Berbagi Ilmu di Gerbang Pulau Garam
Wednesday, 14 July 2010 03:35
Pagi itu, Kamis 6 Mei lalu, matahari memanggang bumi Socah, Bangkalan, Madura. Di pintu gerbang Pulau Garam ini, langit terang benderang nyaris tanpa halangan barisan awan. Cuaca yang kurang bersahabat ini tak menghalangi langkah Mahrun dan Bilal, Ketua dan Sekretaris Kelompok Tani Karya Makmur, Desa Tengket, Arosbaya, Bangkalan, untuk menimba ilmu.
Dari Tengket, Mahrun dan Bilal berboncengan naik sepeda motor menuju kawasan Sembilangan, Socah. Mereka memenuhi undangan tim pengembang model Kelompok Studi (Pokdi) Pendidikan Masyarakat (Dikmas) BPPNFI Regional IV, untuk mengikuti diskusi kelompok terfokus. Diskusi itu digelar di sebuah rumah makan yang jaraknya sepelemparan batu saja dari Selat Madura.
Mahrun dan Bilal tak sendirian.
Ikut diundang pula Abdullah Hanafi MPd dari Universitas Negeri Malang (UM) selaku konsultan tim model, DR Imam Mukhlis dosen Fakultas Ekonomi UM, dan Sapto Andriyono, dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga, Surabaya. Selain itu, ada Muhammad Sony, Ketua Kelompok Tani Mangrove Wonorejo serta wakil dari Dinas Kehutanan dan Dinas Lingkungan Hidup Bangkalan.
Dari seluruh pembicara, paparan Muhammad Sony alias Muhson menarik banyak perhatian. Betapa tidak, sebagai seorang alumnus SMK jurusan kelistrikan, ia tak pernah menyangka kalau seperempat umurnya dihabiskan untuk mangrove seperti sekarang. Ibarat bumi dan langit, pria 47 tahun ini berurusan dengan hal yang berbeda 180 derajat dari latar belakangnya. Semua bermula ketika pria berkumis tebal ini hijrah bersama istri, Riyati dan tiga anak dari Bojonegoro ke Wonorejo, Surabaya, pada akhir 1997. Migrasi sejauh 120 Kilometer ini hanya untuk mencari pekerjaan.
Status sebagai mengantarkan Muhson terlibat dalam proyek pembangunan gardu induk tegangan ekstratinggi milik Perusahaan Listrik Negara. Selepas proyek itu, Muhson bekerja serabutan. Sampai akhirnya, ia bekerja pada sebuah proyek perumahan di dekat pantai Wonorejo pada 1998. Dilahirkan di tempat yang jauh dari pantai membuat Muhson penasaran. Demi memuaskan keinginannya menikmati pantai yang kini tak jauh dari rumahnya, dia memutuskan untuk melihat dari dekat.
Pada suatu akhir pekan, Muhson menggenjot sepedanya ke pesisir pantai Wonorejo. Apa daya, bayangan Muhson akan pantai yang indah jauh dari kenyataan. Aneka sampah rumah tangga menghiasi sekujur pesisir pantai berlumpur itu. Sebagian besar menutupi tunas-tunas bakau. Padahal, letak Pantai Wonorejo sangat strategis. Ia adalah muara Sungai Wonorejo dan Sungai Wonokromo.
“Muara adalah lahan subur untuk tanaman bakau,” katanya.
Atas dasar keprihatinan itu, Muhson memancangkan tekad untuk membersihkan sampah dari tunas-tunas bakau agar pertumbuhannya bisa optimal. Strategi pun dirancang. Setiap akhir pekan, Muhson bergerak sendirian ke tepi pantai untuk membersihkan sampah. Dia himpun sampah itu ke terpal raksasa yang dibelinya sendiri. Kewalahan membersihkan sampah sendiri, Muhson menyusun strategi lain. Dia dekati beberapa pekerja tambak untuk dimintai bantuan. Sebagai iming-iming, Muhson membawa rokok, serta puluhan nasi bungkus, dan air minum buatan sang istri. Makanan itu sengaja dibawa untuk menjamu makan siang para pekerja tambak.
Setelah tiga tahun berjuang membersihkan sampai, barulah Muhson menanam bibit-bibit bakau di pesisir Pantai Wonorejo. Bibit bakau diperoleh dari bogem (nama buah bakau dalam bahasa Jawa) yang berjatuhan di pantai. Dia meminta para pekerja tambak mengumpulkan bogem untuk dibelinya seharga Rp 25-50.
Sedikit demi sedikit, dalam tempo beberapa tahun, pesisir pantai Wonorejo mulai menghijau oleh hutan bakau. Bogem semula sekadar dimanfaatkan untuk bibit. Muhson belum mengetahui kalau buah sebesar bawang bombay ini bisa diolah menjadi produk pangan. Saat beristirahat di bawah rerimbunan pohon bakau pada 2007, Muhson mencium bau wangi laiknya buah apel dari jarak sepuluh meter. Penasaran, Muhson mendatangi asal bau. Teryata berasal dari bogem matang bekas gigitan hewan yang berjatuhan di akar bakau.
”Saya pikir manis, langsung saya gigit bogemnya. Ternyata kecut (asam),” tukasnya
Yakin bahwa ada sesuatu yang bisa dimanfaatkan dari aroma harum itu, Muhson membawa pulang beberapa bogem.
”Kalau hewan saja suka, pasti ada sesuatu yang bisa dibuat dari bogem itu,” ungkapnya.
Selanjutnya, Muhson mengupas, mencuci, dan melumatkan bogem untuk diperas airnya. Proses berikutnya, air perasan bogem disaring lalu dicampur gula pasir. Jadilah sirup bogem. Rasanya manis-asam segar mirip sirup buah leci. Sirup ini kerap disajikan Muhson ketika menjamu tamu atau saat ada kegiatan kerja bakti warga.
”Ternyata banyak yang suka dengan sirup bogem ini,” ucapnya bangga.
Muhson makin bersemangat mengolah daging bogem. Melalui serangkaian eksperimen bersama kelompok taninya, Muhson berhasil membuat jenang dan tepung dari bogem. Namun, tidak semua jenis bogem bisa dijadikan makanan enak dan bergizi. Untuk sirup dan jenang, bogem yang cocok diolah adalah bogem jenis pedada (Sonneratia alba). Bogem ini mengandung banyak vitamin C namun rendah kalori. Khusus bogem linaur (Bruguiera gymnoriza) hanya bisa diolah menjadi tepung untuk dipakai sebagai bahan dasar kue. Kendati olahan bogem mereka makin dikenal luas, kemampuan pembuatannya masih terbatas di tingkat industri rumah tangga.
”Semua masih dikerjakan sendiri untuk menjaga kualitas,” tambah Muhson.
Harga jualnya beragam. Sirup dibandrol Rp 15 ribu per botol sedangkan jenang dipatok Rp 8 ribu per kotak. Untuk tepung, menurut Muhson, tidak dijual karena dimanfaatkan sebagai bahan baku ketika memberikan pelatihan.
Keberhasilan Muhson merehabilitasi pesisir pantai bergema luas. Dia kemudian diminta membantu rehabilitasi pantai di wilayah Gresik dan Sidoarjo.
Pengalamannya pun dibagi melalui pelatihan di berbagai wilayah di Indonesia.
Selesai membagi pengalamannya, Muhson dihujani pertanyaan. Mahrun dan Bilas bertanya lebih jauh mengenai teknis pengolahan bogem. “Kami belum mengolah bogen karena belum tahu bogen jenis apa yang tumbuh di daerah kami,” ujar Mahrun.
Muhson menanggapi dengan menyampaikan janji untuk membantu identifikasi bogem di wilayah Tengket. Lebih dari itu, Muhson menekankan pentingnya mengubah cara berpikir dari menebang bakau menjadi mengolah buah bakau.
Hanya dengan cara ini kelestarian lingkungan pesisir pantai dan rantai ekosistem akan terjaga. (mss)
Last Updated on Wednesday, 14 July 2010 03:54
0 komentar:
Post a Comment