NUSAKAMBANGAN
– Rintik hujan membuat lingkaran-lingkaran kecil memenuhi Selat
Nusakambangan. Lingkaran kecil itu sedetik kemudian hilang diterjang
hempasan gelombang dari perahu yang melintas. Di kanan-kiri selat,
nampak hutan mangrove menghijau mulai beranjak rimbun.
Wahyono,
begitu ia biasa disapa, oleh tetangganya lebih dikenal sebagai pahlawan
penghijauan hutan mangrove. Hutan mangrove sepanjang Laguna Segara
Anakan hingga ujung timur Nusakambangan dikenal sebagai hutan mangrove
terluas di Pulau Jawa. Kini kondisinya sangat memprihatinkan akibat
penebangan liar oleh penduduk.
Wahyono menceritakan, Kampung Laut merupakan
daratan di antara hutan mangrove yang terbentuk akibat sedimentasi
beberapa sungai yang bermuara di Segara Anakan. Salah satu sungai
terbesar yakni Sungai Citanduy yang melintas di 11 kabupaten di Jawa
Barat dan Jawa Tengah.
Ia
mengaku sudah tinggal di tempat itu selama 40 tahun lebih. Hutan
mangrove itu, kata dia, sewaktu kecil merupakan tempat ia bermain dan
mencari ikan. Memorinya tentang banyaknya pohon mangrove yang berdiri
kokoh dan tinggi menjulang masih terjaga di otaknya.
Wahyono kecil begitu kagum dengan lingkungannya itu. Pohon-pohon besar mangrove mampu menjadi habitat berbagai macam biota laut. Tak hanya ikan, hewan lain seperti udang dan kepiting begitu melimpah di tempat itu. Hewan laut itu, biasa ia tukar dengan beras, minyak, dan kebutuhan pokok lainnya dengan warga di daratan Cilacap.
Penduduk
setempat juga biasa menggunakan pohon mangrove untuk membangun rumah.
Mereka mengambil sekedarnya tanpa berlebihan sehingga tidak terlalu
berpengaruh terhadap luasan hutan mangrove.
Kenangan
manis itu seketika hancur berantakan. Tahun 1995, kata dia, terjadi
pembukaan hutan mangrove secara besar-besaran. “Investor dari Jawa Barat
mulai datang dan membuka tambak untuk budidaya udang,” katanya.
Mudahnya
mendapatkan uang, membuat warga tergiur. Mereka pun lantas menyewakan
lahan dan mulai membuka ratusan hektare hutan. Selama empat tahun,
mereka menikmati masa keemasan dari hasil tambak.
Seperti
kata pepatah, tak ada pesta yang tak berakhir. Memasuki tahun 1999,
satu persatu investor mengalami kebangkrutan. Udang peliharaan mereka
mulai terserang virus mematikan dan membuat mereka gulung tikar. Apa
lacur, hutan mangrove yang dulunya ijo royo-royo kini mirip padang
savanna gersang penuh semak belukar. “Sejak saat itu, ikan, udang dan
kepiting mulai sulit didapatkan,” katanya.
Sadar akan lingkungannya yang rusak, Wahyono tergerak
untuk membuat sebuah gerakan radikal. Ia bertekad untuk menanami
kembali hutan mangrove di kampungnya yang sudah rusak. Niatnya itu, ia
sampaikan kepada keluarganya. Tak butuh waktu lama, gayung pun
bersambut.
Ia
kemudian mengajak enam anggota keluarganya dan membentuk sebuah
kelompok untuk menanam mangrove kembali. Kelompoknya diberi nama
Keluarga Lestari. “Tujuannya hanya satu, menanam kembali hutan
mangrove,” tegas dia.
Wahyono mempunyai
empat orang anak, Yufita Reni Windiyastuti, Antonius Jonny Riyanto,
Andreas Aji Wibowo, dan Claudius Mario Tegar Saputro, hasil
pernikahannya dengan Monika Tumirah. Bersama anak dan istrinya itu, ia
mulai mengkampanyekan gerakan menanam kembali hutang mangrove yang sudah
rusak.
Gerakan
awal yang dilakukannya di tahun 2001 bersama keluarga memang tidak
kemudian disambut baik oleh masyarakat sekitar. Bahkan, ada sejumlah
warga yang justru mencibir terhadap apa yang mereka lakukan.
“Saya
terus menyemangati saudara-saudara saya untuk tidak berhenti menanam.
Karena seperti pengalaman waktu-waktu sebelumnya, kalau hutan mangrove
lebat, maka ikan, udang dan kepiting akan sangat gampang ditemui. Selain
itu, jika butuh kayu, tinggal potong ranting pohon mangrove yang besar.
Pemotongan itu pun harus bijak, tidak seluruhnya, supaya pohonnya tidak
mati,” kata Wahyonoyang hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar.
Menginjak tahun kedua, warga sekitar mulai tertarik membantu Wahyono. Meski tak mendapatkan upah, warga sekitar tetap bersemangat untuk mengikuti jejak Wahyono.
Saat ini, tercatat 50 orang tergabung dalam kelompoknya. “Karena
anggotanya semakin banyak, nama kelompoknya diubah menjadi Krida Wana
Lestari dan setiap 35 hari kami mengadakan pertemuan,” katanya.
Sepuluh
tahun berjalan, kini mereka sudah menghijaukan kembali hutan mangrove
sekitar 30 hektare. Mereka kini juga mempunyai sebuah pondok sebagai
tempat untuk kumpul-kumpul.
Untuk
menunjang perekonomian, mereka kini membangun tambak untuk budidaya
kepiting. Tambak yang dibuat di tengah-tengah hutan mangrove yang sudah
mereka hijaukan kembali ternyata cukup menghasilkan.
Hasilnya
pun cukup lumayan, dari bibit kepiting yang dibeli Rp 20 ribu
perkilogram, setelah dibesarkan sekitar empat bulan bisa dijual menjadi
Rp 120 ribu. Mereka beranggapan, usaha kepiting tak akan sukses jika
hutan mangrovenya rusak.
Sukarjo Kliwon, 50 tahun, salah satu anggota kelompok mengaku awalnya ragu dengan apa yang dilakukan Wahyono. “Tapi lambat laun terlihat ada hasilnya, saya sekarang menjadi coordinator penghijauan wilayah utara,” katanya.
Ia
mengakui, masih banyak warga yang belum tergerak untuk mengikuti jejak
kelompoknya. Pun hingga hari ini, ketika semakin banyak kelompok
masyarakat di luar Cilacap yang mulai ikut menanam kembali hutan
mangrove, warga dengan cueknya hanya melihat.
Baginya,
memulihkan hutan mangrove seperti sedia kala, akan membutuhkan waktu
puluhan tahun. Hanya saja ia yakin, menghijaukan hutan mangrove bukan
hanya untuk dirinya tapi anak cucunya kelak yang biasa disapa anak-anak
mangrove.
Rusaknya
hutan mangrove bukan hanya isapan jempol. Sekretaris Dinas Kelautan dan
Perikanan Cilacap, Supriyanto mengatakan, luas hutan mangrove tahun
1974 tercatat mencapai 15.551 hektare. “Saat ini tinggal 8.359 hektare
saja,” katanya..
Supriyanto
mengatakan, kawasan hutan mangrove Segara Anakan memiliki komposisi
maupun struktur hutan terlengkap dan terluas di Pulau Jawa yang
ditumbuhi 26 spesies mangrove, antara lain api-api (Avicennia alba),
bogem (Sonneratia alba), dan bakau (Rhizopora mucronata), juga mengalami
kerusakan akibat adanya pendangkalan. Selain penebangan hutan, kata
dia, rusaknya hutan mangrove juga disebabkan sedimentasi yang masuk
sekitar 1 juta meter kubik setiap tahunnya.
Ketua
Mitigasi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Endang Hilmi
mengatakan, hutan mangrove Nusakambangan merupakan yang terlengkap di
dunia. “Dari penelitian kami, setidaknya dulu ada 30 jenis. Tapi
sekarang tinggal 10 jenis,” katanya.
Menurut
dia, hutan mangrove sangat penting peranannya untuk mitigasi bencana
terutama bencana tsunami. Ia mencontohkan, saat tsunami tahun 2006,
Cilacap tidak terlalu parah kerusakannya karena terhambat hutan
mangrove. Selain itu, mangrove juga dipercaya bisa menyerap karbon yang
selama ini dituding sebagai penyebab utama pemanasan global.
0 komentar:
Post a Comment