HIDUPNYA didedikasikan sepenuhnya buat kelestarian alam. Sebagai salah satu keturunan kewang, Eliza Kissya ditunjuk secara adat oleh negerinya sebagai Kepala Kewang yang tugasnya dalam strata adat, semacam polisi penjaga negeri/desa, mulai dari darat hingga laut. Sudah 27 tahun Eliza mengabdikan diri sebagai Kepala Kewang di Negeri Haruku Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah.
Tidak mudah mempertahankan kelestarian alam yang menjadi beban tugasnya. Selain berhadapan dengan pelaku pembom ikan yang kegiatannya berakibat pada hancurnya ekosistem laut terutama terumbu karang yang menjadi habitat ikan, Eliza juga tidak sedikit harus berhadapan dengan aparat negara, pemilik modal, perusahaan tambang, bahkan perundang-undangan negara yang tidak sejalan dengan aturan adat yang sudah digariskan leluhurnya sejak ratusan tahun lalu.
Meskipun berat memikul jabatan adat ini, namun sebagai salah satu keturunan kewang, Eliza tidak bisa mengelak ketika Marga Kissya menunjuknya sebagai kepala kewang. Eliza bersama kakaknya yang sudah jauh-jauh hari dipersiapkan meneruskan tradisi leluhurnya, terpaksa mengorbankan sekolah. Pendidikannya berakhir di kelas 6 sekolah dasar. Kakak Eliza sendiri dipercayakan menjabat sekretaris desa dan Eliza sebagai kepala kewang.
Resmi diangkat sebagai kepala kewang tahun 1979, tantangan pertama yang dihadapinya adalah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 yang menyeragamkan pemerintahan desa di seluruh Indonesia. Akibat dari pemberlakuan undang-undang ini, pranata adat negeri di Maluku atau setingkat desa, semua struktur adatnya melemah.
Di Provinsi Maluku khususnya Kabupaten Maluku Tengah yang mencakup Pulau Seram, Pulau Ambon dan Kepulauan Lease, pranata adat yang sudah terbangun sejak ratusan tahun seperti raja (kepala pemerintahan sekaligus pemangku adat) berubah menjadi kepala desa. Saniri negeri atau dewan musyawarah negeri menjadi LMD (Lembaga Musyawarah Desa).
Sementara kepala soa (kepala mata rumah/marga), kapitan (panglima perang), kewang (penjaga keamanan dan ketertiban negeri), marinyo (penyampai titah raja ke masyarakat), tuan tanah (pemilik tanah), dan struktur adat lainnya menjadi kehilangan fungsi.
Meskipun begitu, Eliza tidak tinggal diam. Kendati di negeri-negeri lain struktur adatnya menjadi lemah tak berdaya akibat UU Nomor 5 Tahun 1979, dia berupaya mencari jalan sendiri dengan tetap mempertahankan lembaga kewang beserta tradisi leluhurnya yakni sasi. Sebagai kepala kewang, dia berkewajiban menerapkan sasi yang merupakan tradisi para leluhur untuk menjaga dan mengamankan sumber daya alam baik di darat maupun laut.
Di Haruku ada tiga macam sasi yakni sasi laut, sasi darat, dan sasi dalam negeri. Sasi laut misalnya, kelompok masyarakat yang ingin melindungi jenis ikan tertentu maka dipasangi sasi. Dalam waktu tertentu, satu tahun atau dua tahun, kawasan laut yang sedang di sasi dilarang mengambil ikan.
Demikian pula sasi hutan, masyarakat dilarang mengambil hasil hutan seperti kelapa, kenari, pinang, cempedak dalam waktu tertentu. Jika dilanggar disamping sanksi moral juga sanksi material atau uang yang dikenakan kepada pelanggar Sasi dalam negeri di Haruku lebih mengutamakan soal etika. Misalnya, dilarang laki-laki bersarung di luar rumah pada siang hari, kecuali sakit. Ada juga larangan agar perempuan sewaktu pulang dari sungai setelah mandi maupun menyuci tidak boleh memakai kain sebatas dada. Kalau melanggar dikenai denda Rp.10.000.
Berbagai bentuk sasi ini muaranya hanya satu yakni kearifan manusia terhadap alam. Dalam konteks itulah, Eliza menyatakan, peraturan sasi pelaksanaannya menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar manusia itu sendiri. Sasi juga berarti upaya memelihara tata-krama hidup.
Menurut Eliza, tradisi sasi sudah ada sejak tahun 1600-an. Dia sendiri merupakan generasi keenam yang menjabat posisi kepala kewang untuk mengamankan tradisi sasi tersebut.
“Saat ini orang mulai berbicara tentang pembangunan berkelanjutan, tapi jauh sebelum itu nenek moyang kami sejak ratusan tahun lalu sudah menerapkan sistem pengelolahan tradisional yang disebut sasi dan sampai saat ini masih berjalan di masyarakat kami,” kata Eliza saat ditemui Radio Vox Populi beberapa waktu lalu.
Dalam pengertian harfiahnya sasi berarti larangan. Sasi bisa pula diartikan larangan mengambil sumber daya alam sampai pada waktunya. Di Haruku, sasi yang terkenal dan mendapat perhatian dunia adalah sasi lompa (ikan jenis Trisina baylama) karena keunikannya dalam prosesi adat mulai dari tutup sasi (awal larangan tersebut), hingga saat buka sasi.
Yang menarik di Haruku, ikan lompa yang merupakan ikan air laut justru di panen di sungai. Aturan adat di Haruku mengharuskan warganya wajib menjaga dan melindungi ikan tersebut, sejak masa memijah (melepas telur) hingga masa panen.
Ikan-ikan ini biasanya pada pukul 16.00 akan keluar dari sungai menuju laut di daerah karang yang dinamai batu lompa. Jarak batu lompa dengan pantai Haruku sekitar 1 mil laut. Saat prosesi adat buka sasi lompa dilakukan, para kewang yang berjumlah 40 orang dipimpin Eliza memanggil ikan-ikan tersebut dengan hanya membakar lobe (daun kelapa kering) di pesisir pantai, dekat muara sungai yang akan dijadikan tempat panen.
Lobe dibakar dan dibacakan mantera-mantera. Secara aneh ikan-ikan tersebut akan berdatangan dan terlihat jelas di permukaan air laut. Biasanya, buka sasi lompa dilakukan pada malam hari, dan sekitar pukul 04.00 dinihari ikan-ikan tersebut akan berdatangan dan siap dipanen.
“Menurut penelitian perikanan, waktu ikan-ikan ini keluar dari sungai perutnya dalam keadaan kosong. Untuk menentukan kapan buka sasi harus melalui persidangan adat. Kami selaku kewang sudah tahu ikan ini sudah memijah atau belum, kelihatan dari bagian punggungnya berwana kemerahan berarti ikan itu sudah melepas telurnya. Kondisi tubuhnya kita lihat secara jelas di sungai yang jernih,” ceritanya.
Namun saat sasi diberlakukan, siapapun baik warga Negeri Haruku maupun mereka yang berasal dari negeri tetangga dilarang mengambil sumber daya alam yang ada. Biasanya sasi berlaku dalam tenggang waktu tertentu yakni selama tiga bulan, enam bulan, maupun satu tahun. Saat sasi dibuka, masyarakat beramai-ramai mengambilnya dengan penuh suka-cita.
Menurut pria kelahiran 12 Maret 1949 ini, dari aspek ekonomi, tradisi sasi sangat menguntungkan masyarakat karena hasil panen akan melimpah-ruah. Masyarakat bisa makan secara berkelebihan, kemudian ada simpanan untuk masa-masa paceklik baik simpanan uang maupun sumber daya alamnya.
Dari aspek sosial, perempuan janda dan anak-anak yatim piatu mendapat porsi lebih banyak dari masyarakat lain dalam memperoleh haknya dari hasil sasi tersebut. Kalau yang di sasi adalah ikan dan masyarakat mendapat satu tumpuk keranjang ikan, maka perempuan janda dan anak yatim piatu memperoleh dua tumpuk keranjang ikan. Pembagian ini tergantung dari hasil yang diperoleh saat buka sasi.
Sementara aspek lingkungan hidup ekosistem alam tetap terjaga. Penangkapan ikan maupun pengambilan hasil hutan dibatasi dengan menganut prinsip kelestarian. Misalkan saja, jika pemilik pohon sagu ingin memanen hasilnya, dia harus lebih dulu meminta ijin Kewang. Dari situlah Kewang menerapkan aturan yakni si pemilik boleh menebang pohon sagu untuk mengambil sarinya, tapi dia harus menyisakan tiga pelepah pohon dan pucuk daun agar kelangsungan hidup dari pohon sagu itu tetap terjaga.
“Bicara soal adil dan merata, saya kira praktek-praktek ini sudah berjalan sejak jaman dahulu dan diterapkan nenek moyang kami lewat sistem sasi. Semua orang bisa merasakan bagaimana hidup di kampung tidak ada yang lebih, dan ada yang kurang. Kalau sasi ini hilang, betapa ruginya kita maupun anak cucu kita kelak. Satu kerugian besar dimana orang lain mau menggunakan sasi sebagai suatu contoh, sementara kita tidak lagi menggunakannya. Ini kembali ke pemerintah daerah apakah mereka mau menghidupkan lembaga kewang dan sasi, ataukan hanya ketika ada acara-acara seremonial seperti pelantikan raja baru menggunakan mereka sebagai satu komunitas adat,” katanya.
Tradisi unik para leluhur yang tetap dipertahankan bapak enam anak ini mengantarkannya mendapat penghargaan kalpataru tahun 1985, satyalencana lingkungan hidup tahun 1999, dan sejumlah piagam penghargaan baik tingkat nasional maupun internasional atas dedikasinya melestarikan lingkungan hidup. Dia juga sering diundang untuk berbicara di forum nasional maupun internasional yang melibatkan komunitas adat dari berbagai negara.
Tidak mudah bagi suami Elizabeth Kissya ini menjalankan tradisi leluhurnya. Banyak tantangan yang harus dihadapi. Menangkap pelaku pembom ikan dan menggiringnya sampai ke pengadilan tanpa ada dukungan dari pihak lain, tidak membuatnya patah arang.
Persidangan di Pengadilan Negeri Ambon, harus ditempuhnya dari Haruku ke Ambon dengan menyeberangi pulau. Tanpa dampingan dari lembaga hukum dan dengan biaya sendiri, Eliza gencar memperjuangkan hak-hak negerinya yang dihancurkan oleh perusak alam. Kerja sebagai kepala kewang, Eliza tidak berharap banyak soal finansial karena dia tidak digaji. Untuk menafkahi keluarganya, dia hanya bisa bercocok tanam dan beternak.
“Saya tidak berharap banyak dari tanggungjawab ini. Saat ada persoalan sampai ke peradilan, itu masa-masa sulit saya. Tidak ada biaya dari kampung ke Ambon untuk mengikuti proses sidang, dan tidak ada lembaga bantuan hukum yang melindungi saya. Saat-saat itu saya berbicara sendiri di lembaga peradilan sebagai masyarakat adat yang memperjuangkan hak-hak adat kami,” terangnya.
Untuk membiayai lembaga kewang, Eliza kemudian menulis buku tahun 1980 berjudul Sasi Aman Harukui (Sasi Negeri Haruku). Buku karyanya itu menceritakan tradisi sasi dan diyakininya sebagai alat perjuangan untuk memperkenalkan kewang dan sasi bagi khalayak luas. Buku ini laris manis terjual habis di pasar karena menjadi kebutuhan mahasiswa, aktifis lingkungan hidup, peneliti, kalangan LSM, dan para antropolog. Bahkan pada cetakan kedua, OXFAM memintanya untuk menerbitkannya dalam edisi bahasa Inggris.
Meski para pelaku pembom ikan akhirnya dihukum, namun menurut Eliza tidak membuat mereka jera. Dakwaan jaksa hanya sebatas penggunaan bahan peledak, dan bukan tuntutan pengrusakan lingkungan hidup karena hukumannya bakal berat. Kebanyakan dari para pelaku pembom ikan di hukum satu tahun penjara bahkan kurang, sehingga saat selesai menjalani masa hukumannya, perbuatan membom ikan diulangi kembali.
“Dari situ saya berpikir agar hukum adat harus tetap jalan bersama-sama dengan hukum positif. Nilai hukum adat saya tegakan dimana para pelaku kejahatan pengrusak lingkungan harus membayar denda buat masyarakat adat berupa nilai uang tergantung perbuatannya. Denda paling besar Rp.200 ribu buat perbaikan lingkungan, walaupun itu nilainya sangat kecil dibandingkan kerusakan alam yang dibuatnya. Saya lihat bahwa sistem peradilan yang ada, baik dari polisi hingga ke tingkat peradilan tidak bisa mengatasi perbuatan para pelaku pembom ini. Artinya, saat dia keluar dia akan melakukan perbuatannya lagi,” ujarnya.
Tak dapat dipungkiri, Negeri Haruku pernah terusir dan terbakar habis ketika kerusuhan tahun 2000. Dia pun mulai berhati-hati menerapkan sanksi apalagi memenjarakan para pelaku pembom ikan yang kebanyakan berasal dari negeri tetangga yang pernah berperang dengan negerinya. Jika tadinya dia berusaha memenjarakan para pelaku pembom ikan itu, kini dia menggunakan cara penyelesaian secara kekeluargaan.
“Kita berhadapan dengan masalah kerusuhan apalagi negeri saya pernah hancur akibatnya. Karena Kerusuhan ini, kita harus menggunakan cara lain untuk menjaga hubungan kekeluargaan antara dua komunitas, juga hubungan antar negeri. Menangani pelaku pembom ikan dari negeri tetangga saya lalu menggunakan pendekatan dengan aparat negerinya maupun pihak keluarga untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. Pendekatan kekeluargaan menurut saya lebih mengutungkan daripada saya harus militan. Dulu saya dengan semangat tinggi berjuang sehingga punya banyak musuh. Tapi kini harus hati-hati karena sekecil apapun masalah, bisa diboncengi menjadi masalah besar,” katanya.
Selain para pembom ikan, pria berjenggut ini harus pula berhadapan dengan para pemilik modal yang memiliki bagang penangkap ikan. Bagang yang menggunakan mata jaring kecil dan pola penangkapannya menggunapan lampu sorot yang bisa menarik perhatian ikan, membuat ikan berukuran besar maupun kecil semuanya ikut terjaring. Ukuran mata jaring bagang tidak membiarkan ikan kecil lolos sehingga populasinya kian berkurang. Parahnya lagi, bagang-bagang ini berada di jalur lewat ikan lompa dari batu lompa ke sungai Haruku sehingga populasinya kian terancam.
Sasi Lompa sebelumnya biasa dilakukan satu bahkan dua kali dalam setahun. Namun, tradisi itu semakin terancam karena populasinya makin berkurang. Pernah saat buka sasi yang dilakukan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim tahun 1986, berhasil memanen 32 ton ikan lompa.
“Kini populasi ikan lompa semakin kurang akibat beroperasinya bagang yang sebenarnya bukan mata pencarian orang asli di Maluku. Akibatnya, sasi lompa bisa dibuka dua tahun bahkan lebih. Hasilnya yang didapat pun semakin berkurang,” tuturnya.
Dia menyesali adanya undang-undang perikanan terkait pengawasan penggunaan alat tangkap namun tidak diaplikasikan di lapangan. Adanya undang-undang ini, kata dia, intansi terkait tidak serta merta melakukan pengawasan dan pengontrolan sehingga hukum positif terkesan tidak memihak hukum adat.
“Hukum adat kalau masih dihargai maka undang-undang dan peraturan yang dikeluarkan pemerintah mestinya berpihak ke masyarakat adat yang memiliki hukum tersendiri. Karena jauh sebelum ada hukum positif, hukum adat sudah ada lebih dulu sejak ratusan tahun lalu. Bahkan keberadaanya yang dinilai tradisional sudah berbicara soal pembangunan berkelanjutan dan pemeliharaan lingkungan hidup dengan memegang prinsip kelestarian,” ujarnya.
Selain itu, salah satu perjuangan Eliza yang menguras energi adalah ketika perusahaan emas PT. Aneka Tambang berniat melakukan eksplorasi pertambangan di kampungnya awal tahun 1990. Berhadapan dengan perusahaan bahkan pemerintah daerah, tidak membuatnya pantang-mundur. Dia berkeyakinan, jika eksplorasi itu berhasil dilakukan maka akan menjadi ancaman bagi lingkungan bahkan warganya.
Pemetaan lokasi eksplorasi, pihak perusahaan melakukan penebangan pohon-pohon cengkih milik warga untuk jalur masuk ke hutan tanpa ada pemberitahuan. Warga yang marah kemudian memotong sejumlah kabel yang dipakai untuk kebutuhan pemetaan. Tindakan sepihak perusahaan ini kemudian dilaporkan oleh warga ke Polsek Haruku di Desa Pelauw. Bukannya mendukung, warga malah ditahan oleh anggota polisi dengan alasan menghambat pembangunan, bahkan hingga disidangkan kasusnya.
Eliza tidak kehilangan akal, dibuatkanlah papan larangan untuk membatasi gerak perusahaan masuk ke hutan yang mengandung emas. Papan tersebut bertuliskan “Dilarang Merusak Hutan Lindung Dan Hutan Pusaka Haruku”. mendapat dukungan penuh dari masyarakat dia kemudian menggalang aliansi dengan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup (MPLH) Universitas Pattimura, kalangan media massa, dan kemudian bersama-sama menyurati presiden saat itu Soeharto, untuk tidak mengijinkan beroperasinya PT. Aneka Tambang di Haruku.
Perlawanan Eliza bersama para pendukungnya ini mendapat serangan balik dari perusahaan, pemerintah daerah khususnya dinas pertambangan, hingga babinsa dan Koramil Pulau Haruku. Bahkan pihak yang menentang masuknya perusahaan dituding sebagai Partai Komunis Indonesia atau pemberontak oleh pihak koramil.
Sudah menjadi kebiasaan keluarga Eliza, ketika ada masalah dia sekeluarga akan berdoa bersama-sama. Dia sempat tak dapat menahan haru ketika putri bungsunya Halida Kissya berdoa sampai menangis saat bapaknya menghadapi masalah dengan perusahaan tersebut. Dibantu kalangan LSM dan pemerharti lingkungan serta dukungan media massa, Eliza berjuang hingga akhirnya perusahaan tersebut mundur dan tidak beroperasi.
“Kehadiran perusahan tambang ini bagi saya tidak akan menguntungkan masyarakat. Kita tidak akan jadi tuan di negeri sendiri tapi jadi hamba di negeri sendiri. Apalagi dampak kerusakan yang akan ditimbulkannya sangat besar. Ini yang membuat saya bersama teman-teman LSM berjuang agar perusahaan itu tidak beroperasi,” katanya beralasan.
Di akhir wawancara, Eliza mengemukakan, prinsipnya dia mengabdikan diri sebagai kewang yang merupakan warisan leluhur tidak terpikirkan untuk mencari popularitas apalagi materi, tapi bagaimana menunjukan bahwa masyarakat adat dibidang pengelolahan lingkungan punya kualitas. Bahkan saat penerimaan kalpataru dan satyalencana lingkungan hidup, dia mewakilkannya kepada Raja Haruku untuk menerima penghargaan tersebut.
“Batin saya puas jika apa yang saya perjuangkan berhasil, terutama bisa mempertahankan warisan nenek moyang saya. Istri dan anak-anak saya juga sudah mengerti, apa yang saya lakukan banyak menghadapi tantangan, kerja tanpa pamrih, kerja tanpa digaji, dan mendapat tekanan luar biasa dalam menjalankan tugas,” tandasnya.
0 komentar:
Post a Comment