mangrove Destruction
Previous research by Valiela indicated mangroves are being destroyed more than twice as quickly as the well-publicized destruction of tropical rain forests. "We, by no means, expected to find the rates we in fact calculated," he said.
In the past, mangroves were deemed a mosquito-infested nuisance to waterfront home development and razed. Today, they are mostly cleared to make way for shrimp farms.
Mangroves provide important functions, including processing land-derived nutrients, serving as a buffer against pollution runoff, and filtering food for marine mammals.
The finding that mangroves serve as crucial nurseries for coral reef fish highlights another reason to conserve these rapidly disappearing habitats. "To really sustain fish, one thing you should aim to do is conserve a certain amount of mangroves," said Mumby.
According to Valiela, this is easier said than done. "We are dealing with Third World, marginal economies. There are few choices for these people. We are sure they do not want to damage the very environment in which they live, but there are few other crops that yield as much [as shrimp farms]," he said.
Mumby said he hopes the findings will strengthen the importance of mangroves to fishermen who have a key political voice in many tropical regions. Valiela is calling on the international community to better understand the ecology of these connected ecosystems and pose conservation incentives and sustainable development alternatives for affected local communities.
© 1996-2008 National Geographic Society. All rights reserved.
Kabar dari FAO tentang World Atlas of Mangrove
on Friday, July 2, 2010
Human societies and coastal ecosystems are very closely interlinked. Currently, about 55 percent of the world¿s population inhabits coastal areas and draws heavily on coastal and marine ecosystems for food, housing, industrialization, transportation, recreation, waste disposal and reclamation for other uses. Coastal ecosystems in tropical and sub-tropical regions include coral reefs, mangroves and seagrass beds, and are among the world¿s richest storehouses of biological diversity and primary productivity. Globally, nearly two-thirds of all fish harvested depend on coastal ecosystems for various stages in their life cycle. However, these coastal and marine resources are under threat from a range of destabilizing effects due to human activities.
Mangrove ecosystems are unique and highly productive and constitute a critical element of the coastal hydrosphere. Tens of millions of people around the tropics and sub-tropics depend on mangrove forests as a source of fuelwood, charcoal, timber, and other non-timber products. Similar numbers rely on coastal fishery resources within or linked to mangrove ecosystems as one of most important source of livelihoods to coastal dwellers. In a less documented role, mangroves defend many coastlines from flooding and erosion, protecting the lives and livelihoods of untold numbers of people. However, mangrove ecosystems have also been damaged by human activities including urban development, agriculture, development of shrimp aquaculture and pollution. Drastic loss of mangrove forests has been observed in tropical and sub-tropical countries all over the world. The conservation of mangroves is essential for the survival of the two other major tropical ecosystems - coral reefs and seagrass beds.
With the publication of the World Atlas of Mangroves, the second edition of an Atlas first published in 1997 by ISME, in collaboration with ITTO and WCMC, the co-operating institutions listed below aim to further promote the conservation, restoration and sustainable use of resource-rich mangrove ecosystems, which are highly beneficial for the overall goal of sustainable management in integrated coastal ecosystems.
The Atlas
The 2nd edition of the Atlas is intended for managers, conservation experts and scientists. It will help in decision-making related to conservation and development schemes. It will also strengthen awareness for the protection and sustainable management of mangrove habitats not only at the rural community level but also at the political level. The Atlas will be based on standardized evaluation of existing data, leading to the development of a reliable and consistent baseline.
The Atlas will include national and local-level case studies and thematic case studies that cut across national boundaries. It will also include an overall evaluation of the relationships between human societies and mangrove ecosystems as well as the global levels of threat to these precious natural resources. Country data will include: profile, map, threat data where available, and updated information on the current extent and changes in mangrove areas over time. Descriptive information will focus on true mangrove tree species, although case studies will provide additional information on other mangrove-dependent species. Inputs from mangrove specialists throughout the world will be sought. The 2nd edition of the World Atlas of Mangroves will have 380-400 pages, including 60 full-page maps, colour plates and index. The expected publication date is late 2005.
Partners and Contact Information
The 2nd edition of the World Atlas of Mangroves is being prepared as a joint initiative of the Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), the International Society for Mangrove Ecosystems (ISME), the International Tropical Timber Organization (ITTO), the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization - Man and the Biosphere Programme (UNESCO-MAB), the United Nations Environment Programme - World Conservation Monitoring Centre (UNEP-WCMC) and the United Nations University - International Network on Water, Environment and Health (UNU-INWEH).
For further information, please contact:
FAO: Mette Løyche Wilkie, Forestry Department, Viale delle Terme di Caracalla, Rome, Italy
Tel: ++. 39.0657.052091, Fax: ++. 39.0657.055137, E-mail: mette.loychewilkie@fao.org
ISME: Shigeyuki Baba, University of the Ryukyus, Nishihara, Okinawa, Japan
Tel: ++. 81.98.895.6601, Fax: ++.81.98.895.6602, E-mail: isme@mangrove.or.jp
ITTO: Steven Johnson, Pacifico-Yokohama, Yokohama, Japan
Tel: ++.81.45.223.1110, Fax: ++.81.45.223.111, E-mail: johnson@itto.or.jp
UNESCO-MAB: Miguel Clüsener-Godt, Division of Ecological Sciences, Paris, France
Tel: ++.33.1.4568.4146, Fax: ++.33.1.4568.5804, E-mail: m.clusener-godt@unesco.org
UNEP-WCMC: Emily Corcoran, Huntingdon Road, Cambridge, United Kingdom
Tel: ++.44.1223.277314, Fax: ++.44.1223.277136, E-mail: emily.Corcoran@unep-wcmc.org
UNU-INWEH: Zafar Adeel, UNU-INWEH, Hamilton, Ontario, Canada
Tel: ++.1.905.525.9140 ext. 23082, Fax: ++.1.905.529.4261, E-mail: adeelz@inweh.unu.edu
Sumber: FAO
Cuma 2,5 Juta Hektar Mangrove yang Baik
on
Dari 9,3 juta hektar hamparan mangrove di Indonesia, ternyata kini hanya tersisa 2,5 juta hektar mangrove yang berkondisi baik. Tantangan terhadap keberadaan mangrove, di antaranya adalah pembukaan tambak udang maupun ikan.
Dibutuhkan koordinasi antar instansi dan penyadaran masyarakat terhadap pentingnya mangrove. Bila tidak, masyarakat akan cenderung menebangi vegetasi mangrove untuk kepentingan ekonomi sesaat, tapi segera diterjang oleh bencana akibat menghilangnya mangrove.
Demikian dikatakan oleh Sasmitohadi, Kepala Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah I, akhir pekan lalu di Pusat Informasi Mangrove di Suwung Kauh, Denpasar. Sasmitohadi berbicara di hadapan peserta International Training on Integrated Water Resources Management (IWRM). IWRM sendiri pun, diinisiasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), SIDA, Stockholm International Water Institute, dan lembaga RAMBOLL.
"Kami sama sekali tidak melarang aktivitas ekonomi di pantai seperti tambak. Namun sebenarnya, tambak juga dapat diintegrasikan dengan mangrove. Caranya, dengan menanam pada pematang tambak," kata Sasmitohadi.
"Mangrove sendiri pun, juga bernilai ekonomis. Kayu dari tanaman mangrove dapat dimanfaatkan bagi bahan baku bangunan, perahu, kayu bakar dan arang. Ada komunitas masyarakat di Alas Purwo, di Banyuwangi sedang kami bantu untuk membiakkan lebah madu di kawasan mangrove," ujar dia.
Keberadaan mangrove, sesungguhnya juga kian penting utamanya di kota-kota besar berpenduduk padat karena mencegah intrusi air laut. Belum lagi, keterkaitan dengan upaya-upaya meredam global warming.
Belum Terintegrasi
Dalam konteks integrasi antarsektor di Indonesia, ternyata penanaman dan penanganan mangrove belum dilakukan dengan baik. Dukungan terhadap Balai Pengelolaan Hutan Mangrove, masih minim.
Beberapa waktu lalu, sampah yang dikumpulkan di Mangrove Information Center saja, dapat mencapai delapan truk sehari. Nah, kini sudah turun menjadi satu truk sehari. Tapi pekerjaan kami kan sebenarnya bukan untuk membersihkan sampah, dikeluhk an oleh Sasmitohadi.
Balai Pengelolaan Hutan Mangrove di Sanur, memang kekurangan sumber daya baik manusia maupun dana, katakanlah untuk mengembangkan bibit mangrove . Padahal, wilayah jangkauannya sangat luas, yakni lebih dari separuh kepulauan di Indonesia.
Sumber: lihatberita.com
Sejuta Pohon Untuk Perlindungan Lingkungan Maritim
on Monday, June 21, 2010

Dalam kesempatan tersebut, Menhub mengajak seluruh jajarannya, khususnya jajaran Ditjen Perhubungan Laut beserta keluarga untuk lebih sadar akan dampak langsung perubahan iklim, pemanasan global dan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di sekitar kita. “ Sebab, menjaga dan melestarikan lingkungan hidup bukan hanya menjadi tugas pemerintah saja tetapi menjadi tugas dan tanggung jawab kita bersama”, ajak Menhub.
Menhub mengungkapkan bahwa kegiatan Penanaman Sejuta Pohon merupakan salah satu arahan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono kepada seluruh pemangku kepentingan untuk berperan aktif dalam menjaga lingkungan terutama bagi lingkungan pantai di seluruh Indonesia. “Acara Penanaman Sejuta Pohon yang dipadu dengan kegiatan social dan olahraga merupakan hal yang luar biasa manfaatnya”, tegas Menhub. Selain diadakan di Jakarta, kegiatan ini juga dilaksanakan di seluruh Unit Pelaksana Teknis Ditjen Perhubungan Laut di seluruh Indonesia, yaitu: seluruh Kantor Adpel Pelabuhan , Kantor Pelabuhan, Distrik Navigasi dan Pangkalan Armada.
Pada acara ini, Ditjen Perhubungan Laut juga memberikan 1.400 bingkisan berupa peralatan sekolah kepada putra-putri pegawai Ditjen Perhubungan Laut yang telah memasuki usia sekolah, mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi dengan tujuan untuk memacu motivasi anak-anak tersebut agar lebih berprestasi. Selain itu, acara yang dimulai sekitar pukul 06.00 WIB pagi ini juga dimeriahkan dengan pembagian doorprize bagi para peserta. Dalam rangka menjalin komunikasi dengan Unit Pelaksana Teknis di daerah yang melaksanakan kegiatan serupa, Menhub juga sempat melakukan teleconference dengan Adpel Teluk Bayur serta Tanjung Perak. (RF)
Sumber: Dephub
2,314 Hectares of Mangrove Forest in Surabaya Changed in Land Use
on
.jpg)
Yovinus Guntur / Angga Haksoro - translated by Rosmi Julitasari
VHRmedia, Surabaya – 2,314 hectares of mangrove forest at eastern coast of Surabaya was changed in land use. Now, the green public area is occupied by 36 developers.
Communication Support of Natural Conservation Study Institute (Yapeka) VikaWisnu said that most of the mangrove land is occupied by fishpond owners and housings.
At New Order Era, city plan for eastern coast area of Surabaya was classified on ruislag area. The Surabaya City administration then established the mangrove land as a conserved area in 2006.
“Indeed, it was late. But we have to appreciate for what the Surabaya City administration had done. Moreover, now they are formulating a draft of local regulation on conservation area,” Vika Wisnu said, Tuesday (6/22).
Mangrove forest at eastern cost of Surabaya covers 2,182 hectares of Keputih area, 209 hectares of Wonorejo, 848 hectares of Medokan Ayu, and 470 hectares of Gunung Anyar Tambak. (E4)
Photo: VHRmedia/ Yovinus Guntur Source: VHR Media
Presiden Serukan Pemimpin Daerah Rehabilitasi Hutan Mangrove
on Wednesday, June 9, 2010
Jakarta ( Berita ) : Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerukan para pemimpin daerah dengan hutan mangrove luas untuk melakukan rehabilitasi hutan mangrove.
“Saya menyerukan kepada seluruh pemimpin di daerah utamanya di Sumatera, Jawa dan daerah-daerah yang memiliki hutan mangrove yang luas untuk dengan serius melaksanakan rehabilitasi dan penghutanan kembali,” kata Presiden seusai melakukan penanaman dan peninjauan mangrove di Taman Wisata Alam Angke Kapuk, Jakarta, Senin[07/06].
Presiden berharap anggaran yang dikeluarkan, petugas, pengawas serta polisi hutan yang khusus bertugas di kawasan hutan mangrove juga harus cukup agar dapat mencapai hasil maksimal. “Ajak dunia usaha, libatkan masyarakat sehingga (tercipta) community based rehabilitation,” kata Kepala Negara. Menurut Presiden , kelestarian hutan mangrove membutuhkan tanggung jawab, kepemimpinan dan kesadaran bersama.
“Saya akan melihat nanti implementasi,” katanya seraya menambahkan bahwa keberhasilan pemeliharaan lingkungan merupakan salah satu tanggung jawab moral pemimpin abad 21.
Berbicara di hadapan wartawan dari atas perahu karet yang membawanya berkeliling melihat kondisi hutan mangrove di TWA Angke Kapuk, Presiden memaparkan arti penting hutan mangrove bagi ekosistem.
“Hutan mangrove tentunya salah satu ekosistem yang harus
kita pelihara, menjadi tekad kita ,bangsa Indonesia untuk mulai sekarang sangat serius untuk memelihara lingkungan,” katanya.
Indonesia, kata Presiden, memiliki hampir delapan juta hektare kawasan mangrove yang tersebar di seluruh tanah air meskipun yang terbanyak di wilayah Sumatera, sebagian di jawa dan tempat-tempat lain.
“Itu merupakan ekosistem yang sangat penting di pinggir
pantai. Kalau ekosistem ini rusak maka akan terganggu kehidupan ikan, burung, penyediaan air bersih. Kalau ada tsunami, tidak ada penahan yang memadai dan kerusakan-kerusakan lain yang tentunya sangat mempengaruhi kehidupan,” katanya. Pada kesempatan itu, Presiden menegaskan komitmennya untuk selalu mengajak bangsa dan rakyat Indonesia memelihara lingkungan demi anak cucu dan generasi sekarang.
Turut mendampingi Presiden adalah Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Menpora Andi Mallarangeng, Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi dan Sekretaris Kabinet Dipo Alam serta Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo.
Taman Wisata Alam Angke Kapuk adalah salah satu kawasan konservasi alam seluas 99,82 hektare yang berekosistem mangrove atau bakau. Kawasan itu ditetapkan sebagai kawasan hutan wisata yang akan dimanfaatkan untuk kegiatan penghutanan kembali atau rehabilitasi hutan mangrove dan kegiatan pariwisata alam.
Tanam Mangrove Di TWA Angke Kapuk
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanam mangrove dan meninjau Taman Wisata Alam Angke Kapuk, Jakarta Utara, Senin[07/06] pagi. Turut mendampingi Presiden adalah Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Menpora Andi Mallarangeng, Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi dan Sekretaris Kabinet Dipo Alam serta Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo.
Taman Wisata Alam Angke Kapuk adalah salah satu kawasan konservasi alam seluas 99,82 hektar yang berekosistem mangrove atau bakau.
Kawasan itu ditetapkan sebagai kawasan hutan wisata yang akan dimanfaatkan untuk kegiatan penghutanan kembali atau rehabilitasi hutan mangrove dan kegiatan pariwisata alam.
Menurut Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Kementerian Kehutanan telah melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah DKI Jakarta untuk selama lima tahun menyiapkan lebih kurang 9 juta mangrove.
“Sudah beberapa kali kita melakukan penanaman bersama di sini, di belakang, di Teluk Angke itu sudah dua kali, kemudian di Ancol dan di beberapa tempat,” katanya.Menhut mengatakan kerusakan mangrove, pantai dan Teluk Jakarta luar biasa, terutama sampah. “Jadi musuh utamanya itu justru sampah. Mangrove kita, di pantai-pantai Teluk Jakarta seperti supermarket, apa juga ada, kasur ada, bantal ada, sampah apa juga ada, itu yang menjadi kendala utama,” katanya. Oleh karena itu, lanjut dia, rehabilitasi mangrove yang sangat penting dilakukan semua pihak, baik pemerintah, swasta, masyarakat luas atau LSM.(ant)
Sumber: Berita Sore
SBY Minta Rehabilitasi Hutan Mangrove
on Tuesday, June 8, 2010
Written by iast |
Senin, 07 Juni 2010 19:04 |
![]() MUARAANGKE - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan kembali kepeduliannya terhadap upaya rehabilitasi kawasan hutan bakau karena kerusakan ekosistem ini akan membawa kerusakan pada banyak hal, termasuk persediaan air minum bagi masyarakat Indonesia. Presiden mengatakan hal ini di atas perahu karet, usai meninjau kawasan konservasi hutan bakau di Taman Wisata Alam Muara Angke, Jakarta Utara, Senin (7/6) pagi.
Sumber: Warta Pesisir |
Presiden: Mangrove Harus Diperhatikan
on

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta seluruh kepala daerah agar menyediakan anggaran dan tenaga yang cukup untuk merawat kawasan hutan mangrove di wilayah mereka. Kawasan hutan mangrove merupakan ekosistem yang sangat penting terutama bagi wilayah pantai.
Presiden menyampaikan hal ini seusai mengelilingi sebagian wilayah Taman Wisata Alam Angke, Jakarta, Senin (7/6/2010). Presiden menumpang perahu karet bersama Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, dan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo.
Sebelumnya Presiden menanam bibit mangrove di sisi utara TWA Angke. Presiden juga mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk berperan aktif dalam menjaga lingkungan.
Kerusakan alam yang terus terjadi akan membuat anggaran negara untuk menyelamatkan lingkungan terus membengkak. Oleh karena itu, Presiden mengajak semua pihak untuk sama-sama menyelamatkan lingkungan.
Presiden menegaskan, pemimpin di abad ke-21 ini dinilai dari kesungguhan menjaga hutan. Saya tidak akan pernah berhenti mengajak semua orang untuk terus menanam pohon, ujar Yudhoyono.
Dalam pemaparan kepada Presiden, Menhut menjelaskan, Indonesia memiliki 7.758.410,59 hektar hutan mangrove dengan wilayah terluas berada di Sumatera, yakni 4 juta hektar. Namun, hampir 70 persen wilayah mangrove tersebut dalam kondisi rusak.
Sebagian besar kawasan mangrove rusak akibat alih fungsi menjadi pertambakan, industri arang bakau, dan perkebunan kelapa sawit. Namun, tambah Zulkifli, ada juga hutan mangrove yang beralih fungsi menjadi permukiman seperti di Jakarta.
Sebelumnya kepada wartawan, Zulkifli menegaskan, kawasan mangrove yang telah beralih fungsi di Jakarta harus segera dikembalikan seperti semua. Kementerian Kehutanan sudah bekerja sama dengan pemerintah DKI Jakarta untuk merehabilitasi kawasan mangrove yang dirambah masyarakat dan telah beralih fungsi.
Sumber: Kompas
Labels
- Aspire S3 S30 contest (1)
- Blogwalking (1)
- kuliner (1)
- mangrove (1)
- Pengenalan Spesies (1)
- Pustaka (1)
- surveyor (1)
- Tokoh (12)
- Toyota Mobil Keluarga Ideal Terbaik Indonesia (1)
Check Page Rank of your Web site pages instantly: |
This page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service |