Ternate - Benteng pelindung itu telah hilang. Pepohonan rimbun
pelengkap keindahan pantai tinggal kenangan. Begitulah, riwayat hutan
mangrove Kelurahan Manggadua, Kota
Ternate.
Ekosistem
mangrove itu sebenarnya jenis tanaman belukar yang toleran terhadap
garam. Komunitas ekosistem itu tumbuh pada daerah pasang surut.
Salim
Abubakar, peneliti mangrove Unkhair Ternate, mengatakan ekosistem
mangrove merupakan tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai daerah
tropis dan sub tropis.
Hutan mangrove berfungsi sebagai peredam
gelombang dan angin badai, juga sebagai pelindung pantai dari abrasi,
mencegah terjadinya intrusi air laut dan penahan lumpur.
"Tumbuhan
mangrove berbeda dengan bakau. Bakau dominan hidup di habitat pantai,
sementara mangrove tumbuh di daerah pantai berlumpur atau lumpur
berpasir," kata dia kepada
Liputan6.com, beberapa waktu lalu.
Salim
mengemukakan hutan mangrove sebagai pagar pelindung di Kota Ternate itu
punah dan kritis. Reklamasi pantai yang dilakukan pemkot setempat salah
satu faktor.
"Reklamasi itu untuk pembangunan jalan, pemukiman, pelabuhan dan rumah toko," kata dia.
Salim
mengatakan kawasan hilangnya hutan mangrove yang terparah di kota
berjuluk Bahari Berkesan itu terdapat di Kelurahan Manggadua-Toboko,
Kecamatan Ternate Tengah.
"(Sementara) hutan mangrove lainnya yang sebagian besar hilang ada di
Kelurahan Kalumata, Gambesi dan Tobololo. Seluruhnya kritis karena
kurangnya kesadaran warga."
"Kurangnya kesadaran warga masyarakat
ini seperti membuang sampah di sekitar hutan mangrove. Juga pencemaran
air laut dari tumpahan BBM Pertamina Jambula dan penambangan pasir," dia
menambahkan.
Hilangnya mangrove karena ditebang berarti lepasnya kandungan karbon yang semula berada dalam
mangrove tersebut. Lepasnya karbon ke atmosfer berkontribusi pada pemanasan global.
Abrasi Pantai GambesiHilangnya
hutan mangrove akibat reklamasi pantai di kota itu perlahan berdampak
pada abrasi yang kian mengancam rumah-rumah dan kebun warga pesisir.
Bahkan di Kelurahan Gambesi, hampir sebagian besar kebun kelapa milik
warga setempat saat laut pasang sudah menyatu dengan air.
"Pohon
kelapa sudah rusak. Mau bagaimana, hanya bisa pasrah," kata Ikram
Sangaji, salah satu warga Kelurahan Gambesi, saat disambangi
Liputan6.com, di lokasi abrasi pantai setempat, Selasa, 28 Februari 2017.
Ikram
mengungkapkan bukan hanya pohon kelapa yang rusak akibat abrasi pantai,
tapi puluhan lahan petani kangkung juga terendam air laut saat pasang.
Ia
berharap program tanam mangrove yang dilakukan pemkot Ternate berbuah
maksimal. Selain untuk mengantisipasi ancaman abrasi, warga Gambesi
meminta pemerintah membuatkan tanggul pemecah ombak.
"Seperti
yang anda (wartawan) lihat sudah semakin parah. Ini sudah lama
(berlangsung). Lihat saja seluruh akar pohon kelapa semakin habis
terkikis air laut," ucap dia.
Ikram pesimistis karena program
menanam mangrove di pesisir pantai pernah dilakukan Pemkot Ternate pada
2001. Namun, ribuan pohon mangrove yang ditanam tak satupun tumbuh
besar. Kurangnya perawatan dan pengawasan penyebab di antaranya.
Ketua Pusat Studi Kebencanaan
Ternate
Ridwan Lesi mengemukakan penanaman mangrove itu dikerjakan Dinas
Perikanan Kota Ternate. Di sepanjang garis pantai Kelurahan Manggadua
dan Kastela ditanam 10.000 pohon mangrove.
Menurut dia, wilayah
pesisir pantai Kota Ternate sebagian besar telah mengalami perubahan
fisik yang drastis berupa pergeseran garis pantai dari waktu ke waktu.
Penyebab Abrasi
|
Tanggul pemecah ombak, solusi instan pengganti benteng pelindung Kota Ternate yang hilang. (Liputan6.com/Hairil Hiar) |
Dosen Universitas Khairun itu mengatakan hilangnya benteng
pelindung Kota Ternate berupa hutan mangrove dipicu reklamasi dan
eksploitasi pasir pantai. Kondisi itu berimbas pada terjadinya perubahan
iklim yang signifikan.
"Jadi, perusakan pantai yang ditimbulkan
oleh manusia secara tidak langsung dalam jangka panjang akan merusak
wilayah pesisir dan merugikan, seperti rusaknya pemukiman masyarakat dan
rusaknya lahan perkebunan," kata dia.
Ridwan mengatakan langkah
yang harus ditempuh Pemkot Ternate bukan hanya membangun tanggul pemecah
ombak saja, tetapi juga harus mengedukasikan masyarakat. Pasalnya,
kegiatan adaptasi yang terjadi saat ini hanya bersifat struktural.
"Yang
perlu diubah itu pola pikir masyarakat, sehingga strategi adaptasi itu
bukan hanya melihat dari bangun infrastruktur, tapi masyarakat itu harus
paham bahwa mereka saat ini mengalami ancaman abrasi pantai," kata dia.
Data
Pusat Penelitian Biologi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
menunjukkan hutan mangrove di kota itu kebanyakan menghilang. Hanya
sedikit pohon mangrove sepanjang pantai pulau itu yang tersisa dalam
bentuk bergerombol dan berjejeran dengan ukuran cukup besar.
Padahal,
hutan mangrove kawasan pantai Ternate juga merupakan daerah asuhan,
daerah mencari makanan dan daerah pemijahan berbagai jenis biota laut
seperti ikan, udang dan kerang.
Hutan mangrove itu tumbuh
terpencar-pencar di beberapa tempat. Ada yang tetap tegak berdiri di
pinggir pantai dan ada pula yang bergerombol di belakang garis pantai
menyerupai gundukan pasir. Pada jenis mangrove yang ditemukan di kawasan
Pantai Manggadua, berada tepat di belakang kawasan pemukiman.
Data
LIPI menyebutkan kondisi hutan mangrove ini masih cukup baik, hanya
terancam sampah dan reklamasi pantai. Jenis mangrove di pantai Manggadua
antara lain Sonneratia alba dan Avicennia marina.
Hasil
penelitian LIPI mengemukakan secara alami hutan mangrove yang mati
akibat sampah masih akan pulih kembali, tetapi reklamasi membuat banyak
semai atau anakan mangrove mati selamanya.
Perhatian PemkotSekretaris
Komisi III DPRD Kota Ternate Mohdar Bailusy mengatakan komitmen pemkot
setempat terhadap pengelolaan tata ruang wilayah patut dipertanyakan.
Reklamasi pantai di kawasan Manggadua-Bastiong itu, kata
Mohdar, berdampak pada hilangnya ribuan pohon mangrove yang sudah ada
sejak ratusan tahun. Reklamasi pengembangan kawasan pusat kota di
Ternate ini mulai berlangsung pada 1994, di pantai Falajawa, Kecamatan
Ternate Tengah.
"Bahkan, sisanya beberapa batang pohon (mangrove
besar) yang masih ada sudah ditimbun lagi. Setelah saya konfirmasi,
katanya untuk bangun peti kemas," kata dia.
Politikus PKS itu
mengemukakan banyak hal dalam kebijakan pemkot setempat masih abai
terhadap masalah lingkungan, padahal dampak perusakan itu fatal.
Meskipun begitu, Mohdar mengakui Pulau Ternate dalam hal pengembangan
kawasan Kotabaru sangat terbatas akan lahan.
"Kalau pun alasan
reklamasi untuk pengembangan kawasan Kotabaru karena Ternate kurang
tersedianya lahan ya cari dong kawasan lain, yang sesuai RTRW Kota
Ternate," ucap dia.
Mohdar menilai, penataan kawasan jalan pantai
Kotabaru-Bastiong itu tidak mempertimbangkan adanya kawasan hutan
mangrove. Padahal dalam RTRW kota setempat, hutan mangrove Manggadua
masuk kawasan yang dilindungi.
Dia mengatakan pengabaian serupa
juga tedapat pada galian C, hampir tidak ada upaya reboisasi, seperti
mengembalikan fungsi alam pasca galian C dilakukan. Mohdar menilai
solusi pemkot dalam menangani masalah abrasi pantai selama ini masih
sebatas membangun infrastruktur berupa tanggul pemecah ombak.
"Jadi,
pendekatan kita selama ini betonisasi semua. Dari barat sampai timur
itu bangun beton saja. Padahal air ini kalau kita hadapi dengan beton,
satu saat pasti rusak," kata dia.
Komisi III DPRD Kota Ternate,
sambung Mohdar, meminta pemkot lebih memikirkan program jangka panjang
terkait ancaman perubahan iklim yang terjadi.
Menurut Mohdar, kegagalan menanam mangrove yang dilakukan
pemkot setempat karena lebih pada pendekatan proyek daripada upaya
mengantisipasi ancaman perubahan iklim.
"Misalnya pada akhir
tahun kemarin (Rabu, 17/11/2016) ada penanaman 1.000 pohon mangrove di
Pantai Rua (salah satu kelurahan di Kecamatan Pulau Ternate), itu
asal-asalan, karena yang ditanam itu modelnya seperti dua tahun
sebelumnya," kata dia.
Langgar Peraturan?
|
Tanggul pemecah ombak, solusi instan pengganti benteng pelindung Kota Ternate yang hilang. (Liputan6.com/Hairil Hiar) |
Musaddaq, aktivis Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia,
mempertanyakan apakah reklamasi itu sudah sesuai UU Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Perpres
Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
"Di mana dalam Perpres itu lah yang mengatur izin tentang reklamasi, yang harus mendapatkan persetujuan dari Menteri," kata dia.
Demikian
pula halnya Peraturan Daerah Kota Ternate Nomor 2 Tahun 2012 tentang
RTRW Kota Ternate Tahun 2012-2032 yang sudah mengatur kawasan hutan
mangrove masuk wilayah yang dilindungi, tapi tetap saja ditimbun.
Lelaki
yang getol menyoroti reklamasi CPI (Centre Poin of Indonesia) di Pantai
Losari, Kota Makassar dan reklamasi pantai Jakarta itu, mengemukakan
jangan sampai reklamasi pantai di Kota Ternate menjadi permasalahan
hukum di kemudian hari.
"Karena itu, DPRD Kota Ternate harus
betul-betul mengawasi. Ini sudah bagian dari fungsi mereka sebagai wakil
rakyat," ujar aktivis Kopel Indonesia itu.
Wali Kota Ternate
Burhan Abdurahman belum dapat dihubungi. Saat disambangi di lantai satu
kantor Wali Kota, Jalan Yos Sudarso, Kecamatan Ternate Tengah, tidak
berada di tempat.