BPN Harus Selesaikan Klaim Laut Muaragembong

on Wednesday, January 28, 2015

DIPATOK : Laut Muaragembong bermunculan patok klaim warga. Pemerintah derah beserta BPN dan pihak terkait diminta untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Ariesant/RADAR BEKASI
DIPATOK : Laut Muaragembong bermunculan patok klaim warga. Pemerintah derah beserta BPN dan pihak terkait diminta untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Ariesant/RADAR BEKASI
PERSOALAN klaim laut di Kampung Beting, Desa Pantaisejahtera dianggap menjadi tanggung jawab Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bekasi. Oleh sebab itu, DPRD mendesak agar BPN menyelesaikan persoalan tersebut.
Sekretaris Komisi A DPRD Kabupaten Bekasi, Muhtadi Muntaha mengatakan, secara bersama-sama antara BPN dan pemerintah daerah harus menyelesaikan klaim laut yang berlangsung sejak 2007 lalu.
’’Secepatnya pihak BPN menyelesaikan persoalan itu, bekerjasama dengan SKPD terkait di Pemda kabupaten Bekasi,” ujarnya.
Menurut Muhtadi, persoalan di pesisir utara Kabupaten Bekasi itu menjadi hal yang serius. Jika dibiarkan, maka klaim serupa bakal terus meluas dan dikhawatirkan bakal merusak ekosistem laut Muaragembong.
’’Jangan dibiarkan berlarut-larut, harus clear dan terang benderang, supaya ada kepastian hukum,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, sekitar 10 hektar hutan mangrove di pesisir Kecamatan Muaragembong diklaim oleh warga setempat sejak 2007. Hal tersebut disampaikan Kasi Bina Usaha pada Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bekasi, Yudianhar.
Menurut Yudi, perlu adanya pembuatan tapal batas antara lahan milik warga dan pemerintah pusat di pesisir laut. Dengan demikian warga lebih berhati-hati jika ingin memanfaatkan lahan.

GO BEKASI

10 Hektar Hutan Mangrove Diklaim Warga

on Monday, January 26, 2015

KLAIM : Salah satu patok berdiri di laut Muaragembong dengan latar belakang hutan mangrove yang sudah rusak. Ariesant/RADAR BEKASI
KLAIM : Salah satu patok berdiri di laut Muaragembong dengan latar belakang hutan mangrove yang sudah rusak. Ariesant/RADAR BEKASI
SEKITAR 10 hektar hutan mangrove di pesisir Kecamatan Muaragembong diklaim oleh warga setempat. Hutan mangrove yang diakui warga itu berada di Desa Pantaibahagia.
Hal itu dikatakan Kasi Bina Usaha pada Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan (DPPK) Kabupaten Bekasi, Yudi Anhar. Klaim lahan hutan mangrove itu sudah berlangsung sejak 2007 lalu.
Menurut Yudi, munculnya klaim areal hutan mangrove disebabkan karena tidak adanya kejelasan batas antara milik pemerintah pusat dan masyarakat. Sehingga dengan bebas masyarakat setempat mengakui kalau areal tersebut miliknya.

Klaim sepihak itu diduga menjadi salah satu penyebab menyusutnya hutan mangrove di Muaragembong. Menurut Yudi, perlu adanya antisipasi agar pengakuan sepihak itu tidak berlanjut.
Salah satu cara untuk antisipasinya, kata dia, dengan cara membuat tapal batas di sekitar hutan mangrove. Dengan demikian masyarakat mengetahui batasan antara milik pemerintah pusat dan daerah.

“Tapal batas antara yang tanah rakyat dan tanah negara harus jelas,” katanya.
Jika tapal batas dibuat, maka harus disertakan sanksi bagi yang melanggar. Hal itu sebagai efek jera sekaligus melestarikan hutan mangrove dan pemukiman warga Muaragembong yang kini mulai terkikis akibat abrasi.

“Beberapa persoalan mengenai tanah negara dan tanah warga karena tidak ada tapal batas,” ujarnya.

GO BEKASI

Hutan Mangrove Menyusut Seribu Hektar

on Friday, January 23, 2015

MENYUSUT : Pengendara motor melintasi hutan mangrove yang sudah hancur (foto kanan). Anak-anak bermain di pesisir Desa Pantaibahagia, Muaragembong. Di desa itu pengikisan daratan terus terjadi dan mengkhawatirkan (foto kiri). Ariesant/RADAR BEKASI
MENYUSUT : Pengendara motor melintasi hutan mangrove yang sudah hancur (foto kanan). Anak-anak bermain di pesisir Desa Pantaibahagia, Muaragembong. Di desa itu pengikisan daratan terus terjadi dan mengkhawatirkan (foto kiri). Ariesant/RADAR BEKASI
BERDASARKAN data dari Dinas Pertanian Kehutanan dan Kelautan (DPKK) Kabupaten Bekasi, luas hutan mangrove di Kecamatan Muaragembong kini mencapai 10.481,15 hektar. Jumlah tersebut menyusut sekitar seribu hektar sejak 1997 lalu.

Kasi Bina Usaha DPKK Kabupaten Bekasi, Yudi Anhar mengatakan, hutan mangrove banyak beralih fungsi menjadi tambak. Namun ia mengaku belum mengetahui jika penyusutan terjadi karena hal lain.
Namun kata Yudi, penyusutan hutan mangrove dalam bentuk apa pun, akan mengancam ekosistem laut. Terlebih, daratan juga akan semakin tergerus karena abarasi.

’’Ini akan jadi ancaman yang serius dan penyebabnya ekosistem yang rusak. Sulitnya lagi, tanah di sini bukan milik orang Bekasi melainkan dari luar daerah,” ungkapnya.

Mengembalikan ekosistem dan tanaman mangrove tidak seperti membalikan telapak tangan. Meski ada upaya dengan cara menanam mangrove, namun belum bisa dipastikan terhindar dari bencana abrasi.
Dikatakan Yudi, pihaknya bakal menanam 200 ribu bibit mangrove di pesisir Muaragembong. Beberapa desa yang akan menjadi tujuan tanam mangrove seperti Pantaibahagia.

’’Nanti sekitar Juni akan ada penanaman bibit yang sesuai dengan kondisi tanah di sana,” katanya.
Sekedar diketahui, habisnya tanaman mangrove di Muaragembong sudah menimbulkan bencana abrasi. Ratusan rumah dikabarkan hilang akibat daratan yang tergerus air laut.
Gelombang laut bebas menerjang daratan karena tidak adanya penahan atau pemecah arus seperti tanaman mangrove.  Dalam hal ini, pemerintah daerah harus segera mencari jalan keluar agar daratan Muaragembong tidak hilang dari peta.

GO BEKASI

Muhammad Ali, Mengangkat Derajat Masyarakat Pesisir

on Wednesday, January 21, 2015


BONTANG – Nama Muhamad Ali begitu populer di antara msyarakat Kelurahan Tanjung Laut Indah, Kota Bontang, Kalimantan Timur. Perantauan asal Sulawesi itu menjadi tokoh penggerak pelestarian mangrove melalui Kelompok Lestari Indah. Pria yang sangat memahami jenis dan perawatan mangrove itu kami temui di Rumah Mangrove Information Center, Kamis (13/2) bersama anggota kelompok binaannya.

Pak Ali, begitu kami sapa, membudidayakan mangrove sejak tahun 2009. “Awalnya saya melihat bencana tsunami di Aceh. Saya yang tinggal di pesisir tidak ingin musibah tersebut terjadi di sini,”kisahnya. Entah berhubungan atau tidak, menurut Ali dengan menanam mangrove di sekitar pantai, minimal bisa menahan gelombang air yang begitu besar sekaligus mengurangi abrasi.

Awalnya ia menanam seorang diri sekaligus mela­kukan pembibitan dengan mencari buah mangrove di hutan. Bibit mangrove siap tanam, oleh Ali ditanam di sekitar pesisir. Hanya be­berapa orang saja yang mengikuti jejak Ali, karena keterbatasan waktu untuk mengerjakan hal yang sifatnya sukarela.

Ali tak kehabisan ide. Ia berencana membuat sentra pembibitan mangrove di Tanjung Laut. Menurutnya pembibitan mangrove sangat berpeluang memberikan hasil bagi masyarakat, apalagi banyak perusahaan di sekitar Bontang yang rutin melakukan kegiatan penanaman mangrove.

“Saya masukkan per­mohonan ke PT Badak NGL tahun 2009. Tidak sampai satu minggu kami disurvei dan bantuan langsung turun,” kenang Ali. Bantuan yang dimaksud meliputi pem­bangunan bedeng pem­bibitan, polybag, pembelian benih, dan lain-lain. Agar masyarakat terlibat, Ali punya aturan. Setiap kantong bibit yang ditanam warga diberi imbalan. “Sekarang satu bibit diupah Rp 700, kalau rajin sehari bisa dapat 400 kantong,”papar Ali.

Bibit yang sudah jadi, de­ngan usia 3 – 6 bulan biasanya dijual kepada perusahaan yang akan melakukan kegiatan penanaman mang­rove dengan harga beragam. “Untuk PT Badak dan pe­merintah kami berikan har­ga khusus, karena telah memberikan dukungan dan pembinaan bagi kami dalam mengembangkan usaha ini,”jelasnya. Harga bibit berkisar antara Rp 3.000 – Rp9.000 per batang.

Hasil penjualan  dibagi kepada anggota kelompok yang terlibat dalam pembibitan dan perawatan. Ali juga menyisihkan hasil usaha kelompok untuk pembelian lahan. “Agar tidak bermasalah atau kena gusur, kami beli lahan pembibitan se­­luas  4 x 8 meter,” kata pria yang berencana membangun ekowisata mangrove di lahan tersebut.

April 2013, Ali mendapat dukungan dari PT Badak NGL untuk membangun Rumah Mangrove Infromation Center (RMIC). Yakni pusat belajar masyarakat untuk budidaya mangrove dan keterampilan pe­manfaatan buah melalui berbagai pelatihan. Saat ini su­dah ada 12 kelompok yang bernaung di bawah RMIC. Ada­pun produk yang dihasilkan tidak hanya bibit mangrove, tetapi juga produk turunan lain­nya. Seperti sirop mangrove, dodol mangrove dan pewarna batik.

“Target khusus Rumah Mangrove Information Center ini adalah meningkatkan pem­berdayaan perempuan melalui kegiatan produktif ekonomi kreatif, sehingga mampu mem­berikan penghasilan tambahan bagi keluarga,”jelas Ali.

Kini niat Ali yang awalnya ingin mencegah abrasi pantai dengan menanam mangrove, ternyata telah berkembang. Tidak hanya menjaga keles­tarian ekosistem pantai, tetapi juga  mengangkat derajat masyarakat pesisir.

Aziil Anwar, Penanam Mangrove di Batu Karang

on Monday, January 19, 2015

Inilah mangrove yang ditanam Aziil di batu karang. Kok bisa? Aziil punya cara. Foto: Wahyu Chandra

Aziil Anwar berjalan agak cepat, melewati jalan setapak ditumbuhi padang ilalang. Lelaki setengah baya itu sebelumnya menegaskan kami harus segera tiba di lokasi. “Harus cepat tiba di lokasi sebelum air pasang. Ini sudah agak siang. Kalau terlambat air bisa setinggi dada,” katanya.

Kami tiba di rumah panggung kecil di tepi  pantai, sekitar 50 meter dari jalan raya. Dia menunjuk  tujuan selanjutnya, sekitar 100 meter lagi. Melewati rerimbunan mangrove yang tergenang air berlumpur.

Aziil, pendiri Yayasan Pemuda Mitra Masyarakat Desa (YPMMD) Majene, sebuah lembaga pemberdayaan masyarakat dan perlindungan mangrove.  Pagi itu, Kamis (19/12/14),  dia mengajak saya mengunjungi lokasi pembibitan mangrove, di Desa Binanga, Kecamatan Sendana, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat.
Aziil antusias menunjukkan pembibitan sekitar 400.000 bibit dari sejumlah spesies.

Lokasi itu tepat di lahan dengan sekeliling tumbuh beragam mangrove. Luasnya, termasuk kawasan konservasi mangrove sekitar 40 hektar, meski yang tercatat di BPH hanya 20 hektar.

Bibit-bibit yang disusun berpetak-petak rapi dalam polibag kecil ini diberi nama latin sesuai spesies, antara lain Rhizophora stylosa, Cerios decandra, Bruguiera gymnorrhiza, Aigiceras corniculatum, Ceriops tagal,  Rhizophora mucronata dan Avicennia marina. Pelabelan baru dilakukan akhir-akhir ini, bantuan Yayasan Kehati.

“Kebetulan kemarin ada kerjasama dengan Kehati. Tak semua bisa dilabeli. Baru 500 papan bisa disiapkan.”

Seluruh bibit itu milik warga  yang tergabung dalam Rimbawan Muda. Anggota 17 orang,  adalah ibu rumah tangga.

Bibit-bibit mangrove yang diusahakan yayasan Aziil dan para ibu rumah tangga. Foto: Wahyu Chandra

Ibu-ibu ini alumni sekolah lapang pembibitan yang digagas Aziil beberapa tahun lalu. Mereka terampil membibit  termasuk membedakan jenis mangrove.

Lokasi pembibitan sebenarnya terbentuk sejak 1990-an. Kala Aziil bersama beberapa teman membentuk YPMMD. Awal berdiri mereka fokus  penyelamatan pesisir. Mereka memungut bibit-bibit berserakan di pantai, yang terbawa ombak dari berbagai daerah.

“Kami yakin bibit-bibit mangrove terdampar di sini banyak dari Mamuju bahkan Kalimantan.”
Tidak hanya membibit dan menanam mangrove, YPMMD juga mengadvokasi warga sekitar tidak lagi menebang  di kawasan itu.

Penebang mangrove sebenarnya  banyak nelayan pendatang yang  tinggal sementara di situ. Mereka mengambil mangrove untuk bahan bakar. “Kami  sampaikan  sebaiknya jangan tebang mangrove. Kini  tak ada lagi. Mungkin karena ada tabung gas tiga kg,  mudah dibawa-bawa.”
Pada mulanya, YPMMD membibit sekadar dibagi-bagikan kepada warga. Sejak 2010, muncul keinginan bersama menjual bibit.

Penjualan bibit ini bermula ketika PT Inhutani Mamuju memesan bibit mangrove 110.000 pohon. Mereka mendapat bayaran cukup besar. “Ibu-ibu kerja suka rela tanpa gaji. Yayasan pun menyiapkan polybag. Kami kasih makan siang. Setelah menghasilkan mereka tak mau diberi makan siang. Toh kepentingan bersama juga.”

Terdapat sekitar 400 ribu bibit mangrove diproduksi pertahunnya di kawasan ini, dari berbagai jenis mangrove. Ini sekaligus menjadi sumber mata pencaharian warga. Foto: Wahyu Chandra


Bibit-bibit ini dijual Rp700. Pelanggan dari pemerintah dan perusahaan. Dari penjualan ini, warga mendapatkan Rp300 per batang, selebihnya YPMMD.

“Jika mereka punya 1.000 bibit, ya dapat Rp300.000. Sekali jual bisa 10.000-20.000 bibit. Baru-baru ini dari Lingkungan Hidup Rp20 juta. Mereka bagi hasil merata ke anggota dan lembaga.”
Untuk menghasilkan bibit siap tanam memerlukan waktu tumbuh tujuh sampai delapan bulan. Kadang juga ada bibit sampai dua tahun. Bibit lama biasa dipotong dipindahkan ke polybag lain, untuk menghambat pertumbuhan.

Kala mendampingi ibu-ibu, katanya, hal paling ditekankan bagaimana mereka memperlakukan mangrove bak merawat anak sendiri.

Aziil mengajak kami ke bagian depan pantai. Tempat warga dan siswa pecinta alam menanam beberapa bulan lalu. Air setinggi mata kaki.

“Itu daerah terluar masih bisa ditumbuhi Aviecenna. Umur sekitar enam bulan. Kalau paling dekat ini Rhizophora styloza. Ini dua tahun. Kelihatan kecil karena tak cocok tanam di sini.”

Lokasi itu, kawasan yang dipenuhi karang mati karena marak pengeboman dan racun ikan era 1990-an. Menaman mangrove di sini biasa diistilahkan menumbuhkan mangrove di pantai berbatu karang.

Tahun 1990-an, katanya,  marak penangkapan ikan dengan bom dan racun hingga merusak terumbu karang di sini. Karang mati. “Dulu,  banyak tak percaya kalau mangrove bisa tumbuh. Bahkan peneliti dari luar negeri juga tak percaya. Saya membuktikan itu bisa.”  Rhizophora dikenal hanya bisa di lahan masih berlumpur.

Perawatan yang dimaksud Aziil, rutin membersihkan karang atau tiram yang menempel di batang mangrove,  per bulan hingga tanaman melewati usia kritis, yaitu dua tahun. Dengan pendekatan ini keberhasilan mangrove tumbuh bisa 60%.

Rhizophora meskipun tanaman laut namun batang tak tahan air. Luka di batang karena kerang dan tiram bisa membuat kering dan mati.

“Supaya tumbuh baik, gunakan propagul jangan bibit. Kita gali karang dengan linggis ketika laut surut dan diberi sedikit tanah sebagai pemancing.”

Kreativitas Aziil  ternyata menarik minat sejumlah peneliti asing datang dan belajar. “Mereka selalu bilang ini tak mungkin, tapi sudah lihat hasil dan bisa.”

Menurut Aziil, menghijaukan pesisir bukanlah mudah. Apalagi di daerah itu dia sebagai pendatang karena dari Ternate, Maluku Utara. Larangan tak menebang mangrove kadang tak digubris warga.
Namun penentangan perlahan berkurang dan sekarang tak ada. Warga menyadari manfaat mangrove, tidak hanya ekonomi, juga tangkapan ikan, kepiting dan usaha pembibitan. Mangrove juga benteng pelindung dari ombak dan degradasi pantai.

Atas usaha selama ini, Aziil mendapatkan banyak penghargaan dari pemerintah. Antara lain, 1993 dia menerima Pemuda Pelopor dari Presiden RI.

Pada 2003, Aziil menerima Kalpataru dari Presiden Megawati. Terakhir 2013, menerima Satyalencana, diserahkan Wakil Presiden RI, Boediono. Tahun ini, Aziil dinominasikan menerima Kehati Award dari Yayasan Kehati.

Ini adalah kawasan yang telah ditanami oleh Aziil bersama warga sejak tahun 1990 silam. Luasnya kini mencapai 40 hektar, meski yang tercatat di pemerintah hanya 20 hektar. Foto: Wahyu Chandra

Aziil berharap, kawasan kelola ini kelak menjadi Mangrove Learning Center di Sulbar bahkan Sulawesi. Dia berkeinginan bisa membangun kawasan ekowisata.

“Saya rencana membuat tree to tree. Jembatan antarpohon ke pohon. Lalu ada flying fish, seperti terbang ke laut. Atau juga path away atau jalan-jalan setapak dengan bambu.”
Aziil berharap ada kemitraan dari lembaga lain dalam pengembangan kawasan itu.“Saya rencana mengusulka ke Kehati kalau mereka mau menjadikan tempat ini pusat mangrove mereka. Seperti taman Kehati di Sumatera. Kehati bisa klaim dan pasang plang kalau ini milik mereka.”

Menanam mangrove kadang banyak gagal. Kata Aziil, disebabkan beberapa faktor, seperti tidak mempertimbangkan kondisi lahan. “Kalau Majene jangan gunakan bibit, lebih cocok propagul. Tapi kan pemerintah tak senang propagul karena biaya kecil. Hanya Rp100. Bandingkan dengan bibit Rp700.”
Di proposal, mereka biasa mencantumkan harga bibit per batang Rp1.900, harga beli cuma Rp700. “Tidak hanya untung selisih harga, dari volumepun bisa dimainkan. Tertulis 50.000 pohon, cuma beli bibit 10.000 bibit, misal. Mereka bisa untung banyak dari situ.”

Pemilihan waktu tanam juga menentukan keberhasilan. Pada bulan-bulan tertentu ombak tinggi membuat bibit sulit bertahan.  “Kalau propagul bisa kapan saja karena ditancapkan dan diberi penahan. Selama ini, orang hanya berpikir menanam mangrove, tak peduli tumbuh atau tidak. Seharusnya, kita gunakan istilah menumbuhkan mangrove, bukan menanam.”

MONGABAY 

Check Page Rank of your Web site pages instantly:

This page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service

Locations of visitors to this page