Dokumentasi Antarafoto

on Friday, July 30, 2010

foto  sirup mangrove

SURABAYA, 29/7 - SIRUP MANGROVE. Seorang perempuan berada di balik jajaran botol sirup yang terbuat dari Bougem (buah Mangrove), saat Pameran UKM Surabaya di Balai Kota Surabaya, Kamis (29/7). Pameran UKM yang digelar dalam rangka Hari Keluarga Nasional dan Hari Koperasi tersebut, bertujuan untuk mengenalkan beberapa produk unggulan hasil inovasi warga Surabaya, yang dihasilkan dari kekayaan alam Surabaya. FOTO ANTARA/Eric Ireng/ss/NZ/10

Sirup mangrove Hadir di JHCC

on Tuesday, July 20, 2010



Dalam rangkaian Fashion and Craft 2010, Sirup Bogem tidak ketinggalan turut hadir meramaikan di JHCC, mulai tanggal 21 sampai dengan 25 Juli 2010. Kesempatan kali ini diwakili oleh Pak Saipul dan Pak Kaderi, dua praktisi mangrove dari Wonorejo yang turut mendampingi  keberangkatan team dari Jawa Timur. Pameran ini sekaligus juga pameran perdana bagi Koperasi Mina mangrove Sejahtera. So, jangan lupa, bagi anda di seputaran Jakarta yang menginginkan  merasakan nikmatnya sirup daru buah Sonneratia caseolaris, kami persilahkan mampir di stand No A18, Hall A, pameran Fashion and Craft 2010. Untuk harga per botol nya, mulai dari Rp. 20.000,-. Stock yang dibawa kali ini tidak terlalu banyak, pasalnya keberadaan buah bogem (atau orang jakarta mengnalnya dengan nama pidada) yang terlambat berbuah, sebagai akibat dari global warming. So, selamat bertemu dengan Ketan Mangrove dan Koperasi Mina Mangrove Sejahtera di JHCC.  


Berbagi Ilmu di Gerbang Pulau Garam

on Monday, July 19, 2010

Ada catatan tertinggal dari aktifitas Kelompok Tani Mangrove dengan BALAI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN NONFORMAL DAN INFORMAL Jl. Gebang Putih No 10 Sukolilo Surabaya Telp. 031 - 5925972 , 031 - 5945101 Fax. 031 - 5953787 Kode pos : 60117. Tulisan di bawah ini merupakan salinan dari situs resmi mereka.

Berbagi Ilmu di Gerbang Pulau Garam  

Written by M. Subkhan
Wednesday, 14 July 2010 03:35

Pagi itu, Kamis 6 Mei lalu, matahari memanggang bumi Socah, Bangkalan, Madura. Di pintu gerbang Pulau Garam ini, langit terang benderang nyaris tanpa halangan barisan awan. Cuaca yang kurang bersahabat ini tak menghalangi langkah Mahrun dan Bilal, Ketua dan Sekretaris Kelompok Tani Karya Makmur, Desa Tengket, Arosbaya, Bangkalan, untuk menimba ilmu.

Dari Tengket, Mahrun dan Bilal berboncengan naik sepeda motor menuju kawasan Sembilangan, Socah. Mereka memenuhi undangan tim pengembang model Kelompok Studi (Pokdi) Pendidikan Masyarakat (Dikmas) BPPNFI Regional IV, untuk mengikuti diskusi kelompok terfokus. Diskusi itu digelar di sebuah rumah makan yang jaraknya sepelemparan batu saja dari Selat Madura.

Mahrun dan Bilal tak sendirian.
Ikut diundang pula Abdullah Hanafi MPd dari Universitas Negeri Malang (UM) selaku konsultan tim model, DR Imam Mukhlis dosen Fakultas Ekonomi UM, dan Sapto Andriyono, dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga, Surabaya. Selain itu, ada Muhammad Sony, Ketua Kelompok Tani Mangrove Wonorejo serta wakil dari Dinas Kehutanan dan Dinas Lingkungan Hidup Bangkalan.

Dari seluruh pembicara, paparan Muhammad Sony alias Muhson menarik banyak perhatian. Betapa tidak, sebagai seorang alumnus SMK jurusan kelistrikan, ia tak pernah menyangka kalau seperempat umurnya dihabiskan untuk mangrove seperti sekarang. Ibarat bumi dan langit, pria 47 tahun ini berurusan dengan hal yang berbeda 180 derajat dari latar belakangnya. Semua bermula ketika pria berkumis tebal ini hijrah bersama istri, Riyati dan tiga anak dari Bojonegoro ke Wonorejo, Surabaya, pada akhir 1997. Migrasi sejauh 120 Kilometer ini hanya untuk mencari pekerjaan.

Status sebagai mengantarkan Muhson terlibat dalam proyek pembangunan gardu induk tegangan ekstratinggi milik Perusahaan Listrik Negara. Selepas proyek itu, Muhson bekerja serabutan. Sampai akhirnya, ia bekerja pada sebuah proyek perumahan di dekat pantai Wonorejo pada 1998. Dilahirkan di tempat yang jauh dari pantai membuat Muhson penasaran. Demi memuaskan keinginannya menikmati pantai yang kini tak jauh dari rumahnya, dia memutuskan untuk melihat dari dekat.

Pada suatu akhir pekan, Muhson menggenjot sepedanya ke pesisir pantai Wonorejo. Apa daya, bayangan Muhson akan pantai yang indah jauh dari kenyataan. Aneka sampah rumah tangga menghiasi sekujur pesisir pantai berlumpur itu. Sebagian besar menutupi tunas-tunas bakau. Padahal, letak Pantai Wonorejo sangat strategis. Ia adalah muara Sungai Wonorejo dan Sungai Wonokromo.

“Muara adalah lahan subur untuk tanaman bakau,” katanya.

Atas dasar keprihatinan itu, Muhson memancangkan tekad untuk membersihkan sampah dari tunas-tunas bakau agar pertumbuhannya bisa optimal. Strategi pun dirancang. Setiap akhir pekan, Muhson bergerak sendirian ke tepi pantai untuk membersihkan sampah. Dia himpun sampah itu ke terpal raksasa yang dibelinya sendiri. Kewalahan membersihkan sampah sendiri, Muhson menyusun strategi lain. Dia dekati beberapa pekerja tambak untuk dimintai bantuan. Sebagai iming-iming, Muhson membawa rokok, serta puluhan nasi bungkus, dan air minum buatan sang istri. Makanan itu sengaja dibawa untuk menjamu makan siang para pekerja tambak.

Setelah tiga tahun berjuang membersihkan sampai, barulah Muhson menanam bibit-bibit bakau di pesisir Pantai Wonorejo. Bibit bakau diperoleh dari bogem (nama buah bakau dalam bahasa Jawa) yang berjatuhan di pantai. Dia meminta para pekerja tambak mengumpulkan bogem untuk dibelinya seharga Rp 25-50.

Sedikit demi sedikit, dalam tempo beberapa tahun, pesisir pantai Wonorejo mulai menghijau oleh hutan bakau. Bogem semula sekadar dimanfaatkan untuk bibit. Muhson belum mengetahui kalau buah sebesar bawang bombay ini bisa diolah menjadi produk pangan. Saat beristirahat di bawah rerimbunan pohon bakau pada 2007, Muhson mencium bau wangi laiknya buah apel dari jarak sepuluh meter. Penasaran, Muhson mendatangi asal bau. Teryata berasal dari bogem matang bekas gigitan hewan yang berjatuhan di akar bakau.

”Saya pikir manis, langsung saya gigit bogemnya. Ternyata kecut (asam),” tukasnya

Yakin bahwa ada sesuatu yang bisa dimanfaatkan dari aroma harum itu, Muhson membawa pulang beberapa bogem.

”Kalau hewan saja suka, pasti ada sesuatu yang bisa dibuat dari bogem itu,” ungkapnya.

Selanjutnya, Muhson mengupas, mencuci, dan melumatkan bogem untuk diperas airnya. Proses berikutnya, air perasan bogem disaring lalu dicampur gula pasir. Jadilah sirup bogem. Rasanya manis-asam segar mirip sirup buah leci. Sirup ini kerap disajikan Muhson ketika menjamu tamu atau saat ada kegiatan kerja bakti warga.

”Ternyata banyak yang suka dengan sirup bogem ini,” ucapnya bangga.

Muhson makin bersemangat mengolah daging bogem. Melalui serangkaian eksperimen bersama kelompok taninya, Muhson berhasil membuat jenang dan tepung dari bogem. Namun, tidak semua jenis bogem bisa dijadikan makanan enak dan bergizi. Untuk sirup dan jenang, bogem yang cocok diolah adalah bogem jenis pedada (Sonneratia alba). Bogem ini mengandung banyak vitamin C namun rendah kalori. Khusus bogem linaur (Bruguiera gymnoriza) hanya bisa diolah menjadi tepung untuk dipakai sebagai bahan dasar kue. Kendati olahan bogem mereka makin dikenal luas, kemampuan pembuatannya masih terbatas di tingkat industri rumah tangga.

”Semua masih dikerjakan sendiri untuk menjaga kualitas,” tambah Muhson.

Harga jualnya beragam. Sirup dibandrol Rp 15 ribu per botol sedangkan jenang dipatok Rp 8 ribu per kotak. Untuk tepung, menurut Muhson, tidak dijual karena dimanfaatkan sebagai bahan baku ketika memberikan pelatihan.

Keberhasilan Muhson merehabilitasi pesisir pantai bergema luas. Dia kemudian diminta membantu rehabilitasi pantai di wilayah Gresik dan Sidoarjo.
Pengalamannya pun dibagi melalui pelatihan di berbagai wilayah di Indonesia.

Selesai membagi pengalamannya, Muhson dihujani pertanyaan. Mahrun dan Bilas bertanya lebih jauh mengenai teknis pengolahan bogem. “Kami belum mengolah bogen karena belum tahu bogen jenis apa yang tumbuh di daerah kami,” ujar Mahrun.

Muhson menanggapi dengan menyampaikan janji untuk membantu identifikasi bogem di wilayah Tengket. Lebih dari itu, Muhson menekankan pentingnya mengubah cara berpikir dari menebang bakau menjadi mengolah buah bakau.
Hanya dengan cara ini kelestarian lingkungan pesisir pantai dan rantai ekosistem akan terjaga. (mss)

Last Updated on Wednesday, 14 July 2010 03:54 

Powered by BPPNFI Regional IV Surabaya - East Java XHTML 

‘World Atlas of Mangroves’ Terbaru Diluncurkan

on Sunday, July 18, 2010


Atlas Mangrove Dunia (World Atlas of Mangroves) terbitan Earthscan diluncurkan sejak bulan Juni 2010. Atlas ini memuat informasi sebaran dan keadaan terkini ekosistem mangrove di hampir seluruh negara-negara yang berada di kawasan tropis maupun sub-tropis yang memiliki bentangan hutan mangrove (123-124 negara). Publikasi ini merupakan luaran dari proyek yang dirintis dan dijalankan oleh ITTO (International Tropical Timber Organization) bersama lembaga-lembaga internasional lainya seperti ISME (International Society for Mangrove Ecosystem), UNEP (United Nations Environment Program), UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization), UNU (United Nations University) dan TNC (The Nature Conservancy) sejak tahun 2005.

UNEP dalam rilisnya (14/07/2010) menyebutkan bahwa Atlas ini menggambarkan kecenderungan yang positif secara global dalam upaya konservasi dan restorasi hutan mangrove dunia. Hampir 400 ribu ha areal kawasan mangrove di berbagai belahan dunia mendapat dukungan restorasi. Kondisi ini tak lain dari meningkatnya kesadaran pemerintah sejumlah negara akan pentingnya jasa lingkungan hutan mangrove dan juga untuk kepentingan cadangan dan penyimpan karbon menyahuti isu perubahan iklim. Meskipun demikian, tetap saja deforestrasi hutan mangrove masih jauh lebih tinggi, sekitar 3-4 kali, dibandingkan dengan tipe atau jenis hutan lainnya dalam 10 tahun terakhir.

Sebelumnya, rilis FAO (31/01/2008) menegaskan bahwa mangrove dunia telah hilang seluas 3,6 juta ha sejak tahun 1980 dengan presentase kehilangan sebesar 20% dari total luasan mangrove dunia (18.8 juta ha pada tahun 1980) menjadi sebesar 15,2 juta ha pada tahun 2005 sebagaimana laporan FAO “The World’s Mangroves 1980-2005” yang dipublikasi pada tahun 2007.

Berdasarkan laporan FAO 2007 tersebut dan sebagaimana tersaji pada World Atlas of Mangroves 2010, menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan mangrove terluas didunia (sekitar 3 juta ha) atau sekitar 21% dari total dunia. Tidak hanya itu, laporan FAO tersebut memperlihatkan bahwa Indonesia juga memiliki kekayaan jenis mangrove-sejati tertinggi, yaitu sebanyak 43 jenis (dari 71 jenis). Namun ironisnya, laporan FAO tersebut juga menunjukkan bahwa laju deforestrasi hutan mangrove Indonesia paling tinggi didunia sepanjang 1980-2005, yaitu: tertinggi sekitar 70 ribu ha untuk periode 1980-1990; turun menjadi 35 ribu ha pada periode 1990-2000; dan naik lagi menjadi 50 ribu ha dalam periode 2000-2005.

Atlas ini turut membeberkan bahwa ancaman terbesar yang dihadapi oleh mangrove dunia adalah alih fungsi lahan menjadi tambak (kegiatan akualkultur), pertanian dan pembangunan perkotaan termasuk permukiman, industri, pariwisata dan sebagainya. Tidak diketahui pasti apakah laporan ini juga menyebutkan secara pasti berapakah luas hutan mangrove yang dikonversi akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit?

Ya, yang pasti Atlas ini dibandrol seharga 65 Pound Sterling atau berkisar 898 ribu Rupiah. Sila berkunjung ke untuk membeli Atlas ini secara online atau sekadar melihat sinopsisnya.

Disariberitakan mangroveblog dari Jaringan KuALA - Arifsyah, M. Nasution 


About this Book - World Atlas of Mangrove

This atlas provides the first truly global assessment of the state of the world’s mangroves. Written by the leading expert on mangroves with support from the top international researchers and conservation organizations, this full color atlas contains 60 full-page maps, hundreds of photographs and illustrations and a comprehensive country-by-country assessment of mangroves.

Included are the first detailed estimates of changes in mangrove forestcover worldwide and at regional and national levels, an assessment of these changes and a country-by-country examination of biodiversity protection. The book also presents a wealth of global statistics on biodiversity, habitat area, loss and economic value which provide a unique record of mangroves against which future threats and changes can be evaluated. Case-studies, written by regional experts, provide insights into regional mangrove issues, including primary and potential productivity, biodiversity, and information on present and traditional uses and values and sustainable management.

Published with ISME, ITTO and project partners FAO, UNESCO-MAB, UNEP-WCMC and UNU-INWEH.


PRODUCT DESCRIPTIONS:

Binding: Hardcover
Dewey Decimal Number: 577.698
EAN: 9781844076574
ISBN: 1844076571
Label: Earthscan Publications Ltd.
Manufacturer: Earthscan Publications Ltd.
Number Of Items: 1
Number Of Pages: 304
Publication Date: 2010-06
Publisher: Earthscan Publications Ltd.
Studio: Earthscan Publications Ltd.

Blogwalking: Jagomakan dan mangroviesta

on Friday, July 16, 2010


Berjalan-jalan ke blog kuliner, menjadi salah satu kesenangan pengolola mangroveblog, karena selain mendapatkan informasi tempat makan enak, juga ternyata membuat mata terhibur, dengan sajian tampilan makanan yang berhasil tertangkap oleh kamera. Salah satunya adalah blog jagomakan, yang menganggkat profil ketua kelompok tani mangrove Wonorejo, Pak Soni Mohson. Berikut tulisananya, secara lebih lengkap, dapat dibaca disini. Walaupun artikel tersebut ditulis sudah cukup lama, bulan september 2009 lalu, namun informasinya masih cukup menyegarkan.

Jalan-jalan ini masih diteruskan, ke salah satu blog di wordpress, yang menyajikan tentang resep yang dipakai oleh Pak Soni Mohson dalam mengolah buah sonneratia menjadi sirup. Anda dapat membacanya secara lebih lengkap disini. Sebagioan tulisan dari blog tersebut di copy paste di bawah ini.

Cara pembuatan sirup:

  • Buah sonneratia, Kupas, cuci.
  • Di tambahkan air dengan perbandingan 1 kg:1 liter, misalnya 2 ons maka airnya sebanyak 200 mL.
  • Kemudian di rebus sampai buahnya lunak atau empuk, jangan sampai airnya mendidih. Setelah itu di dinginkan beberapa saat.
  • Buah di haluskan dalam panci, kemudian di saring dengan ayakan untuk memisahkan sari buah dengan daging buahnya.
  • Setelah terpisah antara daging buah dan sari buah, kemudian pada daging buah tadi ditambahkan lagi air sebanyak 1 liter lalu disaring lagi.
  • Lalu hasil saringan di saring kembali dengan kain, agar diperoleh air buah yang bebas dari ampas.
  • Akhirnya diperoleh sirup rasa buah Bogem.
  • Ampas sisa sirup dapat dibuat jenang dengan syarat ampas disisakan dengan kandungan airnya 30 %
  • Hasil akhir yang berupa sirup, direbus kembali dan ditambahkan gula sebanyak 2 kg. Dapat disimpulkan perbandingan buah,air dan gula adalah 1(kg):2(liter):2(kg)

Mangroves Are Nurseries for Reef Fish, Study Finds

on Saturday, July 3, 2010



Mangroves Are Nurseries for Reef Fish, Study Finds
John Roach
for National Geographic News
February 4, 2004

Mangroves—forests of tropical trees and shrubs rooted in saltwater
sediments between the coast and the sea—are crucial nurseries for
coral reef fish, according to a new study.

The finding highlights the importance of the rapidly dwindling habitats to reef communities.

"Beyond showing they are important, we showed they are much more important than even assumed," said Peter Mumby, a marine biologist at the University of Exeter, England.

Mumby and his colleagues found that mangroves serve as a vital, intermediate nursery as coral reef fish journey from their cribs in seagrass beds to the large coral reef ecosystems that fringe coastal communities.

Coral reef fish were up to twice as abundant on reefs adjacent to mangrove forests compared to reefs that weren't, researchers found. They also learned at least one species, the rainbow parrotfish (Scarus guacamaia), depends on mangroves for its very survival.

The study will appear in tomorrow's issue of the science journal Nature and was supported by a grant from the National Geographic Society's Committee for Research and Exploration.


Mangrove Conservation

Mumby and his colleagues believe that conservation efforts are necessary to protect connected corridors of mangroves, seagrass beds, and coral reefs to maintain the resiliency of coral reef ecosystems—and their productivity for fisheries.

Ivan Valiela, a marine biologist with Boston University's Marine Biological Laboratory in Woods Hole, Massachusetts, agrees. He said the research reinforces the concept that individual ecological units—mangroves, reefs, land—are crucially intertwined.

"Maintenance of these important environments therefore has to be done from a wider perspective," he said. "This whole set of concepts bears on the issue of setting up coastal reserves, national parks, maintaining commercial stocks, and a host of other management issues."

Nursery School

Mangrove forests are home to an abundance of wildlife. Above water, butterflies, birds, and mosquitoes zip around the canopy. Snakes, crocodiles, and crabs scurry and swim about the forest floor. And in India, Bengal tigers (Panthera tigris) laze in forest branches.

"You tend to find mangroves form this very dense network of channels and creeks that are very, very calm and peaceful but also [teem] with all sorts of life," said Mumby.

Researchers have long known that fish often mature in the murky saltwater amid the tangled labyrinths of roots created by mangroves. But according to Mumby, the importance of these nurseries to reef fish communities had never been quantified.

Factors such as fishing pressure and larval supply were thought to be more important to the structure and abundance of reef fish than the presence or absence of mangrove forests.

Since juvenile fish are known to hang out in other habitats like seagrass beds and small, protected patch reefs before venturing out to large reefs, researchers sought to answer a key question: In the absence of mangroves, wouldn't these other habitats suffice?

To find out, they sought coral reefs so isolated from mangroves that it would be impossible for fish from mangrove habitats to reach them. They found such reefs in Belize.

"In Belize, we have the unusual situation of offshore reef atolls with massive amounts of mangroves as well as atolls with nothing at all," said Mumby.

The researchers contrasted the populations of 164 fish species in the two different habitats. They found that mangroves serve as an intermediate nursery, making for much healthier and robust coral reef fish communities.

Mumby explained that the fish start out in seagrass beds, but once they grow two to three inches (five to eight centimeters) they are too big to hide from predators there. At that point they move into mangroves, which offer murky hiding spots and abundant food.

"They survive well in the mangroves until they are a bit larger," said Mumby. "But at some point they need to move to the reef. We are not sure why they move to the reef, but [we] suspect it's a good place to reproduce."

Once they grow big enough in the mangrove, the fish swim out to patch reefs in the lagoon. There, they co-exist with thousands of other juvenile fish, packing on girth in order to reach and survive on the larger, fringing reef.

In the absence of mangroves, fish swim directly from the seagrass beds to the patch reefs. But because they are smaller, predators catch them more easily, said Mumby.

Mangrove Destruction

Previous research by Valiela indicated mangroves are being destroyed more than twice as quickly as the well-publicized destruction of tropical rain forests. "We, by no means, expected to find the rates we in fact calculated," he said.

In the past, mangroves were deemed a mosquito-infested nuisance to waterfront home development and razed. Today, they are mostly cleared to make way for shrimp farms.

Mangroves provide important functions, including processing land-derived nutrients, serving as a buffer against pollution runoff, and filtering food for marine mammals.

The finding that mangroves serve as crucial nurseries for coral reef fish highlights another reason to conserve these rapidly disappearing habitats. "To really sustain fish, one thing you should aim to do is conserve a certain amount of mangroves," said Mumby.

According to Valiela, this is easier said than done. "We are dealing with Third World, marginal economies. There are few choices for these people. We are sure they do not want to damage the very environment in which they live, but there are few other crops that yield as much [as shrimp farms]," he said.

Mumby said he hopes the findings will strengthen the importance of mangroves to fishermen who have a key political voice in many tropical regions. Valiela is calling on the international community to better understand the ecology of these connected ecosystems and pose conservation incentives and sustainable development alternatives for affected local communities.

© 1996-2008 National Geographic Society. All rights reserved.

Kabar dari FAO tentang World Atlas of Mangrove

on Friday, July 2, 2010

Background

Human societies and coastal ecosystems are very closely interlinked. Currently, about 55 percent of the world¿s population inhabits coastal areas and draws heavily on coastal and marine ecosystems for food, housing, industrialization, transportation, recreation, waste disposal and reclamation for other uses. Coastal ecosystems in tropical and sub-tropical regions include coral reefs, mangroves and seagrass beds, and are among the world¿s richest storehouses of biological diversity and primary productivity. Globally, nearly two-thirds of all fish harvested depend on coastal ecosystems for various stages in their life cycle. However, these coastal and marine resources are under threat from a range of destabilizing effects due to human activities.

Mangrove ecosystems are unique and highly productive and constitute a critical element of the coastal hydrosphere. Tens of millions of people around the tropics and sub-tropics depend on mangrove forests as a source of fuelwood, charcoal, timber, and other non-timber products. Similar numbers rely on coastal fishery resources within or linked to mangrove ecosystems as one of most important source of livelihoods to coastal dwellers. In a less documented role, mangroves defend many coastlines from flooding and erosion, protecting the lives and livelihoods of untold numbers of people. However, mangrove ecosystems have also been damaged by human activities including urban development, agriculture, development of shrimp aquaculture and pollution. Drastic loss of mangrove forests has been observed in tropical and sub-tropical countries all over the world. The conservation of mangroves is essential for the survival of the two other major tropical ecosystems - coral reefs and seagrass beds.

With the publication of the World Atlas of Mangroves, the second edition of an Atlas first published in 1997 by ISME, in collaboration with ITTO and WCMC, the co-operating institutions listed below aim to further promote the conservation, restoration and sustainable use of resource-rich mangrove ecosystems, which are highly beneficial for the overall goal of sustainable management in integrated coastal ecosystems.
The Atlas

The 2nd edition of the Atlas is intended for managers, conservation experts and scientists. It will help in decision-making related to conservation and development schemes. It will also strengthen awareness for the protection and sustainable management of mangrove habitats not only at the rural community level but also at the political level. The Atlas will be based on standardized evaluation of existing data, leading to the development of a reliable and consistent baseline.

The Atlas will include national and local-level case studies and thematic case studies that cut across national boundaries. It will also include an overall evaluation of the relationships between human societies and mangrove ecosystems as well as the global levels of threat to these precious natural resources. Country data will include: profile, map, threat data where available, and updated information on the current extent and changes in mangrove areas over time. Descriptive information will focus on true mangrove tree species, although case studies will provide additional information on other mangrove-dependent species. Inputs from mangrove specialists throughout the world will be sought. The 2nd edition of the World Atlas of Mangroves will have 380-400 pages, including 60 full-page maps, colour plates and index. The expected publication date is late 2005.

Partners and Contact Information

The 2nd edition of the World Atlas of Mangroves is being prepared as a joint initiative of the Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), the International Society for Mangrove Ecosystems (ISME), the International Tropical Timber Organization (ITTO), the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization - Man and the Biosphere Programme (UNESCO-MAB), the United Nations Environment Programme - World Conservation Monitoring Centre (UNEP-WCMC) and the United Nations University - International Network on Water, Environment and Health (UNU-INWEH).

For further information, please contact:
FAO: Mette Løyche Wilkie, Forestry Department, Viale delle Terme di Caracalla, Rome, Italy
Tel: ++. 39.0657.052091, Fax: ++. 39.0657.055137, E-mail: mette.loychewilkie@fao.org
ISME: Shigeyuki Baba, University of the Ryukyus, Nishihara, Okinawa, Japan
Tel: ++. 81.98.895.6601, Fax: ++.81.98.895.6602, E-mail: isme@mangrove.or.jp
ITTO: Steven Johnson, Pacifico-Yokohama, Yokohama, Japan
Tel: ++.81.45.223.1110, Fax: ++.81.45.223.111, E-mail: johnson@itto.or.jp
UNESCO-MAB: Miguel Clüsener-Godt, Division of Ecological Sciences, Paris, France
Tel: ++.33.1.4568.4146, Fax: ++.33.1.4568.5804, E-mail: m.clusener-godt@unesco.org
UNEP-WCMC: Emily Corcoran, Huntingdon Road, Cambridge, United Kingdom
Tel: ++.44.1223.277314, Fax: ++.44.1223.277136, E-mail: emily.Corcoran@unep-wcmc.org
UNU-INWEH: Zafar Adeel, UNU-INWEH, Hamilton, Ontario, Canada

Tel: ++.1.905.525.9140 ext. 23082, Fax: ++.1.905.529.4261, E-mail: adeelz@inweh.unu.edu


Sumber: FAO

Cuma 2,5 Juta Hektar Mangrove yang Baik

on

Kamis, 01 Juli 2010

Dari 9,3 juta hektar hamparan mangrove di Indonesia, ternyata kini hanya tersisa 2,5 juta hektar mangrove yang berkondisi baik. Tantangan terhadap keberadaan mangrove, di antaranya adalah pembukaan tambak udang maupun ikan.

Dibutuhkan koordinasi antar instansi dan penyadaran masyarakat terhadap pentingnya mangrove. Bila tidak, masyarakat akan cenderung menebangi vegetasi mangrove untuk kepentingan ekonomi sesaat, tapi segera diterjang oleh bencana akibat menghilangnya mangrove.

Demikian dikatakan oleh Sasmitohadi, Kepala Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah I, akhir pekan lalu di Pusat Informasi Mangrove di Suwung Kauh, Denpasar. Sasmitohadi berbicara di hadapan peserta International Training on Integrated Water Resources Management (IWRM). IWRM sendiri pun, diinisiasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), SIDA, Stockholm International Water Institute, dan lembaga RAMBOLL.

"Kami sama sekali tidak melarang aktivitas ekonomi di pantai seperti tambak. Namun sebenarnya, tambak juga dapat diintegrasikan dengan mangrove. Caranya, dengan menanam pada pematang tambak," kata Sasmitohadi.

"Mangrove sendiri pun, juga bernilai ekonomis. Kayu dari tanaman mangrove dapat dimanfaatkan bagi bahan baku bangunan, perahu, kayu bakar dan arang. Ada komunitas masyarakat di Alas Purwo, di Banyuwangi sedang kami bantu untuk membiakkan lebah madu di kawasan mangrove," ujar dia.

Keberadaan mangrove, sesungguhnya juga kian penting utamanya di kota-kota besar berpenduduk padat karena mencegah intrusi air laut. Belum lagi, keterkaitan dengan upaya-upaya meredam global warming.

Belum Terintegrasi

Dalam konteks integrasi antarsektor di Indonesia, ternyata penanaman dan penanganan mangrove belum dilakukan dengan baik. Dukungan terhadap Balai Pengelolaan Hutan Mangrove, masih minim.

Beberapa waktu lalu, sampah yang dikumpulkan di Mangrove Information Center saja, dapat mencapai delapan truk sehari. Nah, kini sudah turun menjadi satu truk sehari. Tapi pekerjaan kami kan sebenarnya bukan untuk membersihkan sampah, dikeluhk an oleh Sasmitohadi.

Balai Pengelolaan Hutan Mangrove di Sanur, memang kekurangan sumber daya baik manusia maupun dana, katakanlah untuk mengembangkan bibit mangrove . Padahal, wilayah jangkauannya sangat luas, yakni lebih dari separuh kepulauan di Indonesia.

Sumber: lihatberita.com

Check Page Rank of your Web site pages instantly:

This page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service

Locations of visitors to this page