Keluarga besar Sonneratia

on Monday, November 29, 2010



Salah satu spesies "menarik" yang hidup di kawasan ekosistem mangrove adalah Sonneratia. Di dunia, Sonneratia memiliki anggota 20 spesies, namun di Indonesia lebih mudah menemukan 3 spesies dari genus Sonneratia, yaitu : Sonneratia alba, S. caseolaris, dan S. ovata. Salah satu jenis mangrove yang dimanfaatkan buahnya yaitu jenis pedada (Sonneratia caseolaris) yang hidup dan tumbuh di hutan mangrove. Tanaman ini memiliki daun berbentuk elips dan ujungnya memanjang dengan tulang daun berbentuk menjari. Bunga memiliki kelopak bunga mengkilat dan hijau serta datar dengan benang sari berwarna merah dan renggang. Buah ini memiliki morfologi yang sangat unik berbentuk bulat dengan diameter 6-8 cm. Namun demikian, warga asli di seputaran ekosistem mangrove, memberikan berbagai nama daerah antara lain pedada, perepat, pidada, bogem, bidada, posi – posi, wahat, putih, berapak, bangka, susup, kedada, muntu, pupat dan mange – mange. Wikipedia mencatat, bahwa Sonneratia sudah tidak masuk lagi kedalam suku Sonneratiaceae, tetapi telah menjadi suku Lythraceae.

Sonneratia memiliki "perawakan" sebagai pohon besar yang memiliki banyak sekali akar berbentuk serupa pensil yang mencuat ke atas. Bentuk akar ini merupakan bentuk adaptasi sonneratia untuk bernafas mengambil udara, karena kondisi tanah mangrove yang anoksik. Secara langsung bisa dikatakan kondisi anoksik adalah kondisi beracun, tapi arti sebenarnya dari anoksik adalah kurang oksigen atau tidak ada oksigen. Hal ini disebabkan ketidakberadaan oksigen di satu tempat bisa membuat satu pohon (dalam hal ini mangrove) bisa mati, oleh karena itu sonneratia "membuat" mekanisme akar nafas


Taman Nasional Baluran, memiliki koleksi sonneratia dari jenis alba (disana dikenal dengan nama Pedada). Pohon Pedada yang ada di TN Baluran memiliki ukuran keliling + 927 cm (9,27 m), tinggi bebas cabangnya + 15 m dan tinggi totalnya mencapai 25 m. Dapat dikatakan dengan ukurannya yang besar itu maka pohon Pedada ini merupakan yang terbesar di Indonesia atau mungkin di dunia. Hal ini didasari oleh pendapat Bapak Ir. Suwendra yang pada awal tahun 1990-an menjabat sebagai Kepala Seksi Pemanfaatan di Taman Nasional Baluran. Sebelum bertugas di Baluran, beliau pernah mengukur tanaman mangrove se- Indonesia dan menurut data yang ada pada waktu itu tercatat bahwa jenis pohon Sonneratia alba (Pedada) yang terbesar berada di Papua, dengan keliling pohon + 3 meter. Dan saat beliau mengukur pohon ini pertama kali diawal 90-an, kelilingnya masih + 4,5 meter. Pantai timur surabaya, memiliki dua jenis dari keluarga sonneratia, yakni dari jenis alba (Bogem prapat) dan caseolaris (bogem)

Sesama keluarga sonneratia, ternyata memiliki sifat yang berbeda-beda. Jenis alba, dikenal sebagai pionir, dan tidak toleran terhadap air tawar dalam periode yang lama. Menyukai tanah yang bercampur lumpur dan pasir, kadang-kadang pada batuan dan karang. Sering ditemukan di lokasi pesisir yang terlindung dari hempasan gelombang, juga di muara dan sekitar pulau-pulau lepas pantai. Di lokasi dimana jenis tumbuhan lain telah ditebang, maka jenis ini dapat membentuk tegakan yang padat. Sementara caseolaris memiliki kemiripan dengan jenis ovata, menyukai bagian yang kurang asin di hutan mangrove, pada tanah lumpur yang dalam, seringkali sepanjang sungai kecil dengan air yang mengalir pelan dan terpengaruh oleh pasang surut. Tidak pernah tumbuh pada pematang/ daerah berkarang. Juga tumbuh di sepanjang sungai, mulai dari bagian hulu dimana pengaruh pasang surut masih terasa, serta di areal yang masih didominasi oleh air tawar.

Sonneratia dikenal memiliki banyak manfaat, dan kegunaan. Primata pada umumnya sangat menyukai buah sonneratia yang rasanya asam ini. Mereka bahkan sudah mampu memilih, hanya buah yang matang saja yang bisa dimakan. Selain itu hewan pemakan buah yang lain, seperti kelelawar maupun burung, juga ikut menjadi 'penggemar" buah ini. Sementara manusia, dengan belajar dari kera, telah mampu mengolah sonneratia dari jenis caseolaris untuk diolah menjadi sirup. Di Sulawesi, kayunya dibuat untuk perahu dan bahan bangunan, atau sebagai bahan bakar ketika tidak ada bahan bakar lain, karena kayunya berkualitas rendah dan memiliki serat yang padat, jadi sulit untuk memanfaatkan kayu pohon pidada ini sebagai bahan baku mebel. Akar nafas digunakan oleh orang Irian untuk gabus dan pelampung.


Kalangan akademik juga tidak mau ketinggalan, terus meneliti manfaat spesies ini. Ilmuwan dari IPB mencoba mengekstrak daun, kelopak, buah dan biji Sonneralia alba dan S. caseolaris sebagai bahan alami antibakterial terhadap patogen Udang Windu, Vibrio harveyi. Sementara penggunaan ekstrak Rambai Bogem (Sonneratia alba) untuk menghambat pertumbuhan bakteri A. hydrophila penyebab MAS (Motile Aeromonas Septicemia)”, pernah dilakukan mahasiswi fakultas Perikanan, Universitas Lampung. Dalam buku Mangrove Guidebook for Southeast Asia, disebutkan bahwa di Papua Nugini telah ditemukan persilangan Sonneratia caseolaris dengan Sonneratia alba, yang dinamai Sonneratia X gulngai.

Terhadap lingkungan pesisir, sonneratia dari jenis alba dikenal sebagai tumbuhan perintis atau reklamasi. . Secara tidak langsung tumbuhan pidada maupun tumbuhan bakau lainya dapat mencegah erosi dan abrasi pantai dari pasang surut air laut, selain itu tumbuhan ini akan menjadi tempat tinggal hewan-hewan rawa, seperti kepiting, udang, kerang ikan, dan lain-lain. Pengetahuan yang memadai terhadap berbagai jenis spesies mangrove, akan memberikan manfaat yang besar bagi berbagai kalangan pendidikan dan organisasi yang ingin melakukan restorasi ekosistem mangrove di sekitar tempat mereka, dengan teknik replanting, dengan lebih mengedepankan fungsi, jenis dan keberadaan lahan yang akan ditanami. Pengetahuan tersebut akan memberikan kita pemahaman yang cukup, bahwa penanaman mangrove tidaklah sekedar seremonial, mengejar kecepatan tumbuh mangrove yang akan ditanam, namun juga memperhitungkan kebutuhan ekosistem terhadap jenis mangrove yang paling sesuai untuk ditanam, karena dalam ekosistem mangrove, terdapat zonasi yang membuat ekosistem mangrove tersebut dapat memfungsikan dirinya secara optimal sebagai penahan ombak, dan lain sebagainya.

Sonneratia alba

A. Umum
1. Komponen: termasuk komponen utama/mangrove mayor
2. Bentuk: pohon/perdu. Tinggi mencapai 16 m
3. Akar: akar nafas, berbentuk kerucut
4. Daun: susunan tunggal, bersilangan; bentuk oblong sampai bulat telur sungsang; ujung membundar sampai berlekuk; ukuran panjang 5 – 10 cm
5. Tipe biji: biji normal
6. Lainnya: bagian atas dan bawah permukaan daun hampir sama
7. Kulit kayu: halus, retak/celah searah longitudinal, warna kulit krem sampai coklat
8. Ciri khusus: tangkai daun pada bunga dewasa berwarna kuning, helai kelopak menyebar atau sedikit melengkung ke arah buah (pada S. ovata helai kelopak tegak pada buah)
9. Fenologi: berbunga sepanjang tahun (antara 3 – 4 bulan); berbuah pada bulan Mei – Juni dan Oktober – November; pembuahan sampai masak memakan waktu 2 – 3 bulan
10. Spesies yang mirip: S. caseolaris, S. ovata
11. Habitat: tumbuh di lumpur berpasir di muara sungai, sering ditemukan di daerah tepian yang menjorok ke laut, daerah dengan salinitas relatif tinggi

B. Bunga
1. Rangkaian: 1 sampai beberapa bunga bersusun, di ujung atau cabang/dahan pohon
2. Mahkota: putih
3. Kelopak: 6 – 8 helai, merah dan hijau
4. Benang sari: banyak, putih
5. Ukuran: diameter 5 – 8 cm
6. Lainnya: bunga sehari (ephemeral), terbuka menjelang malam hari dan berlangsung sepanjang malam, mengandung banyak madu pada pembuluh kelopak

C. Buah
1. Ukuran: diameter 3,5 – 4,5 cm
2. Warna: hijau
3. Permukaan: halus
4. Lainnya: kelopak berbentuk cawan, menutupi dasar buah, helai kelopak menyebar atau melengkung, berisi 150 – 200 biji dalam buah

Sonneratia caseolaris

A. Umum
1. Komponen: termasuk komponen utama/mangrove mayor
2. Bentuk: pohon, tinggi mencapai 16 m
3. Akar: akar nafas, berbentuk kerucut, tinggi dapat mencapai 1 m
4. Daun: susunan tunggal, bersilangan; bentuk jorong sampai oblong; ujung membundar, dengan ujung membengkok tajam yang menonjol; ukuran panjang 4 – 8 cm
5. Tipe biji: biji normal
6. Lainnya: ranting menjuntai
7. Kulit kayu: halus
8. Ciri khusus: bunga dewasa memiliki tangkai daun pendek dengan dasar berwarna kemerah-merahan, benang sari berwarna merah dan putih, akar nafas yang berkembang dengan baik dapat mencapai tinggi lebih dari 1 m, lebih tinggi dibandingkan S. alba
9. Spesies yang mirip: S. alba, S. ovata
10. Habitat: tumbuh di tepi muara sungai terutama pada daerah salinitas rendah dengan campuran air tawar

B. Bunga
1. Rangkaian: 1 sampai beberapa bunga bersusun, di ujung
2. Mahkota: merah
3. Kelopak: 6 – 8 helai, hijau
4. Benang sari: tak terhitung, merah dan putih
5. Ukuran: diameter 8 – 10 cm
6. Lainnya: bunga sehari (ephemeral), terbuka menjelang malam hari dan berlangsung sepanjang malam, mengandung banyak madu pada pembuluh kelopak

C. Buah
1. Ukuran: diameter 6 – 8 cm
2. Warna: hijau kekuning-kuningan
3. Permukaan: mengkilap
4. Lainnya: kelopak datar, memanjang horisontal, tidak menutupi buah, helai kelopak menyebar, buah lebih besar dari S. alba, mengandung 800 – 1200 biji dalam buah, dapat dimakan




Sumber:
Wikipedia
Wetlands
Proseanet
Kesemat
TN alas purwo
Blog Si ken arok
IPB
Blog Iqbal
Blog lidiabayang

Ekoturisme di ekosistem Mangrove pantai Timur Surabaya?

on Tuesday, November 16, 2010


Pernahkah anda melihat logo seperti disamping? Paling gampang adalah dengan mencarinya melalui google. Anda akan menemukiannya secara lebih mudah berkat bantuan mesin pencari tersebut.

Lalu bagaimana di Pantai Timur Surabaya? Apakah ada yang merindukan hadirnya sebuah lembaga dengan sertifikasi ramah lingkungan di pantai timur Surabaya? Apa pentingnya sertifikat ini buat ekosistem? Sepertinya akan mempersulit aktifitas arek2 Suroboyo dalam menikmati mangrove ya? Atau kayaknya itu sekedar akal2 asing belaka?

Bisnis ekoturisme, sebenarnya memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan dari konservasi alam. Apalagi mengambil tempat di kawasan hutan mangrove, yang secara luas dikenal, memiliki catatan tingkat kerusakan yang sangat tinggi. Konservasi alam sendiri, sebenarnya merupakan upaya mempertahankan keaslian serta keasrian tatanan alam sehingga manusia dan makhluk hidup lainnya dapat tetap hidup dan terpelihara dengan baik. Eksplorasi dan elaborasi ecotourism (ekoturisme), merupakan salah satu bentuk pengusahaan konservasi alam. Pengembangan ekoturisme bukan saja sejalan dengan isu penanganan kerusakan ekosistem mangrove yang tiap hari digembar-gemborkan di negeri ini, tetapi juga sejalan dengan terus merebaknya berbagai isu yang berorientasi pada pemeliharaan lingkungan alam di berbagai belahan dunia.

Paradigma pelestarian alam perlu dipikirkan untuk ditata ulang sehingga bukan saja menjadi kewajiban pemerintah, namun seluruh komunitas idealnya bersatu padu. Kesadaran akan pelestarian alam perlu dibentuk dari bawah. Oleh karena itu, perlu membangun konsep dan menerapkan prinsip-prinsip penyadaran komunitas untuk pelestarian alam yang antara lain melalui ekoturisme. Isu mana saja yang melatarbelakangi pengembangan ekoturisme itu? Apa sebenarnya ekoturisme tersebut? Bagaimana mengeksplorasi dan mengelaborasi ekoturisme?

Perkembangan industri pariwisata merupakan salah satu isu utama dari isu 4T dalam milenium ketiga. Keempat T tersebut adalah Transportation, Telecommunication, Tourism dan Technology. Artinya, pariwisata menjadi salah satu industri yang akan tumbuh dan dominan di berbagai belahan dunia pada milenium ketiga. Industri pariwisata selama milenium ketiga memiliki peran dan makna begitu tinggi dalam aspek kehidupan manusia.


Selain isu di atas, pemeliharaan lingkungan alam tiada hentinya menjadi isu penting dalam berbagai forum dunia. Lingkungan alam dijadikan basis pengembangan hampir keseluruhan industri. Pariwisata merupakan salah satu industri yang tidak luput dari tuntutan aplikasi pengembangan industri berwawasan pemeliharaan lingkungan alam tersebut.

Kerangka berpikir dan bekerja industri pariwisata berubah menjadi, bagaimana mengembangkan pariwisata tanpa mengubah dan merusak alam. Perumusan kerangka pengembangan pariwisata berwawasan pemeliharaan lingkungan adalah hal mendesak yang perlu direalisasikan. Makin mencuatnya isu pemeliharaan dan pelestarian alam diekspresikan antara lain dalam bentuk greenspeak. Greenspeak itu sendiri berkonotasi mendalam untuk kemaknaan “alam yang hijau dan terpelihara.” Oleh karena itu, serta-merta muncul isu go green. (Cooper;1997;WTO;2000).

Isu lain yang telah lama mengglobal adalah back to nature yang tidak luput menyentuh pengembangan pariwisata. Kembali ke alam menjalar bukan saja di negara-negara maju, tetapi juga masuk ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Indonesia memiliki kekayaan alam lebih dibanding negara lainnya di dunia. Alam hijau baik alam hutan maupun tanaman rekayasa manusia begitu melimpah. Dengan demikian Indonesia berpeluang membangun kepariwisataan yang berkelanjutan melalui pemeliharaan lingkungan alam.

Makna ekoturisme
Ekoturisme merupakan istilah berkonotasi pariwisata berwawasan lingkungan alam. Jenis wisata ini termasuk suatu bentuk pariwisata alternatif yang bertanggung jawab terhadap pelestarian lingkungan alam sekitarnya. World Tourism Organization (WTO) sebagai badan dunia kepariwisataan menggulirkan isu ekoturisme sejalan dengan manuver konservasi alam di berbagai belahan dunia.

Pemahaman masyarakat terhadap ekoturisme tidak jarang menyimpang dari makna yang sebenarnya. Ecotourism merupakan gabungan dari ecologycal dengan tourism. Ekologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya. Di Indonesia khususnya, keilmuan ini secara umum relatif belum berkembang sebagaimana diharapkan. Ilmu ini lebih banyak berkaitan erat dengan tatanan kehidupan manusia, baik manusia secara pasif sebagai bagian dari alam maupun manusia sebagai elemen aktif yang dapat merekayasa alam. Berbagai kegiatan kehidupan manusia yang berkaitan erat dengan ekologi antara lain kehidupan ekonomi, sosial, maupun budaya. (Hardesty;1977; Soewarno;2000).

Ecotourism atau ecologycal tourism diterjemahkan menjadi wisata ekologi, lengkapnya pariwisata ekologi, berarti bertanggung jawab atas perjalanan wisata ke area alam yang mampu memelihara lingkungan, serta bertanggung jawab untuk memelihara keberadaan manusia dan mahluk hidup di sekitarnya untuk tetap hidup aman dan nyaman dalam lingkungannya (Blangly dan Megan;1994). Tentu berbeda dengan hanya sekadar wisata alam. Karena itu penyetaraan makna ekoturisme dengan ‘wisata alam’ tentu saja tidak tepat.

Ekoturisme maknanya setara dengan pariwisata yang berwawasan konservasi lingkungan. Sementara itu, wisata alam adalah kegiatan berwisata di dalam lingkungan alam.

Apakah suatu kegiatan wisata alam merupakan ekoturisme? Mungkin ya mungkin tidak! Ini lain perkaranya! Kegiatan wisata alam umpamanya arung jeram, pendakian gunung, wisata selam, wisata tirta, berperahu ke kawasan mangrove dan sejenisnya. Seluruh contoh wisata alam tersebut belum tentu dapat dikualifikasikan ekoturisme. Mungkin saja pendakian gunung menimbulkan kerusakan pada lingkungan dan keaslian alam pegunungan tersebut. Oleh karena itu, wisata seperti itu tidak masuk kualifikasi wisata berwawasan pelestarian lingkungan alam. Karena itulah, ekoturisme ini sarat oleh aspek primer yakni, mengelaborasi alam untuk kepentingan pariwisata tanpa menurunkan kualitas alam, atau mengubahnya menjadi wujud intervensi penyebab degradasi ekosistem.

Tema mass tourism berubah dari sun, see, sand menjadi tema trilogi yang berorientasi pada alam yakni nature, nostalgia, nirvana (Cooper;1997). Aspek alam atau nature merupakan daya tarik wisata yang asli atau prestine form. Keaslian alam disajikan dan ditawarkan untuk menciptakan pengalaman wisata bermakna. Misalnya membiarkan dan tetap melestarikan keindahan alam bawah laut di Bunaken.

Demikian halnya dengan aspek nostalgia, berbasis pada romantika sosial yang konstruktif atau menggambarkan realita utuh menyokong kekokohan daya tarik alam sebenarnya atau ecofundamentalism. Seperti, budaya masyarakat Baduy dan Dayak Pedalaman yang memiliki rasa rawat atau malire alam.

Sementara itu, nirvana merupakan istilah pengganti dari paradise atau surga yang telah lama dikenal dalam tema kepariwisataan tradisional. Nirvana ini dimaksudkan agar wisatawan dapat melepaskan segala kerisauan pikiran dan hatinya, sehingga dalam tahap akhir mereka memperoleh kesehatan spiritual. Misalnya, ketika memandang hamparan panorama keutuhan dan keindahan alam, maka tergeraklah hatinya dan menyadari betapa agungnya kebesaran Allah.

Paradigma hijau
Akumulasi dari isu yang berorientasi terhadap alam, mendorong perumusan paradigma baru dalam pariwisata yang terkait dengan alam. Paradigma hijau atau green paradigm merupakan salah satu paradigma yang sinergis untuk pengembangan ekoturisme (Weaver;2000).

Paradigma lingkungan yang telah lama dikenal di negara-negara Barat jika dibandingkan dengan paradigma hijau, terdapat perbedaan mendasar. Marilah kita toleh beberapa hal penting diantara lingkup paradigma hijau tersebut. Manusia yang dulu dianggap bukan bagian dari alam, kini dianggap sebagai bagian dari alam. Dulu manusia menjadi superior terhadap alam, kini berkedudukan setara alam. Dulu diyakini setiap kejadian di masa akan datang dapat diprediksi, namun kini masa depan alam dianggap sulit bahkan tidak dapat diprediksi.

Hal lain seperti penggunaan teknologi. Dulu teknologi lebih berorientasi pada penggunaan hard technology, kini sebaliknya lebih pada soft technology. Berdasarkan paradigma hijau ini, maka bukan saja sebagai upaya ‘proksi’ atau program yang mirip-mirip, bahkan kepura-puraan deudeuh pada lingkungan alam, namun absolut dalam bentuk “perwujudan” wisata berbasis konservasi alam.

Prinsip ekoturisme
Suatu kegiatan pariwisata dapat dikategorikan pariwisata ekologi jika memenuhi 5 prinsip ekoturisme (Cooper;1997). Kelima prinsip tersebut, 1) prinsip sustainable adalah pariwisata yang berkonsentrasi pada penyokongan pelestarian alam, 2) bahwa lingkungan alam harus aman dan terjamin keselamatannya untuk dijadikan harta warisan bagi generasi mendatang. 3) pemeliharaan beragam mahluk yang ada di sekitarnya, baik manusia, hewan, tumbuhan dan lain-lainnya apa pun yang berasal dari alam dan hidup di alam bersangkutan. Keragaman makhluk hidup diyakini dapat bertahan jika secara ekosistem terjaga. 4) merumuskan perencanaan secara holistik dan mengimplementasikannya secara holistik pula. Harmonisasi alam dengan manusia dan totalitas lingkungannya (environmental integrity) harus jadi kenyataan. 5) carying capacity, artinya seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan pariwisata tersebut mendapat manfaat. Tingkat kemanfaatan harus diperoleh baik secara dimensional bagi penyedia maupun bagi wisatawan.

Berdasarkan pemenuhan prinsipnya, pengembangan pariwisata berbasis pemeliharaan lingkungan ini dapat diketegorikan dalam hard ecotourism dan soft ecotourism. Hard ecotourism merupakan pengembangan wisata ekologi tanpa mengubah kondisi alam sekitarnya, tanpa penambahan aksesori apa pun yang menjadi daya tarik maupun sarana dan prasarana di tempat bersangkutan. Kondisi ini tentu amatlah berat. Jenis ini cocok dikembangkan di beberapa tempat umpama di daerah Kalimantan atau beberapa pulau kecil yang dimiliki Indonesia maupun di kawasan cagar alam, taman nasional, dan sejenisnya.

Sementara itu, jenis kedua menuntut perysaratan tidak seberat jenis sebelumnya. Tipe ini tentu lebih banyak diminati, namun demikian penerapan prinsip konservasi tetap menjadi panduan dalam mengembangkan jenis wisata ini.

Komunitas ekoturisme
Pengembangan pariwisata ekologi yang hati-hati (elaborasi) untuk kelestarian lingkungan tidak lepas dari dukungan komunitas di sekitarnya, baik dari masyarakat biasa maupun para pelaku dalam lingkungan industri dan pemerintahan. Beberapa pihak yang terinstitusi dalam pengembangan ekoturisme yang dikenal di Indonesia antara lain WALHI, ASITA, PHRI, HPI, PUTRI, pemda, Departemen Kelautan, Kehutanan, Kantor Lingkungan Hidup, LSM bidang lingkungan hidup, serta organisasi masyarakat setempat.

Pengembangan ekoturisme memerlukan kerja terpadu antara berbagai komponen masyarakat. Karena itu, perumusan berbagai kebijakan serta implementasinya, perlu melibatkan pihak terinstitusi untuk bekerja sama dalam suatu wahana. Wahana ini idealnya dibangun berdasarkan konsep bottom-up. Wadah yang dibentuk perlu dinasionalisasikan untuk membumikan ekoturisme di seluruh penjuru Tatar Nusantara ini.

Hal lain yang perlu diimplementasikan adalah prinsip-prinsip ekoturisme sehingga dengan aplikasi prinsip ini di samping akan banyak meraup devisa juga lingkungan alam tetap terjaga.

Beberapa hal penting perlu mendapat perhatian dari semua pihak terkait, 1) pengembangan ekoturisme perlu diyakini dan disadari berkontribusi menopang pelestarian lingkungan alam. 3) pengembangan ekoturisme perlu dibangun melalui totalitas upaya kebersamaan yang integral dalam suatu wahana komunitas kepariwisataan. 4) adanya kebutuhan mendesak membentuk asosiasi untuk mewahanai berbagai elemen yang terkait dalam pengembangan ekoturisme khususnya di tingkat daerah. 4) pelestarian lingkungan hendaknya menerapkan paradigma bottom-up yang dilengkapi konsep Atur-Diri-Sendiri (ADS) oleh komunitas ekoturisme. 5) perlunya mengembangkan ekoturisme secara hati-hati (elaborasi) agar lingkungan alam dan budaya masyarakat setempat tetap terjaga.

Bagaimana dengan pantai timur Surabaya sendiri?
Apakah aktifitas wisata baik yang berlabel ekowisata maupun bukan, sudah memenuhi kriteria seperti yang kami paparkan diatas? Apakah dengan kondisi pelayanan wisata yang kami yakin sudah sangat dikenal khalayak surabaya ini, dapat menambah pemahaman terhadap mangrove dengan wawasan yang lebih luas. Atau apakah ditemukan adanya kerjasama yang berkesinambungan antara berbagai organisasi lingkungan khusus di bidang mangrove, seperti Wetlands Indonesia atau ecoton, dan jalinan dengan WWF Indonesia?

Cooper, secara gamblang, telah merumuskan kegiatan pariwisata yang dapat dikategorikan pariwisata ekologi, jika memenuhi 5 prinsip ekoturisme (Cooper;1997). Berdasarkan pemenuhan prinsipnya, pengembangan pariwisata berbasis pemeliharaan lingkungan ini dapat diketegorikan dalam hard ecotourism dan soft ecotourism. Hard ecotourism merupakan pengembangan wisata ekologi tanpa mengubah kondisi alam sekitarnya, tanpa penambahan aksesori apa pun yang menjadi daya tarik maupun sarana dan prasarana di tempat bersangkutan. Kondisi ini tentu amatlah berat. Jenis ini cocok dikembangkan di beberapa tempat umpama di daerah Kalimantan atau beberapa pulau kecil yang dimiliki Indonesia maupun di kawasan cagar alam, taman nasional, dan sejenisnya.

Ekoturisme di kawasan mangrove pantai timur Surabaya, seyogyanya mampu menjadi salah satu pilihan dalam mempromosikan lingkungan yang khas yang terjaga keasliannya sekaligus menjadi suatu kawasan kunjungan wisata. Potensi yang ada adalah suatu konsep pengembangan lingkungan yang berbasis pada pendekatan pemeliharaan dan konservasi alam. Konsep ini sangat unik dengan pengembangan dan pelibatan sector management yang terpadu serta seluruh stakeholders’ yang terkait. Namun pada prinsipnya cukup sederhana dengan pola management lingkungan yang rill.

Sekali lagi, konsep tersebut tidak akan terlepas dari:
1. Penataan Lingkungan Alami.
2. Nilai Pendidikan (Penelitian dan pengembangan).
3. Partisipasi Masyarakat Local dan Nilai Ekonomi.
4. Upaya Konservasi dan Pengelolaan Lingkungan.
5. Minimalisasi Dampak dan Pengaruh Lingkungan (tentunya dengan beberapa strategi khusus).

Mangrove sangat diakui memiliki nilai potensil yang sedemikian besar bagi pengembangan konsep ekoturisme ini. Kondisi mangrove yang sangat unik, sangat cocok menjadi model wilayah yang dapat di kembangkan sebagai sarana wisata dengan tetap menjaga keaslian hutan serta organisma yang hidup disana.

Untuk mudahnya kita bisa melihat beberapa contoh pengembangan kawasan wisata yang berbasis pada pemeliharaan lingkungan itu sendiri. Suatu kawasan akan bernilai lebih dan menjadi daya tarik tersendiri bagi orang jika di dalamnya terdapat suatu yang khas dan unik untuk di lihat dan di rasakan. Ini menjadi kunci dari suatu pengembangan kawasan wisata. Lebih jauh pada kawasan mangrove, dengan estetika wilayah pantai yang mempunyai berjuta tumbuhan dan hewan unik akan menjadi daya tarik tersendiri. Yang lebih penting lagi adalah nilai ekonomis, ekologis dan pendidikan yang sangat besar yang ada di kawasan hutan mangrove.

Promosi pengembangan hutan mangrove sebagai kawasan ekowisata harus lebih terpusat pada ketiga nilai tadi, tentunya dengan melihat pula keseimbangan ekologis dari seluruh potensi tadi.

Artikel ini semata-mata kami dedikasikan untuk memberikan sumbangsih pemikiran yang kiranya dapat membantu upaya pelestarian mangrove Pantai Timur Surabaya secara lebih bertanggung jawab dan lebih berpihak kepada "kepentingan Mangrove" itu sendiri, dan bukan berpangku kepada kepentingan bisnis apalagi politik praktis. Jawabannya, kami kembalikan kepada sidang pembaca yang terhormat, apakah di Surabaya, khususnya di pantai timur Surabaya, sudah memenuhi kriteria dan sertifikasi ekoturisme bertaraf Internasional.(dpp)

Check Page Rank of your Web site pages instantly:

This page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service

Locations of visitors to this page