Thomas Heri Wahyono, perintis gerakan penghijauan mangrove di Kawasan Segara Anakan, Cilacap, Jateng. Foto : L Darmawan |
"Hamparan mangrove di
hutan dan tepian laguna bagi Anda mungkin tak ada artinya. Tetapi,saya
yakin, menanam dan memelihara hutan mangrove di tanah dan kebun sendiri
akan bermanfaat bagi kehidupan kita dan anak cucu di kemudian
hari......"
OLEH GREGORIUS MAGNUS FINESSO
Kalimat
tersebut menjadi "mantra' dalam hidup Thomas Heri Wahyono. Kalimat itu
kembali diulang saat ia berjalan kaki melintasi hutan mangrove menuju
rumah semipermanen di Dusun Lempong Pucung, Desa Ujung Alang, Kecamatan
Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah. Daerah pelosok ini berdekatan dengan
bibir laut selatan kawasan laguna Segara Anakan.
Kalimat itu pula
yang menjadi pedoman Wahyono selama belasan tahun meyakinkan warga di
sekitar laguna untuk menanami lahan mereka dengan mangrove (bakau).
Kawasan ini mulai rusak akibat degradasi lingkungan.
Bagi warga Kampung
Laut yang rata-rata berpendidikan SD, semangat menanam mangrove yang
tumbuh di benak Wahyono itu tidak lazim. "Desa, kok, malah dihutankan,"
katanya menirukan cibiran warga desa saat gerakan menanam mangrove
dimulainya tahun 1999.
Perjuangan pria
tamatan SD ini dalam menghijaukan hutan berawal dari keprihatinan
melihat desa kelahirannya kian gersang. Mengenang masa kecilnya, Wahyono
merasa bahagia dengan hutan bakau di sekitarnya. hamparan pepohonan itu
menjadikan lingkungan tempat tinggalnya kaya biota laut. Udang,
kepiting, dan ikan begitu melimpah.
Tak hanya asri,
hamparan mangrove di sekitar Pulau Nusakambangan saat itu juga
bermanfaat bagi warga yang hendak menggunakan kayu untuk rumah. Meski
begitu, warga kampung Laut hanya mengambil kayu sesuai dengan keperluan
mereka.
Dihancurkan tambak
Nostalgia Wahyono
menjadi mimpi buruk kala 1995 puluhan investor dari Jawa Barat membabati
hutan mangrove untuk tambak udang. Apalagi, warga setempat tertarik
akrena mereka dimungkinkan memperoleh banyak uang sebagai pekerja
tambak. tahun-tahun awal masyarakat menikmati hasilnya.
Namun, masa keemasan
tambak udang tak bertahan lama. Sekitar tahun 1999, satu persatu tambak
bangkrut. Serangan virus dan turunnya harga udang dunia memaksa
investor angkat kaki dari Kampung Laut, meninggalkan ribuan hektar
gundul.
Tinggallah kampung
Laut yang sebelumnya asri menjadi "gurun pasir", panas dan gersang.
Tergugah mengembalikan keasrian alam, Wahyono mulai menanami mangrove di
lahan bekas tambak itu seorang diri.
"Awalnya, saya
sendiri mencari biji mangrove dengan perahu ke hutan-hutan yang masih
tersisa. Saya pergi siang, pulang malam. Setelah terkumpul banyak, saya
menanami lahan bekas tambak dengan biji mangrove itu,"ungkap Wahyono
yang sejak 2003 menjadi Kepala Dusun Lempong Pucung.
Dia lalu mengajak
kerabatnya untuk ikut menghijaukan lingkungan dengan mangrove. "Kali
ini, ide saya diterima. Kami membentuk semacam kelompok, namanya
Keluarga Lestari, beranggota tujuh orang. Tujuannya sederhana,
menghijaukan lingkungan mangrove yang rusak.," katanya bersemangat.
Namun, gerakan
penghijauan lahan di sekitar laguna tak mudah.Caci maki, bahkan tuduhan
sebagian tetangga bahwa upaya menanam mangrove itu adalah proyek titipan
yang hanya menguntungkannya harus dia hadapi. Wahyono tak menyerah.
"Jika hutan mangrove lebat, ikan, udang, dan kepiting akan gampang didapat. Itu pengalaman nyata panjenengan
(Anda), bukan? Kalau butuh kayu, tinggal memotong ranting pohon
mangrove yang besar. Tidak seluruhnya, agar pohon tidak mati," kata
Wahyono setiap bertemu warga setempat.
Tanpa upah
Gerakan penghijauan
itu lambat laun mampu menggugah kesadaran warga, bukan hanya warga di
dusunnya, melainkan juga warga di desa tetangga, seperti Ujung gagak dan
Klaces. Ia memanfaatkan setiap pertemuan dengan warga untuk bicara soal
mangrove.
Setelah menjadi
kepala dusun, Wahyono pun punya kesempatan lebih besar untuk mengajak
warga melestarikan mangrove. maka,terbentuklah kelompok Krida Wana
Lestari pada 2004, yang lalu berubah nama menjadi Patra Krida Wana
Lestari.
"Sejak awal, saya
sudah wanti-wanti untuk tak bicara upah. Apa yang kami lakukan ini tidak
ada yang membayar. Kegiatan ini murni penghijauan, tak ada yang lain,"
katanya.
Untuk menambah
pengetahuan tentang mangrove, Wahyono mengikuti pelatihan dan lokakarya
mengenai tumbuhan endemik perairan payau hingga ke luar daerah. Setiap
mendengar ada seminar budidaya mangrove, dia mengajukan diri menjadi
peserta.
Dari berbagai
seminar itu, wawasannya mengenai budidaya mangrove semakin luas. Ia jadi
tahu bahwa memelihara mangrove jauh lebih sulit dibandingkan dengan
saat menanam.
"Saya bersama
kelompok secara rutin membabati ilalang dan benalu yang tumbuh di
sekotar mangrove. Cukup berat karena luas lahan yang ditanami mangrove
mencapai 66 hektar.Kami melakukannya setiap Jumat," tuturnya.
Apresiasi
Apa yang dilakukan
kelompok itu mendapat perhatian banyak pihak, mulai dari Pemerintah
Kabupaten Cilacap hingga PT Pertamina unit Pengolahan IV di Cilacap.
PT Pertamina
memberikan pendampingan budidaya kepiting, mulai dari basket (rumah
kepiting dari plastik tebal) sampai benih kepiting. Sekitar 33 anggota
kelompok pun merasakan manfaat ekonomi dari hasil keringat selama
bertahun-tahun.
Kini, setelah
berjalan sekitar 10 tahun, hampir semua halaman warga di Desa Ujung
Alang, khususnya Dusun Lempong Pucung, ditanami mangrove, terutama jenis
tancang (Bruguiera) dan bakau (Rhizophora) yang kokoh. Bibit-bibit
mangrove diberikan Wahyono gratis kepada para tetangga.
Kesadaran memiliki
mangrove telah tertancap kuat dihati warga Kampung Laut. Jika ada warga
dari luar kampung yang menebangi mangrove, warga setempat akan menyuruh
mereka pergi. Luas lahan di sekitar laguna yang ditanami mangrove
sekitar 65 hektar.
"Itu belum termasuk yang ditanam secara mandiri oleh warga di sekitar rumah mereka," ujarnya.
Maka, Kampung Laut
berangsur kembali asri. Ikan dan udang berenang di celah-celah akar
mangrove. Meski persoalan sedimentasi laguna terlalu besar untuk diatasi
tangan Wahyono yang kian menua, setidaknya dia bersama kelompoknya
telah memulai langkah kecil untuk menyelamatkan lingkungan.
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 24 OKTOBER 2011
Lahir : Kecamatan Ujung Alang, Cilacap, Jawa Tengah, 8 Agustus 1965
Istri : Monica Tumirah (41)
Anak :
- Yuvita Reni Windiastuti
- Antoni Joni Rianto
- Andreas Aji Wibowo
- Rizki Tegar Saputro
Pekerjaan :
- Kepala Dusun Lempong Pucung, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut
- Ketua Kelompok Patra Krida Wana Lestari
Pelatihan, antara lain :
- Pelatihan Peningkatan Keterampilan Kelompok Masyarakat Desa Tertinggal
Cilacap, 2000
- Pelatihan Hutan Mangrove bagi Masyarakat Pesisir se-Indonesia, 2007
Penghargaan, antara lain :
- Tokoh Perintis Lingkungan Hidup Kabupaten Cilacap, 2010
- Tokoh Perintis Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Tengah, 2010
0 komentar:
Post a Comment