|
Sesi diskusi panel Konferensi Mangrove Internasional di Bali yang
dihadiri pelajar SMAN 1 Kuta yang diundang karena menjadi pengumpul
sampah di hutan mangrove Ngurah Rai, Tuban, Bali terbanyak. Foto: Luh De
Suriyani |
Hutan mangrove dunia diperkirakan hanya 15 juta hektar. Tak seberapa,
tapi terbukti berkontribusi tinggi menjaga stok pangan pesisir dan
benteng alami dari tsunami. Hampir seperempat bagian mangrove dunia atau
sedikitnya 3,5 juta hektar lahan mangrove ada di Indonesia. Sementara
tekanan dan ancaman makin meningkat.
Chan Hung Tuck dari
International Society for Mangrove Ecosystem (ISME)
memimpin diskusi rumusan aksi dengan serius jelang sesi akhir
Konferensi International Ekosistem Mangrove Berkelanjutan (
International Conference on Sustainable Mangrove Ecosystem) yang dihelat di Sanur, Bali pada 18-21 April 2017. Dokumen draft bertajuk
Bali Call to Action for Sustainable Mangrove Ecosystem ditayangkan dilayar untuk dibedah.
Tak hanya membacakan rumusan, Chan juga membahas tiap bagian dengan contoh-contoh
action plan yang sudah dilakukan sejumlah komunitas dan berdampak penting disarikan dari 3 hari diskusi konferensi ini.
Dalam draft tertulis 272 peserta konferensi dari 24 negara pengelola
lahan mangrove mendorong pembuat kebijakan, perencana lahan, praktisi
dan ilmuwan bidang mangrove, serta organisasi lainnya menggandakan usaha
untuk bekerja dengan komunitas pesisir. Untuk memastikan konservasi,
restorasi, perlindungan, dan pengelolaan berkelanjutan sisa ekosistem
mangrove dunia.
Ancamannya jelas, karena 50% mangrove dunia sudah habis dalam 40
tahun ini. Perlu menunggu berapa lama sampai sabuk pengaman pesisir ini
hilang? Sejumlah poin usulan rekomendasi adalah memprioritaskan
ekosistem mangrove berkelanjutan di kebijakan nasional dan penegakan
hukum untuk mengurangi degradasi.
Kemudian melibatkan dan memberdayakan komunitas dengan lebih efektif,
terutama perempuan. Restorasi mangrove dilakukan dengan pembuatan
keputusan berdasar kajian ilmiah dan pengalaman praktis lokal. Misalnya
pemantauan dan perawatan pasca penanaman.
Usulan rekomendasi lainnya adalah akses pendanaan global seperti
Green Climate Fund, the Global Environment Facility,
dan lainnya untuk program mitigasi dan adaptasi daerah pesisir. Selain
itu produksi pengetahuan terkait perubahan ekosistem mangrove perlu
terus dilakukan misalnya laporan rutin status mangrove.
Chan membahas rekomendasi berdasar tema-tema yang dibahas dalam
konferensi. Yakni 1) promosi pengelolaan ekosistem mangrove; 2)
mengatasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim; 3) pemulihan hutan
mangrove dan ekosistem terdegradasi; 4) meningkatkan mata pencaharian
masyarakat terkait mangrove; 5) penguatan tata kelola, penegakan hukum
dan sistem pemantauan; 6) valuasi jasa lingkungan; dan 7) penelitian dan
pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan ekosistem mangrove.
|
Mangrove yang penting mencegah abrasi pantai dan penting bagi kehidupan biota laut. Foto: Junaidi Hanafiah |
Yus Rusila Noor dari organisasi Wetland Indonesia yang mendampingi
Chan menyebut area hutan mangrove makin menurun hampir di seluruh
negara. “Sangat sedikit mangrove yang masih alami. Kebanyakan jadi
tambak ikan,” katanya.
Konferensi internasional ini dilaksanakan bersama oleh
International Timber Trade Organization (ITTO), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan
International Society for Mangrove Ecosystem (ISME). Berkolaborasi dengan
the Center for International Forestry Research (CIFOR),
the Asia-Pacific Network for Sustainable Forest Management and Rehabilitation (APFNet), AFoCo, dan lainnya.
Dorongan usaha perlindungan dan perbaikan ekosistem juga muncul di Tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan (
Sustainable Development Goals/SDGs).
Dari 17 tujuan, beberapa yang terkait dengan usaha-usaha pelesatrian
mangrove diantaranya tujuan 13. Mengambil aksi segera untuk memerangi
perubahan iklim dan dampaknya. Tujuan 14. Mengkonservasi dan
memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya laut, samudra dan maritim
untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Kemudian tujuan 15. Melindungi, memulihkan dan mendukung penggunaan
yang berkelanjutan terhadap ekosistem daratan, mengelola hutan secara
berkelanjutan, memerangi desertifikasi (penggurunan), dan menghambat dan
membalikkan degradasi tanah dan menghambat hilangnya keanekaragaman
hayati.
|
Simon Para Puka dan Afra Lusia Riberu bersama Kepala Desa Nuri dan anak muda yang peduli lingkungan. Foto: Ebed de Rosary |
Konferensi ini juga mengaitkan rencana aksi sesuai konteks target
2030 Agenda Pembangunan Berkelanjutan khususnya SDGs, dan Perjanjian
Paris terkait aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Dalam sambutan pembukaan, dikutip dari siaran pers KLHK, Direktur
Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung (PDAS HL), Dr. Hilman
Nugroho mewakili Menteri LHK menyampaikan, saat ini luas ekosistem
mangrove di Indonesia adalah 3,49 juta Ha. Seluas 1,7 juta ha (48%)
berada dalam kondisi baik dan 1,8 juta ha (52%) lainnya dalam kondisi
rusak (
One Map Mangrove KLHK, 2015). Hal ini disebabkan
konversi lahan untuk pembangunan, pembuatan arang, serta budidaya
pertambakan pada masa lampau yang menyisakan bencana.
“Saat ini KLHK bersama beberapa instansi terkait sedang menyusun
Strategi Nasional (Stranas) Mangrove dan berkoordinasi dengan BUMN,
BUMS, BUMD, agar dapat menyisihkan minimal 10% dana
Corporate Social Responsibility
(CSR) untuk kegiatan rehabilitasi mangrove, yang diketahui rusak
sebesar 200.000 ha setiap tahunnya. Ini dapat menjadi target
rehabilitasi mangrove,” tutur Hilman.
Tujuh langkah yang perlu ditempuh dalam pengelolaan mangrove, menurut
Hilman yaitu, menetapkan kebijakan sesuai kearifan lokal; mendorong
promosi manfaat mangrove untuk perkonomian masyarakat; meningkatkan
kesadaran masyarakat; menetapkan moratorium penebangan kayu mangrove;
meningkatkan produksi mangrove melalui teknologi; menjalin kerjasama
rehabilitasi mangrove; serta meningkatkan upaya penegakan hukum.
Hal serupa juga diamini oleh Gubernur Bali yang diwakili Wakil
Gubernur, Ketut Sudikerta, yang menegaskan bahwa pengelolaan mangrove
memerlukan komitmen seluruh stakeholder, khususnya dalam program
rehabilitasi. Sedangkan Presiden ISME, yang juga menjabat sebagai
Senator Thailand, Prof. Sanit Aksornkoae, berharap agar dapat dihasilkan
suatu rumusan atau peningkatan kolaborasi pengelolaan mangrove yang
berkelanjutan dari konferensi ini.
|
lokasi-pembibitan-pohon-mangrove di di pesisir Pantai Ayah, Kebumen, Jateng. Foto : L Darmawan |
Jelang sesi akhir, satu kelompok pelajar SMA Negeri 1 Kuta diundang
di tengah konferensi. Belasan remaja ini memecah keseriusan diskusi.
Panitia mengapresiasi mereka dengan menghadiri konferensi karena menjadi
pemenang pengumpul sampah terbanyak saat sesi
clean-up dan tanam mangrove di Tuban, Badung.
Devina, Gilang, dan Anggi mengaku senang dengan kejutan ini. Sekitar
100 pelajar dibagi dua kelompok melakukan pembersihan di area luar dan
dalam taman hutan rakyat (Tahura) mangrove Ngurah Rai.
KEHATI tanam 1000 mangrove
Di sela-sela pelaksanaan konferensi, Yayasan Keanekaragaman Hayati
Indonesia (KEHATI) menanam 1.000 bibit mangrove di Kampung Kepiting,
Kabupaten Badung, Bali, Jumat (21/4).
Penanaman 1.000 bibit mangrove tersebut didahului dengan penanaman 30
bibit mangrove secara simbolik yang diikuti oleh perwakilan peserta
Konferensi Mangrove Internasional (KMI) 2017 di Tahura Ngurah Rai, Bali.
Mereka yang terlibat dalam penanaman secara simbolik di antaranya
perwakilan peserta dari Amerika Serikat, Thailand, Madagaskar, Srilanka,
Filipina, Brazil, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, MS Sembiring, seperti dikutip dari
siaran pers mengungkapkan luas hutan mangrove di Indonesia
diperkirakan mencapai 3.489.140,68 hektar atau meliputi 23 persen
ekosistem mangrove dunia. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara
dengan kekayaan mangrove terbesar di dunia.
Dengan kondisi tersebut, maka sudah sepatutnya negeri ini menjadi
pemimpin ataupun pionir dalam hal pelestarian dan pembangunan
berkelanjutan dalam ekosistem mangrove. “Kekayaan mangrove yang
sedemikian luas semestinya dapat menjadi modal bagi Indonesia untuk
memperkuat posisinya dalam pembangunan pesisir berkelanjutan di mata
dunia,” kata Sembiring.
Namun, tantangan Indonesia tak mudah. Indonesia memiliki kecepatan
kerusakan mangrove terbesar di dunia. Pada dekade pertama abad ke-21
saja tak kurang dari 40 persen hutan mangrove telah musnah.
Pada 2015, deforestasi mangrove Indonesia terhitung sebesar 6 persen
dari total kehilangan hutan tahunan. Jumlah ini setara 0,05 juta hektar
dari total 0,84 juta hektar deforestasi tahunan di Indonesia.
MONGABAY