|
Inilah mangrove yang ditanam Aziil di batu karang. Kok bisa? Aziil punya cara. Foto: Wahyu Chandra |
Aziil Anwar berjalan agak cepat, melewati jalan setapak ditumbuhi
padang ilalang. Lelaki setengah baya itu sebelumnya menegaskan kami
harus segera tiba di lokasi. “Harus cepat tiba di lokasi sebelum air
pasang. Ini sudah agak siang. Kalau terlambat air bisa setinggi dada,”
katanya.
Kami tiba di rumah panggung kecil di tepi pantai, sekitar 50 meter
dari jalan raya. Dia menunjuk tujuan selanjutnya, sekitar 100 meter
lagi. Melewati rerimbunan mangrove yang tergenang air berlumpur.
Aziil, pendiri Yayasan Pemuda Mitra Masyarakat Desa (YPMMD) Majene,
sebuah lembaga pemberdayaan masyarakat dan perlindungan mangrove. Pagi
itu, Kamis (19/12/14), dia mengajak saya mengunjungi lokasi pembibitan
mangrove, di Desa Binanga, Kecamatan Sendana, Kabupaten Majene, Sulawesi
Barat.
Aziil antusias menunjukkan pembibitan sekitar 400.000 bibit dari sejumlah spesies.
Lokasi itu tepat di lahan dengan sekeliling tumbuh beragam mangrove.
Luasnya, termasuk kawasan konservasi mangrove sekitar 40 hektar, meski
yang tercatat di BPH hanya 20 hektar.
Bibit-bibit yang disusun berpetak-petak rapi dalam polibag kecil ini diberi nama latin sesuai spesies, antara lain
Rhizophora stylosa, Cerios decandra, Bruguiera gymnorrhiza, Aigiceras corniculatum, Ceriops tagal, Rhizophora mucronata dan
Avicennia marina. Pelabelan baru dilakukan akhir-akhir ini, bantuan Yayasan Kehati.
“Kebetulan kemarin ada kerjasama dengan Kehati. Tak semua bisa dilabeli. Baru 500 papan bisa disiapkan.”
Seluruh bibit itu milik warga yang tergabung dalam Rimbawan Muda. Anggota 17 orang, adalah ibu rumah tangga.
|
Bibit-bibit mangrove yang diusahakan yayasan Aziil dan para ibu rumah tangga. Foto: Wahyu Chandra |
Ibu-ibu ini alumni sekolah lapang pembibitan yang digagas Aziil
beberapa tahun lalu. Mereka terampil membibit termasuk membedakan jenis
mangrove.
Lokasi pembibitan sebenarnya terbentuk sejak 1990-an. Kala Aziil
bersama beberapa teman membentuk YPMMD. Awal berdiri mereka fokus
penyelamatan pesisir. Mereka memungut bibit-bibit berserakan di pantai,
yang terbawa ombak dari berbagai daerah.
“Kami yakin bibit-bibit mangrove terdampar di sini banyak dari Mamuju bahkan Kalimantan.”
Tidak hanya membibit dan menanam mangrove, YPMMD juga mengadvokasi warga sekitar tidak lagi menebang di kawasan itu.
Penebang mangrove sebenarnya banyak nelayan pendatang yang tinggal
sementara di situ. Mereka mengambil mangrove untuk bahan bakar. “Kami
sampaikan sebaiknya jangan tebang mangrove. Kini tak ada lagi.
Mungkin karena ada tabung gas tiga kg, mudah dibawa-bawa.”
Pada mulanya, YPMMD membibit sekadar dibagi-bagikan kepada warga. Sejak 2010, muncul keinginan bersama menjual bibit.
Penjualan bibit ini bermula ketika PT Inhutani Mamuju memesan bibit
mangrove 110.000 pohon. Mereka mendapat bayaran cukup besar. “Ibu-ibu
kerja suka rela tanpa gaji. Yayasan pun menyiapkan polybag. Kami kasih
makan siang. Setelah menghasilkan mereka tak mau diberi makan siang. Toh
kepentingan bersama juga.”
|
Terdapat sekitar 400 ribu bibit mangrove diproduksi pertahunnya di
kawasan ini, dari berbagai jenis mangrove. Ini sekaligus menjadi sumber
mata pencaharian warga. Foto: Wahyu Chandra |
Bibit-bibit ini dijual Rp700. Pelanggan dari pemerintah dan
perusahaan. Dari penjualan ini, warga mendapatkan Rp300 per batang,
selebihnya YPMMD.
“Jika mereka punya 1.000 bibit, ya dapat Rp300.000. Sekali jual bisa
10.000-20.000 bibit. Baru-baru ini dari Lingkungan Hidup Rp20 juta.
Mereka bagi hasil merata ke anggota dan lembaga.”
Untuk menghasilkan bibit siap tanam memerlukan waktu tumbuh tujuh
sampai delapan bulan. Kadang juga ada bibit sampai dua tahun. Bibit lama
biasa dipotong dipindahkan ke polybag lain, untuk menghambat
pertumbuhan.
Kala mendampingi ibu-ibu, katanya, hal paling ditekankan bagaimana mereka memperlakukan mangrove bak merawat anak sendiri.
Aziil mengajak kami ke bagian depan pantai. Tempat warga dan siswa
pecinta alam menanam beberapa bulan lalu. Air setinggi mata kaki.
“Itu daerah terluar masih bisa ditumbuhi Aviecenna. Umur sekitar enam
bulan. Kalau paling dekat ini Rhizophora styloza. Ini dua tahun.
Kelihatan kecil karena tak cocok tanam di sini.”
Lokasi itu, kawasan yang dipenuhi karang mati karena marak pengeboman
dan racun ikan era 1990-an. Menaman mangrove di sini biasa
diistilahkan menumbuhkan mangrove di pantai berbatu karang.
Tahun 1990-an, katanya, marak penangkapan ikan dengan bom dan racun
hingga merusak terumbu karang di sini. Karang mati. “Dulu, banyak tak
percaya kalau mangrove bisa tumbuh. Bahkan peneliti dari luar negeri
juga tak percaya. Saya membuktikan itu bisa.”
Rhizophora dikenal hanya bisa di lahan masih berlumpur.
Perawatan yang dimaksud Aziil, rutin membersihkan karang atau tiram
yang menempel di batang mangrove, per bulan hingga tanaman melewati
usia kritis, yaitu dua tahun. Dengan pendekatan ini keberhasilan
mangrove tumbuh bisa 60%.
Rhizophora meskipun tanaman laut namun batang tak tahan air. Luka di batang karena kerang dan tiram bisa membuat kering dan mati.
“Supaya tumbuh baik, gunakan propagul jangan bibit. Kita gali karang
dengan linggis ketika laut surut dan diberi sedikit tanah sebagai
pemancing.”
Kreativitas Aziil ternyata menarik minat sejumlah peneliti asing
datang dan belajar. “Mereka selalu bilang ini tak mungkin, tapi sudah
lihat hasil dan bisa.”
Menurut Aziil, menghijaukan pesisir bukanlah mudah. Apalagi di daerah
itu dia sebagai pendatang karena dari Ternate, Maluku Utara. Larangan
tak menebang mangrove kadang tak digubris warga.
Namun penentangan perlahan berkurang dan sekarang tak ada. Warga
menyadari manfaat mangrove, tidak hanya ekonomi, juga tangkapan ikan,
kepiting dan usaha pembibitan. Mangrove juga benteng pelindung dari
ombak dan degradasi pantai.
Atas usaha selama ini, Aziil mendapatkan banyak penghargaan dari
pemerintah. Antara lain, 1993 dia menerima Pemuda Pelopor dari Presiden
RI.
Pada 2003, Aziil menerima Kalpataru dari Presiden Megawati. Terakhir
2013, menerima Satyalencana, diserahkan Wakil Presiden RI,
Boediono. Tahun ini, Aziil dinominasikan menerima Kehati Award dari
Yayasan Kehati.
|
Ini adalah kawasan yang telah ditanami oleh Aziil bersama warga sejak
tahun 1990 silam. Luasnya kini mencapai 40 hektar, meski yang tercatat
di pemerintah hanya 20 hektar. Foto: Wahyu Chandra |
Aziil berharap, kawasan kelola ini kelak menjadi Mangrove Learning
Center di Sulbar bahkan Sulawesi. Dia berkeinginan bisa membangun
kawasan ekowisata.
“Saya rencana membuat
tree to tree. Jembatan antarpohon ke pohon. Lalu ada
flying fish, seperti terbang ke laut. Atau juga
path away atau jalan-jalan setapak dengan bambu.”
Aziil berharap ada kemitraan dari lembaga lain dalam pengembangan
kawasan itu.“Saya rencana mengusulka ke Kehati kalau mereka mau
menjadikan tempat ini pusat mangrove mereka. Seperti taman Kehati di
Sumatera. Kehati bisa klaim dan pasang plang kalau ini milik mereka.”
Menanam mangrove kadang banyak gagal. Kata Aziil, disebabkan beberapa
faktor, seperti tidak mempertimbangkan kondisi lahan. “Kalau Majene
jangan gunakan bibit, lebih cocok propagul. Tapi
kan pemerintah tak senang propagul karena biaya kecil. Hanya Rp100. Bandingkan dengan bibit Rp700.”
Di proposal, mereka biasa mencantumkan harga bibit per batang
Rp1.900, harga beli cuma Rp700. “Tidak hanya untung selisih harga, dari
volumepun bisa dimainkan. Tertulis 50.000 pohon, cuma beli bibit 10.000
bibit, misal. Mereka bisa untung banyak dari situ.”
Pemilihan waktu tanam juga menentukan keberhasilan. Pada bulan-bulan
tertentu ombak tinggi membuat bibit sulit bertahan. “Kalau propagul
bisa kapan saja karena ditancapkan dan diberi penahan. Selama ini, orang
hanya berpikir menanam mangrove, tak peduli tumbuh atau tidak.
Seharusnya, kita gunakan istilah menumbuhkan mangrove, bukan menanam.”
MONGABAY