FLORIDA: Bakau yang dilindungi itu diratakan untuk acara Miami Boat Show 2016

on Tuesday, June 30, 2015





MIAMI , Florida ( Reuters ) - New revelations that a long strip of protected mangrove trees were illegally razed amid preparations for the 2016 Miami International Boat Show has outraged Florida environmentalists.

The lost trees, critical to the marine ecosystem, were hacked away in mid-May by a Miami city contractor in advance of the five-day show expected to draw about 100,000 attendees and 1,500 boats.

Environmental activists said in a letter to the U.S. Army Corps of Engineers that staging the show in an environmentally sensitive region could violate a number of federal laws including the Endangered Species Act and the Clean Water Act.

The federal agency is currently weighing permits for the boat show, slated to be held next February at the Miami Marine Stadium.

"You've got sea grasses, corals, manatees, all sorts of protected birds," said Mayra Peña Lindsay, mayor of nearby Key Biscayne, one of the show's staunchest opponents.

The affluent city, on an island just outside Miami city limits, has hired a public relations firm to demand the National Marine Manufacturers Association move its event elsewhere.

But the city of Miami, which has agreed to replant the trees that could take more than five years to grow to full size, continues to support the boat show.

"It was an isolated incident," said Miami Mayor Tomas Regalado.

The more than 300 feet (90 meters) of mangroves were razed from a beach abutting the Miami Marine Stadium, a historic yet long dormant seaside venue that once hosted ocean races and concert performances on floating stages.

Nonprofit organizations and the city of Miami have been working for years to revive the stadium, which was shuttered after Hurricane Andrew in 1992. Miami earlier this year agreed to spend $16 million on an extensive overhaul.

The boat show, celebrating its 75th anniversary in 2016, also committed several million to improving the structure.

"Boaters are some of the original conservationists," said Ellen Hopkins, spokeswoman for the National Marine Manufacturers Association.

KNTI Laporkan Kerusakan Hutan Mangrove Langkat Kepada Menteri

on


Langkat (SIB)- Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Sumatera Utara, melaporkan kerusakan hutan mangrove register 8/L Desa Lubuk Kertang Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat, kepada Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup RI.

"Kami langsung melaporkan kerusakan hutan mangrove Langkat kepada Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan," kata Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Sumatera Utara Tajruddin Hasibuan, di Stabat, Sabtu (27/6).

Ia mengatakan, laporan tersebut disampaikan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, pada acara pertemuan dengan pemerhati lingkungan di Jakarta, Jumat (26/6).

Dalam pertemuan itu juga hadir Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia M Riza Damanik, Direktur Walhi Nasional Albert Nego Tarigan, Direktur Walhi provinsi se Indonesia, dan jaringan aktivis lingkungan hidup.

"KNTI Sumatera Utara menyampaikan persoalan dan solusi yang telah dilakukan di Kabupaten Langkat di kawasan ekosistem mangrove Register 8/L Desa Lubuk Ketang Kecamatan Brandan Barat," katanya.

Sekaligus pada kesempatan itu meminta Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk segera menerbitkan izin areal kerja Masyarakat seluas 477 hektare, yang telah diajukan dan telah diverifikasi saat ini oleh Kementerian.

Serta meminta peninjauan izin pinjam pakai PT Pertamina persero untuk kegiatan sismix 3 D di blok Serembang, agar tidak dilakukan secara semena-mena karena itu merupakan hutan mangrove.

Pada kesempatan itu juga dilaporkan dan berharap segera eksekusi putusan Pengadilan Negeri Medan atas vonis konversi ekosistem mangrove seluas 750 hektare dengan pelaku Sutrisno alias Akam serta melanjutkan kasus kejahatan kehutanan yang telah disidik sejak tahun 2009 yang lalu.

Tajrudin Hasibuan juga menjelaskan para nelayan tradisional pesisir pantai telah menjaga dan merawat serta merehabilitasi dengan pendampingan konkret KNTI beserta jaringan dan telah membentuk beberapa kelompok kerja mangrove seperti Keluarga Bahari, Lestari Mangrove, Tunas Baru.

Ia juga mengungkapkan usai pertemuan dengan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup langsung merespons dan mengagendakan tindak lanjut untuk "Rapat Pimpinan" pada Senin (29/6) guna merespons seluruh laporan yang masuk tersebut.
 
HarianSIB.co

Lestarikan Mangrove Libatkan Semua Stakeholder

on Saturday, June 27, 2015


Ekosistem mangrove memberikan fungsi-fungsi ekologi, sosial ekonomi, dan fisik. Berbagai fungsi tersebut bermanfaat bagi kehidupan manusia. Karena itu perlu ada desain pengelolaan ekosistem mangrove dengan mempertimbangkan seluruh aspek secara terpadu. Seluruh kawasan Mangrove di Kota Tidore Kepulauan merupakan kawasan yang dilindungi secara hukum dan sosial budaya; Kawasan atau bagian yang hutan mangrove-nya telah mengalami kerusakan, harus dilakukan penanaman kembali; Kekhasan fisiografi wilayah, keragaman flora dan fauna secara ekologis perlu dipertahankan keasliannya dan dijaga kelestariannya. Keaslian dan kelestarian potensi alam hutan Mangrove di sekitar pantai yang terdapat di kelurahan Tosa dan Kelurahan Mafututu dapat diwujudkan bila kita mengenal kekayaan apa saja yang terkandung di dalamnya. Khasanah kekayaan alam hutan mangrove yang terpadu dengan budaya masyarakatnya memiliki prospek untuk dikembangkan sebagai salah satu kawasan wisata.
Pengirim:  Tobak Toti
Pemerhati Lingkungan Hidup Tikep

MALUT POS

Tala Miliki 2.518 Hektar Hutan Mangrove

on Thursday, June 25, 2015

Namun dari 2.518 hektar hutan mangrove di pesisir pantai itu, yang kondisinya masih baik seluas 1.531 hektar, sementara 987 hektar hutan mangrove mengalami kerusakan," ujarnya.

Pelaihari  - Pesisir pantai Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, memiliki hutan mangrove seluas 2.518 hektar tersebar di lima kecamatan.

"Namun dari 2.518 hektar hutan mangrove di pesisir pantai itu, yang kondisinya masih baik seluas 1.531 hektar, sementara 987 hektar hutan mangrove mengalami kerusakan," ujar Kepala Badan Lingkungan Hidup Tanah Laut (BLH Tala) Riyadi, selepas acara pencanangan Pelestarian Lingkungan Hidup Pesisir Berbasis Mangrove di Desa Kintap, Kecamatan Kintap, Kabupaten Tanah Laut, Rabu.

Menurut dia, kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir kabupaten tersebut, akibat perubahan iklim, kegiatan bongkar muat batubara di pelabuhan khusus dan lingkungan yang tidak bersahabat.

Diutarakannya, dalam upaya melakukan rehabilitasi terhadap kerusakan hutan mangrove seluas 987 hektar tersebut, pihaknya menggendeng 14 perusahaan bergerak di bidang pelabuhan khusus batubara yang beroperasi di wilayah Kecamatan Kintap.

Kerjasama melakukan rehabilitasi hutan mangrove tersebut, sebut dia, mendapat respon positif dari 14 perusahaan bergerak di bidang pelabuhan khusus batubara dengan dilakukannya penandatanganan kerjasama 14 JUni 2015 di Banjarbaru.

"Kesepakatan yang sudah ditandatangani BLH Tanah Laut bersama 14 perusahaan itu, dibuktikan dengan dimulainya pencanangan Pelestarian Lingkungan Pesisir Berbasis Mangrove," ungkapnya.

Dijelaskannya, dengan dilakukannnya rehabikitasi hutan mangrove tersebut, maka kedepannya kawasan pesisir pantai di Kabupaten Tanah Laut dapat meningkatkan ekosistem, habitat ikan dan keindahan pantai.

Dia berharap, kerjasama yang sudah dilakukan tersebut dapat terus berlanjut hingga kerusakan hutan mangrove benar-benar dapat kembali seperti semula.

Terpisah, Mind Manager PT Arutmin Indonesia Cipto Prayitno mengungkapkan,� pelestarian lingkungan di wilayah pesisir Kabupaten Tanah Laut merupakan komitmen 15 perusahaa tambang yang beroperasi di wilayah Kecamatan Kintap, Kabupaten Tanah Laut.

Dalam komitmen tersebut, sebut dia, 15 perusahaan diwajibkan partisipasi membantu pelaksanaan pelestarian hutan mangrove berupa bantuan bibit mangrove sebanyak 10 ribu.

Sementara, Ketua Asosiasi Terminal Khusus Batubara Kelas III Kecamatan Kintap Darius mengungkapkan rasa terimasihnya kepada Badan Lingkungan Hidup Tanah Laut telah menggalang pelestarian hutan mangrove di Tanah Laut.






Antaranews Kalsel

Working Toward Sustainable Global Fisheries

on

If the world begins fishing smarter—not harder—the dividends could immense.



The ocean is a frontier for sustainable growth. It offers increased food security, economic growth and value-addedINVESTMENT opportunities to nations willing to develop maritime resources without using them up. Yet there is an urgent need to deal directly with declines in the value and harvest of wild-capture fisheries around the world.

Globally, marine fisheries support 260 million jobs, add more than $270 billion to global gross domestic product and provide 3 billion people with nutritious sources of protein. But half of these fisheries produce less seafood, jobs, value and biodiversity than they could otherwise. This is primarily due to perverse incentives, weak laws, poor enforcement, unreported harvests and widespread poaching.

Specific political and economic measures andINVESTMENTS are required to deal with these challenges. Governments need to reduce overfishing, enforce regulations of illegal fishing and enable those with the legal right to manage these resources. There is growing evidence that the benefits of such incremental investments far outweigh the costs. Countries that understand this are taking action.

In Indonesia, overfishing is rampant. Illegal, unregulated and unreported fishing costs the economy more than $20 billion each year. The government has responded with a series of important measures, including a prohibition on the use of all trawl and seine nets, size limits and restrictions on important species that are in decline, a moratorium on new fishing licenses for foreign built vessels, and the destruction of illegal vessels that threaten Indonesia’s sovereignty and prosperity.

Underscoring the demand for seafood, during the first quarter of 2015 Indonesia’s fisheries industry grew at twice the national rate. Catches for certain fish are also up, with Indonesia’s tuna yield increasing 80% from April to May of this year. Now the challenge is to ensure that these fisheries are sustainable, otherwise such benefits will quickly erode.

There are examples to suggest that this goal can be achieved. Over the past 14 years, the U.S. has accomplished a dramatic reversal in the state of fisheries in its federal waters by improving governance, empowering responsible domestic fishermen, discouraging poachers and increasing transparency. It has slashed the number of overexploited stocks to 37 from 92, while increasing the number of rebuilt populations. The number of fishing jobs in recent years has increased 23% while revenues are up 30%.

There’s every reason to believe that other countries can bring about similar transformations in their waters, and there are compelling incentives to do so. New research shows we can increase profits in the global fishing sector by $74 billion a year if fisheries are managed sustainably. Even though fisheries are currently being heavily harvested in most countries, global fish production could rise by 14% if we fished smarter, not harder. This transition to ocean prosperity could also come fast, unfolding on average within a decade. While it isn’t free, the benefits from transitioning from business-as-usual far outweigh the costs, on the order of 10 to one.

The same research, however, suggests that the alternative scenario of continuing with business as usual is a dark one—a dramatic fall in fish production and a steady erosion in profits until the sector becomes a netMONEY loser, unable to survive without substantial subsidies from the government.

There is no reason to passively accept this narrative. What is required are for more leaders to work with fishers and private-sector partners to achieveINVESTMENT opportunities that implement reforms and unlock the value fisheries hold for those that rely on them.

Ms. Pudjiastuti is Indonesia’s minister of marine affairs and fisheries. Ms. Lubchenco is on the faculty at Oregon State University and was from 2009 to 2013 the administrator of NOAA and under secretary of commerce for oceans and atmosphere. 

Batam Kehilangan Ratusan Hektar Hutan

on Sunday, June 14, 2015

Mangrove

REPUBLIKA.CO.ID, BATAM -- Badan Pengendali Dampak Lingkungan Kota Batam menyatakan sepanjang 2015 sekitar 800 hektare hutan mangrove Batam yang berfungsi melindungi daratan dari abrasi hilang akibat berbagai kegiatan.

"Sebanyak 620 hektare mangrove hilang dikawasan Tembesi, Sagulung setelah kawasan tersebut beralih fungsi dan dibangun waduk. Sisanya rusak karena penimbunan untuk kepentingan wisata, penambangan pasir dan penebangan usaha arang," kata Kepala Badan Pengendali Dampak Lingkungan Kota Batam, Dendi Purnomo, Ahad (14/6).

Untuk kerusakan atau hilangnya mangrove karena alih fungsi sesuai dengan tata ruang seperti yang terjadi di Tembesi, kata dia, Bapedal Batam tidak bisa mengambil tindakan.

Namun, untuk kasus hilangnya mangrove karena kegiatan ilegal seperti penambangan, dapur arang, dan untuk kepentingan komersial lain tetap akan ditindak tegas.

"Dapur arang dilakukan operasi penindakan dan akan dikenakan UU Kehutanan. Karena kegiatan tersebut sudah sangat merusak," kata dia.

Selain itu, kata dia, sejumlah perusakan mangrove di kawasan Galang Baru juga sudah ditetapkan tiga orang tersangka salah satu diantaranya merupakan warga Cina.

"Selain warga Cina, tersangka lainnya adalah pemilik lahan, pemilik alat berat. Kasusnya sudah SPDP dan tinggal nunggu penetapan pengadilan," kata dia.

Untuk pengrusakan akibat tambang di Tanjungkelingking, kata dia, sudah ada penetapan terhadap tersangka Z yang saat ini menjalani wajib lapor dua kali seminggu.

"Pengrusakan untuk wisata di Setokok dengan luas mangrove 15 hektare juga sudah dihentikan. Saat ini kasusnya masih terus didalami oleh petugas. Dari semua kegiatan tersebut, sekitar 800 hektare hutan mangrove yang hilang," kata Dendi.

Dendi mengatakan, pada periode 1970 total luas hutan mangrove di Batam mencapai 24 persen dari keseluruhan luas wilayah. Namun saat ini hanya tinggal tersisa 4,2 persen saja.
 
 

Kawasan Mangrove Terancam Rusak, Tiga Dinas Harus Dievaluasi

on Friday, June 5, 2015


AMBON - Komisi III DPRD Kota Ambon meminta Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy dapat mengevaluasi kinerja  Dinas Tata Kota, Badan Lingkungan Hidup (BLH) serta Badan Pertanahan kota Ambon menyusul adanya ancaman kerusakan pada kawasan konservasi mangrove di Kota Ambon saat ini.
Ketua Komisi III Rovik Akbar Afifudin mengungkapkan evaluasi terhadap kinerja ketiga instansi tersebut harus dilakukan karena saat ini kawasan konservasi mangrove yang seharusnya dilindungi telah berada dalam ancaman keruskaan yang sangat serius.
Desakan agar kinerja ketiga instansi itu dievaluasi juga karena masih banyak pemukiman warga yang dibangun di lereng-lereng gunung maupun daerah aliran sungai, padahal hal tersebut bertentangan dengan Perda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
“Sebelumnya pemkot telah memberikan larangan, bahkan tidak akan memberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) kepada warga kota Ambon untuk mendirikan bangunan di wilayah konservasi mangrove baik itu di wilayah lereng gunung maupun wilayah aliran sungai, tapi yang terjadi malah sebaliknya,”ungkap Rovik  kepada wartawan, Kamis (4/6).
Menurutnya kawasan konservasi mangrove yang seharusnya menjadi lahan yang harus dilindungi  kini seakan  telah beralih fungsi menjadi kawasan perbelanjaan. Dia mencontohkan di kawasan Passo misalanya, kini terus dibangun pemukiman dan pusat perbelanjaan padahal itu dilakukan di areal kawasan konservasi mangrove. 
“Mangrove disana kini hampir tak terlihat lagi akibat ditebang untuk perluasan areal pembangunan Ambon City Center (ACC) dan pembangunan pemukiman, seharusnya intstansi terkait mampu mencegah hal itu,”ujarnya.
Terkait masalah tersebut, dia mengaku DPRD dalam hal ini komisi III akan meminta kepada Wali Kota untuk mengevaluasi  dinas terkait menyusul terjadinya masalah tersebut. Dia juga meminta agar dinas terkait dapat memperhatikan keberadaan kawasan konservasi yang saat ini berada dalam ancaman kerusakan. 
Rovik juga mengatakan meski kawasan disekitar mangrove tersebut adalah lahan milik warga namun, pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap konservasi lingkungan tersebut. dilanjukannya, pihaknya juga telah melakukan pengecekan terkait perizinan pembangunan yang ada disekitaran wilayah itu. Namun sampai saat ini belum ada izin diberikan untuk mendirikan bangunan di daerah tersebut.
“Sekalipun tanah itu milik orang tapi pemerintah bertanggung jawab terhadap konservasi lingkungan itu, makannya sampai sekarang setelah kita cek di Bappeda juga belum ada izin,”ujar Rovik.
Dia mengakui saat ini dinas Tata Kota telah memasang sejumlah tanda larangan di kawasan mangrove tersebut. Namun masih saja ditemukan pembangunan di kawasan tersebut, karenanya dinas terkait harus lebih meningkatkan pengawasannya di lapangan.
“Badan Pertanahan juga dalam mengeluarkan sertifikat harus melakuan koordinasi dengan pihak terkait, sehingga tidk terjadi masalah-masalah yang tidak diinginkan dikemudian hari,”tegas Rovik. 

KABAR TIMUR

Tanam Mangrove

on


Tanam MangroveKomandan Pasmar-1 Brigjen TNI (Mar) Kasirun Situmorang, menanam mangrove di kawasan pesisir pantai sedati, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (4/6). Kegiatan tersebut sebagai bentuk partisipasi Pasmar-1 Korps Marinir dalam menjaga kelestarian lingkungan dan mengurangi dampak pemanasan Global. (ANTARA FOTO/Umarul Faruq)

Pemkab Karawang Tidak Mampu Perbaiki Kerusakan Muara

on


Pemkab Karawang Tidak Mampu Perbaiki Kerusakan Muara
Muara sungai di daerah Cilamaya Karawang. (Foto Antara/ M Ali Khumaini/Dok)
Program rutin mengatasi pendangkalan muara itu diperlukan, agar kerusakannya bisa diatasi dengan cepat.
Karawang, (Antara Megapolitan) - Pemerintah Kabupaten Karawang, Jawa Barat, tidak mampu memperbaiki kerusakan sejumlah muara sungai menuju tempat pelelangan ikan, karena pada tahun ini tidak ada alokasi anggaran kegiatan perbaikan muara sungai.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan setempat Hendro Subroto di Karawang, Selasa, mengatakan, para nelayan di pesisir utara Karawang memang banyak yang mengeluhkan kerusakan muara sungai yang menjadi akses menuju tempat pelelangan ikan.

"Pendangkalan (kerusakan) sejumlah muara sungai membuat kapal nelayan tidak bisa bersandar ke TPI (tempat pelelangan ikan). Dengan begitu, mereka tidak bisa menjual hasil tangkapannya di TPI," katanya.

Ia mengaku tidak bisa berbuat banyak, karena pihaknya belum memiliki anggaran untuk melakukan perbaikan kerusakan muara sungai tersebut.

"Kami masih mencari solusi, bagaimana mengatasi kerusakan muara sungai itu, meski saat ini belum ada alokasi untuk perbaikan muara sungai itu," ujarnya.

Hendro menyatakan, saat ini pendangkalan muara yang menuju TPI sudah cukup parah. Bahkan, dari waktu waktu ke waktu kondisi pendangkalannya semakin parah.

Pendangkalan muara sungai itu sendiri diakuinya sebagai fenomena alam yang tidak bisa dipastikan periodenya. Tingkat kerusakannya tidak bisa dikatakan tahunan. Bahkan tiga bulan setelah pengerukan, terkadang muara sudah dangkal kembali.

Ia menyarankan agar Dinas Bina Marga dan Pengairan Karawang menggulirkan program rutin dalam mengatasi pendangkalan sejumlah muara sungai di wilayah pesisir utara Karawang.

"Program rutin mengatasi pendangkalan muara itu diperlukan, agar kerusakannya bisa diatasi dengan cepat," katanya.

Ia mengaku sudah berkoordinasi ke Dinas Bina Marga Karawang, dan organisasi perangkat daerah itu memiliki anggaran untuk perbaikan muara sungai.

"Tetapi, anggarannya tidak cukup. Karena kebanyakan anggaran hanya digunakan untuk pengerukan sungai Citarum," katanya.

Check Page Rank of your Web site pages instantly:

This page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service

Locations of visitors to this page