"Amunisi" pendukung utama untuk survey lapangan

on Monday, December 19, 2011


Sebuah proses panjang, seyogyanya menjadi prasyarat untuk sebuah kegiatan konservasi mangrove. Menentukan lokasi tanam, yang kemudian dilajutkan dengan proses pengamatan medan, mengamati karakteristik pasang surut, serta tidak ketinggalan tingkat aktifitas masyarakat di sekitar kawasan yang direncanakan akan ditanami mangrove. Semua data tersebut harus terangkum sebagai sebuah bahan awal, untuk menentukan perencanaan kegaiatan penanaman mangrove sebagai agian dari sebuah gerakan nyata konservasi pesisir.
Beragam data, kondisi medan yang harus dilalui para surveyor, tentu saja sangat menguras tenaga. Secara otomatis, konsentrasi yag pada ujungnya mempengaruhi ketajaman daya ingat, juga dapat berkurang. Padahal informasi di lapangan itulah yang seharusnya dikompilasi untuk pada akhirnya menjadi landasan dalam bertindak. Kehadiran media bantu, seperti ultrabook-notebook tipis, tentu saja sangat memudahkan proses kompilasi data. Media penyimpanan sekaligus pengolahan data, yang dengan gampang dipindahkan, dan tidak memperberat beban punggung para surveyor yang pastinya menghadapi medan yang cukup berat dan menguras energi.
Kehadiran ultrabook-notebook-tipis ini juga dapat menjadi penghibur dikala lelah, diantara kaitan akar mangrove yang saling membelit, menghadirkan suasana yang menyegarkan.

Informasi tentang peran notebook yang sangat mendukung proses survey di laphttp://www.blogger.com/img/blank.gifangan ini, dapat dibuka melalui situ resminya, disini, sebagai produsen Ultrabook Notebook Tipis Harga Murah Terbaik.

Wahyono: "Kuncen" Mangrove Segara Anakan

on Tuesday, October 25, 2011

Thomas Heri Wahyono, perintis gerakan penghijauan mangrove di Kawasan Segara Anakan, Cilacap, Jateng. Foto : L Darmawan


"Hamparan mangrove di hutan dan tepian laguna bagi Anda mungkin tak ada artinya. Tetapi,saya yakin, menanam dan memelihara hutan mangrove di tanah dan kebun sendiri akan bermanfaat bagi kehidupan kita dan anak cucu di kemudian hari......"
OLEH GREGORIUS MAGNUS FINESSO
Kalimat tersebut menjadi "mantra' dalam hidup Thomas Heri Wahyono. Kalimat itu kembali diulang saat ia berjalan kaki melintasi hutan mangrove  menuju rumah semipermanen di Dusun Lempong Pucung, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah. Daerah pelosok ini berdekatan dengan bibir laut selatan kawasan laguna Segara Anakan.
     Kalimat itu pula yang menjadi pedoman Wahyono selama belasan tahun meyakinkan warga di sekitar laguna untuk menanami lahan mereka dengan mangrove (bakau). Kawasan ini mulai rusak akibat degradasi lingkungan.
     Bagi warga Kampung Laut yang rata-rata berpendidikan SD, semangat menanam mangrove yang tumbuh di benak Wahyono itu tidak lazim. "Desa, kok, malah dihutankan," katanya menirukan cibiran warga desa saat gerakan menanam mangrove dimulainya tahun 1999.
     Perjuangan pria tamatan SD ini dalam menghijaukan hutan berawal dari keprihatinan melihat desa kelahirannya kian gersang. Mengenang masa kecilnya, Wahyono merasa bahagia dengan hutan bakau di sekitarnya. hamparan pepohonan itu menjadikan lingkungan tempat tinggalnya kaya biota laut. Udang, kepiting, dan ikan begitu melimpah.
     Tak hanya asri, hamparan mangrove di sekitar Pulau Nusakambangan saat itu juga bermanfaat bagi warga yang hendak menggunakan kayu untuk rumah. Meski begitu, warga kampung Laut hanya mengambil kayu sesuai dengan keperluan mereka. 
Dihancurkan tambak
     Nostalgia Wahyono menjadi mimpi buruk kala 1995 puluhan investor dari Jawa Barat membabati hutan mangrove untuk tambak udang. Apalagi, warga setempat tertarik akrena mereka dimungkinkan memperoleh banyak uang sebagai pekerja tambak. tahun-tahun awal masyarakat menikmati hasilnya. 
     Namun, masa keemasan tambak udang tak bertahan lama. Sekitar tahun 1999, satu persatu tambak bangkrut. Serangan virus dan turunnya harga udang dunia memaksa investor angkat kaki dari Kampung Laut, meninggalkan ribuan hektar gundul.
     Tinggallah kampung Laut yang sebelumnya asri menjadi "gurun pasir", panas dan gersang. Tergugah mengembalikan keasrian alam, Wahyono mulai menanami mangrove di lahan bekas tambak itu seorang diri.
     "Awalnya, saya sendiri mencari biji mangrove dengan perahu ke hutan-hutan yang masih tersisa. Saya pergi siang, pulang malam. Setelah terkumpul banyak, saya menanami lahan bekas tambak dengan biji mangrove itu,"ungkap Wahyono yang sejak 2003 menjadi Kepala Dusun Lempong Pucung.
     Dia lalu mengajak kerabatnya untuk ikut menghijaukan lingkungan dengan mangrove. "Kali ini, ide saya diterima. Kami membentuk semacam kelompok,  namanya Keluarga Lestari, beranggota tujuh orang. Tujuannya sederhana, menghijaukan lingkungan mangrove yang rusak.," katanya bersemangat.
     Namun, gerakan penghijauan lahan di sekitar laguna tak mudah.Caci maki, bahkan tuduhan sebagian tetangga bahwa upaya menanam mangrove itu adalah proyek titipan yang hanya menguntungkannya harus dia hadapi. Wahyono tak menyerah.
     "Jika hutan mangrove lebat, ikan, udang, dan kepiting akan gampang  didapat. Itu pengalaman nyata panjenengan (Anda), bukan? Kalau butuh kayu, tinggal memotong ranting pohon mangrove yang besar. Tidak seluruhnya, agar pohon tidak mati," kata Wahyono setiap bertemu warga setempat.
Tanpa upah
     Gerakan penghijauan itu  lambat laun mampu menggugah kesadaran warga, bukan hanya warga di dusunnya, melainkan juga warga di desa tetangga, seperti Ujung gagak dan Klaces. Ia memanfaatkan setiap pertemuan dengan warga untuk bicara soal mangrove.
     Setelah menjadi kepala dusun, Wahyono pun punya kesempatan lebih besar untuk mengajak warga melestarikan mangrove. maka,terbentuklah kelompok Krida Wana Lestari pada 2004, yang lalu berubah nama menjadi Patra Krida Wana Lestari.
     "Sejak awal, saya sudah wanti-wanti untuk tak bicara upah. Apa yang kami lakukan ini tidak ada yang membayar. Kegiatan ini murni penghijauan, tak ada yang lain," katanya.
     Untuk menambah pengetahuan tentang mangrove, Wahyono mengikuti pelatihan dan lokakarya mengenai tumbuhan endemik perairan payau hingga ke luar daerah. Setiap mendengar ada seminar budidaya mangrove, dia mengajukan diri menjadi peserta.
     Dari berbagai seminar itu, wawasannya mengenai budidaya mangrove semakin luas. Ia jadi tahu bahwa memelihara mangrove jauh lebih sulit dibandingkan dengan saat menanam.
     "Saya bersama kelompok secara rutin membabati ilalang dan benalu yang tumbuh di sekotar mangrove. Cukup berat karena luas lahan yang ditanami mangrove mencapai 66 hektar.Kami melakukannya setiap Jumat," tuturnya.
Apresiasi
     Apa yang dilakukan kelompok itu mendapat perhatian banyak pihak, mulai dari Pemerintah Kabupaten Cilacap hingga PT Pertamina unit Pengolahan IV di Cilacap.
     PT Pertamina memberikan pendampingan budidaya kepiting, mulai dari basket (rumah kepiting dari plastik tebal) sampai benih kepiting. Sekitar 33 anggota kelompok pun merasakan manfaat ekonomi dari hasil keringat selama bertahun-tahun.
     Kini, setelah berjalan sekitar 10 tahun, hampir semua halaman warga di Desa Ujung Alang, khususnya Dusun Lempong Pucung, ditanami mangrove, terutama jenis tancang (Bruguiera) dan bakau (Rhizophora) yang kokoh. Bibit-bibit mangrove diberikan Wahyono gratis kepada para tetangga.
     Kesadaran memiliki mangrove telah tertancap kuat dihati warga Kampung Laut. Jika ada warga dari luar kampung yang menebangi mangrove, warga setempat akan menyuruh mereka pergi. Luas lahan di sekitar laguna yang ditanami mangrove sekitar 65 hektar.
     "Itu belum termasuk yang ditanam secara mandiri oleh warga di sekitar rumah mereka," ujarnya.
     Maka, Kampung Laut berangsur kembali asri. Ikan dan udang berenang di celah-celah akar mangrove. Meski persoalan sedimentasi laguna terlalu besar untuk diatasi tangan Wahyono yang kian menua, setidaknya dia bersama kelompoknya telah memulai langkah kecil untuk menyelamatkan lingkungan.
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 24 OKTOBER 2011
 
 
 
Lahir : Kecamatan Ujung Alang, Cilacap, Jawa Tengah, 8 Agustus 1965
Istri : Monica Tumirah (41)
Anak :
- Yuvita Reni Windiastuti
- Antoni Joni Rianto
- Andreas Aji Wibowo
- Rizki Tegar Saputro
Pekerjaan :
- Kepala Dusun Lempong Pucung, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut 
- Ketua Kelompok Patra Krida Wana Lestari
Pelatihan, antara lain :
- Pelatihan Peningkatan Keterampilan Kelompok Masyarakat Desa Tertinggal
  Cilacap, 2000
- Pelatihan Hutan Mangrove bagi Masyarakat Pesisir se-Indonesia, 2007
Penghargaan, antara lain :
- Tokoh Perintis Lingkungan Hidup Kabupaten Cilacap, 2010
- Tokoh Perintis Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Tengah, 2010
 

Pertumbuhan benih mangrove, antara permintaan dan penyediaan

on Monday, February 7, 2011




Tulisan ini kami dedikasikan kepada dunia akademik, yang telah bersusah payah, melakukan penerapan teknologi demi perkembangan keilmuan di bidang mangrove. Walaupun masih belum mencapai hitungan puluan ribu, namun upaya kalangan akademik dan para peneliti dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang menggelayuti mangrove, patut diacungi jempol. Berikut catatan kami, mengenai hal terpuji tersebut.


Masalah mangrove, salah satunya, adalah masalah pertumbuhan. Pembenihan mangrove tergolong sangat lama, bahkan sampai sekitar 12 pekan (6 bulan) untuk mendapatkan bibit mangrove dengan 2 helai daun, terhitung sejak propagul. Sementara untuk mencapai taraf "propagul dengan satu tunas daun", propagul harus ditanam sekitar 45 hari (Yadi, 2005). Jika mempersiapkan bibit tanaman yang dikelola sendiri untuk memenuhi pesanan, membutuhkan waktu 6-8 bulan siap tanam. Sementara, pihak pemesan biasanya mematok waktu pemenuhan bibit, maksimal hanya 5 bulan. Padahal di lain hal, pemenuhan kebutuhan akan penyediaan bibit mangrove merupakan hal yang tak bisa dibantah, lebih-lebih untuk kawasan pantai yang mengalami krisis mangrove (sebuah realitas buruk yang terjadi di berbagai penjuru bumi). Di negara kita sendiri, tingkat kerusakan hutan mangrove sudah mencapai 68%. Kepedulian terhadap mangrove yang belakangan mengalami peningkatan, juga memberikan imbas kenaikan permintaan terhadap bibit mangrove siap tanam. Hal ini juga sekaligus memunculkan masalah baru, dimana permintaan yang sedemikian tingginya, ditambah lagi dengan terbatasnya waktu yang disediakan untuk memenuhi pemesanan bibit tersebut, sementara jumlah bibit yang tersedia tidak mencukupi.

Dunia kampus, ternyata tidak tinggal diam, menyikapi masalah tersebut. Dosen dan mahasiswa dari universitas Muhammadiyah Malang, pada tahun 2010 memunculkan ide untuk menerapkan kultur jaringan, sebagai salah satu cara perbanyakan tanaman secara vegetatif, kepada permasalahan penyediaan bibit mangrove. Sejatinya, kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbayakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril.

Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan ditengarai mempunyai beberapa penanda, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional. Sampai saat tulisan ini diturunkan, sayangnya belum terdapat jawaban dari upaya ini.

Permasalahan penyediaan bibit rupanya juga cukup menyedot perhatian civitas akademika bilamana dirunut lebih kebelakang. Tiga dosen muda dari UNdip pada bulan November 2003, melaporkan usaha mereka untuk melakukan pembenihan mangrove jenis Rhizopora mucronata diatas rakit apung. Teknik ini mengacu kepada keberhasilan metode yang serupa kepada rumput laut pada tahun 2002. Sayangnya, teknik ini belum memberikan hasil yang menggembirakan.
Tahun 2005, laboratorium Atom dan Nuklir Jurusan Fisika FMIPA UnDip pada bulan Mei sd Oktober 2005, mencoba menjawab permasalahan tersebut. Peradiasian plasma propagul mangrove, dengan harapan dapat mempercepat pertumbuhan mangrove sebagai bentuk implementasi upaya perbaikan kualitas tumbuhnya. Pilihan mereka sebagai bentuk terapan teknologi plasma di bidang biologi tanam-tanaman ini, didasarkan kepada kesuksesan peradiasian terhadap biji sawi, yang terbukti menghasilkan peningkatan prosentase perkecambahan tanaman sawi, dan peningkatan pertambahan panjang hipokotil secara signifikan. Upaya serupa pada propagul mangrove dari species Rhizopora apiculata, sayangnya masih belum memunculkan hasil yang menggembirakan.

Sebagai penutup, kami berikan sebagai ilustrasi tentang besarnya bisnis pengadaan bibit mangrove. Pada tahun 2005, melalui sebuah saluran informasi terbatas, ketika itu Departemen Kehutanan mengadakan proyek rekonstruksi Pantura Jawa Barat dengan penanaman 36.5 juta pohon Mangrove (Bakau) setiap tahunnya, untuk 7.300 ha di tahun 2005. Para pebisnis, kala itu sudah mulai menawarkan kerjasama penanaman investasi untuk membuat pembibitan Mangrove di Kabupaten Indramayu, sebanyak 1.000.000 batang/tahun, dengan spesifikasi bibit siap salur: tinggi 30 cm dengan minimal 4 daun, senilai @ Rp.1.500,- dengan harga pokok @Rp.825,- perbatang. Jangka proyek mulai Agustus s/d Desember 2005, dengan modal awal yang diperlukan Rp.175.000.000,- dengan share-profit 30% bagi investor. Alih-alih mempercepat proses, penawaran tersebut juga menyasar laboratorium kultur jaringan yang memiliki kemampuan menduplikasi tanaman Mangrove.

Demikianlah, berbagai ide dan metode yang dapat kami paparkan, dalam menjawab sebuah permasalahan yang muncul dari upaya mulia untuk merehabilitasi kondisi mangrove di nusantara. Semoga saja, paparan singkat ini dapat memberikan inspirasi bagi perkembangan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, untuk menjawab berbagai permasalahan yang muncul, khususnya seputar budidaya mangrove.

bersambuung....
(dpp)

Check Page Rank of your Web site pages instantly:

This page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service

Locations of visitors to this page