Kemen LHK Rekomendasikan Pelestarian Hutan Mangrove

on Thursday, May 28, 2015

PEKANBARU,  - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  (LHK) melalui Dirjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) merekomendasi bantuan bagi Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti, untuk  pengelolaan serta pelestarian hutan mangrove. Hal ini  juga untuk mendukungan pengadaan program sekolah alam ‘Aku Sahabat Lingkungan’ tahun 2015.

Rekomendasi ini menjawab surat yang disampaikan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Riau, Intsiawati Ayus SH MH Nomor  018/DPD.RIAU/B-13/III/2015 mengenai program  penanganan abrasi dan pelestarian mangrove, kepada Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar pada 30 Maret lalu.

‘’Alhamdulilah keinginan kita untuk melestarikan kondisi hutan mangrove di Riau persisir mendapat  perhatian dari Kementerian LHK melalui surat balasan bernomor 5.375/RHL-4/2015,’’ ujar Intsiawati Ayus kepada Riau Pos, Rabu (27/5) siang melalui telepon selularnya.

Dalam surat tersebut, terangnya, ada beberapa poin yang menjadi perhatian Kementerian LHK, pertama, Desa  Kedabu Rapat, Kecamatan Rangsang, Kabupaten Kepulauan  Meranti, merupakan salah satu desa binaan Balai  Pengelolaan BPDAS Indragiri Rokan, dalam program  rehabilitasi mangrove.

Hal ini dengan mengalokasikan kegiatan KBR mangrove setiap tahunnya, penyuluhan khusus mangrove bekerja sama dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepulauan Meranti.

Kedua, untuk mendukungan program ini maka kegiatan yang dapat dilakukan Kementerian LHK,  wilayah II  memfasilitasi 40.000 batang bibit mangrove.

RIAU POS

Cara Cerdas Lestarikan Mangrove

on Wednesday, May 27, 2015





Bagaimana masyarakat di Kepulauan Tanakeke melestarikan mangrove patut menjadi pelajaran bagi kita semua. Masyarakat di pulau ini sangat sadar, ketika melestarikan mangrove, dampak baik akan dirasakan oleh mereka sendiri. Upaya pelestarian ini dimulai dengan membuat sebuah peraturan desa (perdes) tentang mangrove.\

Perdes konservasi mangrove di Kepulauan Tanakeke lahir karena kekhawatiran masyarakat dan pemerintahan desa terhadap kondisi mangrove yang  sudah menghawatirkan. Kekhawatiran masyarakat didukung oleh hasil penelitian mitra Oxfam dalam program Restoring Coastal Livelihood (RCL), yaitu Yayasan Konservasi Laut (YKL) dan Mangrove Action Project (MAP) yang menunjukkan bahwa laju kerusakan mangrove lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhannya. Hasil penelitian ini semakin mendorong masyarakat untuk menjaga kelestarian mangrove di Kepulauan Tanakeke.
Di Pulau Tanakeke sebagian besar tanaman mangrove sudah ada pemiliknya. Di awal lahan mangrove ini dulunya ada yang ditanami warga kemudian diklaim sebagai lahan miliknya, dan ada juga mangrove yang tumbuh secara alami. Jadi kepemilikan lahan mangrove sudah diturunkan dari generasi ke generasi. Kepemilikan ini seperti sebuah kesepakatan tidak tertulis, tetapi diakui oleh seluruh masyarakat.


Bagi masyarakat di Pulau Tanakeke mangrove menjadi aset keluarga. Nilai jual mangrove yang tinggi inilah yang kemudian membuat masyarakat tergiur untuk menebang semua pohon mangrove yang  biasanya diproduksi menjadi arang. Untuk memproduksi arang ini, biasanya pohon mangrove yang luasnya berhektar-hektar ditebang, dipotong, kemudian dibakar menjadi arang. Karena menjadi aset keluarga inilah, maka mangrove ini berpotensi suatu hari akan ditebang ketika pemilik lahan memerlukan dana yang besar.

Satu-satunya kawasan mangrove yang tidak diklaim oleh masyarakat di Pulau Tanakeke adalah Bangko Tappampang dengan luas 55,5ha. “Bangko Tappampang” yang berarti bakau melintang ini memang mempunyai posisi melintang di antara dua desa di Pulau Tanakeke yaitu Desa Tompotana dan Desa Rewataya. Sedangkan tiga desa lainnya (Desa Balandatu, Desa Macini Baji, dan Desa Mattirohbaji) di kepulauan ini tidak bersinggungan langsung dengan Bangko Tappampang.

Melihat kondisi mangrove yang sudah menurun dan perilaku masyarakat yang banyak menebang lahan mangrovenya, faktor inilah yang mendorong masyarakat dan forum pemerintah Desa Kepulauan Tanakeke untuk membangun sebuah kesepahaman bersama mengenai pelestarian dan pengelolaan mangrove. Kesepahaman bersama ini mewujud dalam bentuk peraturan desa (perdes) yang melibatkan masyarakat dari 5 desa di kepulauan Tanakeke.

Proses pembuatan perdes mangrove ini dimulai dari tahun 2013, cukup memakan waktu lama mengingat proses membangun kesepahaman bersama ini melibatkan warga dari lima desa. Oxfam, YKL, dan MAP yang tergabung dalam program RCL mendampingi masyarakat tentang bagaimana proses pembuatan perdes. Kemudian mengenai hal-hal teknis dalam konservasi mangrove seperti berbagai cara rehabilitasi mangrove, dan mempelajari alur hidrologi kawasan mangrove.

Mangrove mempunyai peranan penting bagi daerah-daerah pesisir, yaitu sebagai penahan abrasi dan angin, juga menjadi tempat perkembangbiaan beberapa habitat ikan dan hasil laut lainnya yang tentunya bermanfaat menunjang kehidupan masyarakat pesisir. Perdes ini kemudian mengatur agar tidak terjadi penebangan mangrove secara liar dan sewenang-wenang yang dilakukan warga, serta mengedukasi masyarakat agar lebih memahami tentang pentingnya pelestarian mangrove.

Menurut Lukman (Fasilitator YKL) menyampaikan proses rehabilitasi mangrove di Kepulauan Tanakeke diarahkan agar bagaimana mangrove bisa tumbuh secara alami. Apa yang sudah dilakukan adalah mengatur alur hidrologi di kawasan mangrove. Ketika biji yang akan menjadi bakal pohon mangrove ini jatuh dari pohonnya dan terbawa aliran air, maka aliran air diarahkan agar bakal pohon baru tersebut tumbuh di lokasi yang diharapkan. Cara alami ini memang membutuhkan waktu yang cukup lama. Jika kemudian setelah dievaluasi proses alami ini dianggap kurang berhasil, maka akan dilakukan intervensi manusia misalnya dengan cara tanam langsung.

Perdes mangrove lebih lanjut menjelaskan bagaimana tata cara penebangan. Penebangan mangrove (walaupun itu lahan milik pribadi) tetap harus menyesuaikan dengan perdes yang berlaku. Setiap penebangan dengan ukuran mulai dari  4 m2 diwajibkan untuk menyisakan 1 pohon induk. Kebijakan ini dibuat, agar regenerasi mangrove tetap berlangsung, dengan asumsi  pohon induk ini akan beregenerasi dan calon mangrove baru bisa tumbuh. Jika ada warga yang dengan sewenang-wenang menebang mangrove, maka bisa dikenakan sanksi. Bagi pemilik lahan mangrove yang menebang mangrovenya tanpa menyisakan beberapa pohon inti, maka dikenakan sanksi berupa denda sebesar 2 kali lipat dari harga jual hasil penebangan tersebut. Dan bagi yang menebang mangrove di lahan orang lain, akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp. 100.000,- per pohon.  Jika ada diketahui ada yang melanggar peraturan desa ini, uang denda akan dibayarkan ke kas desa sebagai pendapatan kas desa dan digunakan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat desa.

Setelah perdes ini terbentuk dan disepakati bersama, masing-masing pemerintahan desa melakukan sosialisasi terhadap warga desanya. Seperti yang dilakukan Tajuddin Erang-Kepala Desa Tompotana melakukan sosialisasi di Desanya dengan menunjuk perwakilan dusun untuk menyebarkan informasi mengenai aturan pengelolaan mangrove ini. Tajuddin juga memanfaatkan momen berkumpul warga seperti saat shalat Jumat sebagai sarana sosialisasi perdes ini.

Setelah satu tahun berjalan perdes ini berlaku di Kepulauan Tanakeke, dampaknya mulai terasa. Perilaku masyarakat kepulauan Tanakeke yang seringkali menebang mangrove secara sembarang, kini mulai tereduksi. Warga juga menjadi sadar perlunya pengelolaan mangrove yang baik. Kesadaran masyarakat yang mulai tumbuh juga dilihat dari warga yang ikut memantau keamanan lokasi konservasi mangrove di Bangko Tappampang. Bangko Tappampang terbagi dalam zona inti, zona penyangga, dan zona rehabilitasi. Warga di Kepulauan Tanakeke ini mempunyai jatah 10 batang pohon mangrove yang bisa didapatkan di zona rehabilitasi. Itupun dengan kewajiban menanam kembali pohon mangrove sebagai pengganti. Jika ada warga yang masuk ke wilayah Bangko Tappampang dan diketahui menebang sejumlah pohon, maka warga yang melihat akan melapor pada kepala desa yang bersangkutan. Jika mangrove yang diambil lebih dari ketentuan yang diperbolehkan, maka kemungkinan akan dikenakan sanksi.

Kesepahaman bersama ini lah yang menjembatani komunikasi antara warga dan pemerintahan desa di lima desa Kepalauan Tanakeke. Proses pembuatan perdes yang partisipatif dan cukup mengakomodir kepentingan masyarakat mendorong kesepahaman bersama ini dijalankan oleh warganya. Karena masyarakat Kepulauan Tanakeke sadar betul, ketika mangrove di desanya dalam kondisi baik maka akan mendatangkan manfaat bagi mereka sendiri.

KOMPASIANA

Hutan Mangrove Selamatkan Warga Tanakeke

on Tuesday, May 26, 2015


TAKALAR -  Hutan mangrove menjadi sandaran bagi kelangsungan hidup warga  pulau Tanakeke, andai saja mangrove punah terbabat, pulau yang terhampar di lepas pantai Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan (Sulsel) itu akan punah ditelan abrasi dan kegersangan.
Tanakeke  berpenghuni lebih 10.000 jiwa, mendiami lima desa, Tompotana, Mattiro Baji, Maccini Baji, Rewatayya dan Balandatu, masuk dalam wilayah Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar.
Tajuddin Daeng Ngerang, Kepala Desa Tompotana kepada SP, Sabtu (23/5) mengatakan,  jika ingin belajar tentang manajemen penyelamatan mangrove, datanglah ke Tanakeke, di pulau ini wanita menjadi pelopor penyelamatan mangrove.

“Kami telah membuat aturan yang tidak menghalangi pemanfaatan kayu bakau untuk berbagai kepentingan namun ada persyaratannya, semua berjalan dalam keseimbangan secara lestari, ada kewajiban menanam dan ada keluasan untuk memanfaatkan sesuai aturan yang dibuat dan disepakati bersama,” katanya.
Di era tahun 80-an Tanakeke dikelilingi oleh hutan mangrove berbagai species (warga setempat menyebut bangko) luasnya lebih 1776 hektare (ha), namun hasil penelitian Mangrove Action Project (MAP) Indonesia tahun 2010, yang tersisa sekitar 500 ha akibat alih fungsi lahan, penebangan dan abrasi yang terus menggerus daratan.

Mangrove yang tersisa  diklaim milik perorangan, kecuali hamparan sekitar 51,5 hektare yang tak bertuan dan disebut “Bangko Tappampang”. Untuk menyelamatkan dan menghindari konflik kepentingan di Bangko Tappampang, Oxfam, lembaga yang peduli terhadap kehidupan masyarakat pesisir dengan dukungan Canadian International Development Agency (CIDA) melalui program perbaikan penghidupan pesisir atau  Restoring Coastal Livelihood (RCL) telah menfasilitasi terbentuknya Forum Desa.

Forum gabungan pemerintahan lima desa itu diketuai Tajuddin, mereka sepakat menjadikan kawasan Bangko Tappampang sebagai kawasan konservasi dan kawasan perlindungan Pulau Tanakeke  serta membagi tiga zona, yakni zona inti untuk hutan mangrove yang kondisinya masih baik, zona penyangga untuk areal yang selam ini dimanfaatkan oleh masyarakat dan zona rehabilitasi untuk mangrove yang telah rusak.
Penananam dan pengolahan mangrove diatur dalam perjanjian bersama, bahkan diperkuat oleh regulasi Pemerintah Kabupaten Takal;ar yang telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang memberikan perlindungan terhadap hutan mangrove di Tanakeke.

SUARA PEMBARUAN

Hutan Mangrove di Jalan Menuju Bandara Masih Ditebangi

on Monday, May 25, 2015


WAISAI – Meski sudah ada larangan penebangan hutan mangrove, namu masih saja ada yang nakal. Hal ini bisa dilihat dari penebangan mangrove yang ada di jalan menuju kawasan Bandara Marinda Raja Ampat.

Masih ada oknum warga yang menebang dan membangun di wilayah hutan mangrove yang dilindungi. Bahkan adanya papan himbauan pemerintah yang melarang keras menebang pohon mangrove.

Salah satu warga yang berada di sekitar penebangan tersebut , ibu Nina mengatakan dirinya sebenarnya mau melarang untuk dilakukan penebangan. “Saya lihat ada orang yang tebang pohon di lokasi itu, tapi saya tidak kenal orang nya sebenarnya saya mau tegur tapi takut salah salah nanti,” kata ibu Nina saat ditemui dikediamannya, kemarin.

Sebenarnya, terang ibu Nina, lahan tersebut dibeli dari keluarganya namun karena bermasalah, pihak pembeli membakar lahan begitu saja. Kemudian lahan tersebut telah dijual kepada orang lain, dan sekarang pembeli yang baru mulai melakukan penebangannya kembali.

“Lahan yang ditebang itu dulu milik keluarga saya, dibeli 60 juta setelah dibeli  lahan itu bermasalah,trus di bakar begitu saja, saya dengar lagi ada yang jual tanah itu bisa jadi orang yang beli sekarang ini yang menebang ,”kata Nina sembari menggendong cucunya.

Sementara itu, dari penyataan Menteri Perikanan dan Kelautan RI, Susi Pudjiastuti mengatakan untuk menjaga hutan mangrove (Bakau) sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan bantuan dana pengembangan perikanan dan wisata sebesar 100 miliar rupiah.

RAJA AMPAT POS

Proyek Normalisasi Merusak 120.000 Batang Mangrove

on

INDRAMAYU, - Diperkirakan 120.000 batang pohon mangrove rusak oleh proyek normalisasi Sungai Kalentengah di Desa Totoran, Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu, Kamis (21/5/2015). Sementara ratusan ribu batang pohon mangrove lainnya terancam rusak jika pihak Balai Besar Wilayah Sungai memaksakan normalisasi menggunakan alat berat.

Ketua Himpunan Pemuda Pelopor Pembangunan Indramayu, Narendra Nurcahya, Kamis (21/5/2015), mengungkapkan hal itu sembari mengantar "PR" ke Sungai Kalentengah yang mengalami kerusakan. Menurut dia, proyek normalisasi ini baru berjalan sekitar 1,5 kilometer, tetapi dihentikan warga karena ternyata pelaksanaannya merusak lingkungan.

"Kami tidak mengira normalisasi ini akan menggunakan alat berat sejenis ponton yang lebarnya 6 meter, sedangkan salurannya hanya 3 meter," ucapnya yang merupakan aktivis lingkungan.

Akibatnya, Nurcahya memperkirakan 120.000 batang pohon mangrove rusak parah terlindas alat berat. Padahal, sebagian besar tanaman tersebut sudah berusia puluhan tahun lantaran ditanam sejak 1968.

Selain itu, ratusan ribu batang pohon mangrove lainnya terancam rusak jika pihak BBWS memaksakan penggunaan alat berat ponton selebar 6 meter tersebut. Pasalnya, proyek tersebut baru berjalan 1,5 km, sedangkan total proyek sekitar 6 km.

Menurut Nurcahya, pihak BBWS mengulang kesalahannya saat menormalisasi sungai di Desa Pabean Ilir Kecamatan Pasekan pada 2013 lalu. Saat itu, sekitar 1 juta batang pohon rusak, tetapi penanaman kembali hanya sekitar 200.000 batang. "Karena pemulihan diserahkan kepda pihak ketiga atau oknum. Kenapa tidak diserahkan kepada dinas/instansi terkait," ucapnya.

Perwakilan masyarakat petani tambak yang terkena dampak, Suteja, yang juga Sekretaris Desa Totoran, membenarkan adanya perusakan oleh pihak pelaksana proyek normalisasi Sungai Kalentengah. Dia menjelaskan, proyek yang dimulai dari muara itu melewati tanah milik Perum Perhutani dan warga.

"Ada empat kelompok masyarakat yang menanam mangrove di situ. Mangrove milik Perum Perhutani juga rusak akibat alat berat itu, tetapi tidak separah milik warga," ucapnya.

Bahkan, kata Suteja, bukan hanya mangrove di sisi kiri-kanan saluran yang rusak, empang-empang dan ikan di dalamnya juga terkena dampak negatif normalisasi itu. Disebutkan, dari empat empang warga yang rusak, dua empang jebol sehingga ikan-ikannya terbawa arus. "Untung, segera dihentikan warga saat itu. Kalau tidak, ikan-ikan di dua empang lainnya bisa hilang juga," ujarnya.

Suteja mengaku mengapresiasi niat baik BBWS yang hendak menormalisasi saluran tersebut, tetapi hendaknya ada koordinasi dengan warga sekitar terlebih dahulu. Pasalnya, sejak proyek normalisasi ini dimulai dua pekan lalu, tidak ada koordinasi sama sekali dengan warga.

Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indramayu Munzaki menyesalkan pihak BBWS yang membuat kesalahan yang sama seperti pada tahun-tahun sebelumnya. "BBWS kan instansi pemerintah. Mereka seharusnya tahu bahwa di daerah tersebut ada mangrove," ujarnya.

Akibat normalisasi saluran ini, kata Munzaki, bukan hanya kerusakan ribuan mangrove dewasa, tetapi juga beberapa empang dan tanggul, puluhan pintu air, dan 12 jembatan bambu. Sementara ini, dia memperkirakan kerusakan mencapai Rp 400 juta.

Berdasarkan pengakuan pihak BBWS, ungkap Munzaki, proyek itu sepanjang 4,18 km. Kemudian, proyek dihentikan warga ketika pekerjaan baru mencapai 500 meter. "Namun, kami akan melakukan survei ke lapangan lagi untuk memastikan dan menghitung besaran kerusakan," katanya.

PIKIRAN RAKYAT

Proyek Normalisasi Sungai Kalentengah Merusak 120.000 Pohon Mangrove

POLDA JAWA BARAT, Monday, 25 May 15 11:49 | Dilihat sebanyak: 4 | 0 Komentar
 0  0
 
 0
Proyek Normalisasi Merusak 120.000 Batang Mangrove
ASEP BUDIMAN/PRLM
NURCAHYA, aktivis lingkungan, menunjukkan kerusakan pohon mangrove yang terdampak normalisasi saluran proyek Balai Besar Saluran Sungai di Desa Totoran, Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu, Kamis (21/5/2015). Sekitar 120.000 batang pohon mangrove rusak, sedangkan ratusan ribu lainnya terancam.*
INDRAMAYU, (PRLM).- Diperkirakan 120.000 batang pohon mangrove rusak oleh proyek normalisasi Sungai Kalentengah di Desa Totoran, Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu, Kamis (21/5/2015). Sementara ratusan ribu batang pohon mangrove lainnya terancam rusak jika pihak Balai Besar Wilayah Sungai memaksakan normalisasi menggunakan alat berat.
Ketua Himpunan Pemuda Pelopor Pembangunan Indramayu, Narendra Nurcahya, Kamis (21/5/2015), mengungkapkan hal itu sembari mengantar "PR" ke Sungai Kalentengah yang mengalami kerusakan. Menurut dia, proyek normalisasi ini baru berjalan sekitar 1,5 kilometer, tetapi dihentikan warga karena ternyata pelaksanaannya merusak lingkungan.
"Kami tidak mengira normalisasi ini akan menggunakan alat berat sejenis ponton yang lebarnya 6 meter, sedangkan salurannya hanya 3 meter," ucapnya yang merupakan aktivis lingkungan.
Akibatnya, Nurcahya memperkirakan 120.000 batang pohon mangrove rusak parah terlindas alat berat. Padahal, sebagian besar tanaman tersebut sudah berusia puluhan tahun lantaran ditanam sejak 1968.
Selain itu, ratusan ribu batang pohon mangrove lainnya terancam rusak jika pihak BBWS memaksakan penggunaan alat berat ponton selebar 6 meter tersebut. Pasalnya, proyek tersebut baru berjalan 1,5 km, sedangkan total proyek sekitar 6 km.
Menurut Nurcahya, pihak BBWS mengulang kesalahannya saat menormalisasi sungai di Desa Pabean Ilir Kecamatan Pasekan pada 2013 lalu. Saat itu, sekitar 1 juta batang pohon rusak, tetapi penanaman kembali hanya sekitar 200.000 batang. "Karena pemulihan diserahkan kepda pihak ketiga atau oknum. Kenapa tidak diserahkan kepada dinas/instansi terkait," ucapnya.
Perwakilan masyarakat petani tambak yang terkena dampak, Suteja, yang juga Sekretaris Desa Totoran, membenarkan adanya perusakan oleh pihak pelaksana proyek normalisasi Sungai Kalentengah. Dia menjelaskan, proyek yang dimulai dari muara itu melewati tanah milik Perum Perhutani dan warga.
"Ada empat kelompok masyarakat yang menanam mangrove di situ. Mangrove milik Perum Perhutani juga rusak akibat alat berat itu, tetapi tidak separah milik warga," ucapnya.
Bahkan, kata Suteja, bukan hanya mangrove di sisi kiri-kanan saluran yang rusak, empang-empang dan ikan di dalamnya juga terkena dampak negatif normalisasi itu. Disebutkan, dari empat empang warga yang rusak, dua empang jebol sehingga ikan-ikannya terbawa arus. "Untung, segera dihentikan warga saat itu. Kalau tidak, ikan-ikan di dua empang lainnya bisa hilang juga," ujarnya.
Suteja mengaku mengapresiasi niat baik BBWS yang hendak menormalisasi saluran tersebut, tetapi hendaknya ada koordinasi dengan warga sekitar terlebih dahulu. Pasalnya, sejak proyek normalisasi ini dimulai dua pekan lalu, tidak ada koordinasi sama sekali dengan warga.
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indramayu Munzaki menyesalkan pihak BBWS yang membuat kesalahan yang sama seperti pada tahun-tahun sebelumnya. "BBWS kan instansi pemerintah. Mereka seharusnya tahu bahwa di daerah tersebut ada mangrove," ujarnya.
Akibat normalisasi saluran ini, kata Munzaki, bukan hanya kerusakan ribuan mangrove dewasa, tetapi juga beberapa empang dan tanggul, puluhan pintu air, dan 12 jembatan bambu. Sementara ini, dia memperkirakan kerusakan mencapai Rp 400 juta.
Berdasarkan pengakuan pihak BBWS, ungkap Munzaki, proyek itu sepanjang 4,18 km. Kemudian, proyek dihentikan warga ketika pekerjaan baru mencapai 500 meter. "Namun, kami akan melakukan survei ke lapangan lagi untuk memastikan dan menghitung besaran kerusakan," katanya.
- See more at: http://humas.polri.go.id/berita/Pages/Proyek-Normalisasi-Sungai-Kalentengah-Merusak-120.000---Pohon---Mangrove----.aspx#sthash.pbPNEAtO.dpuf

Proyek Normalisasi Sungai Kalentengah Merusak 120.000 Pohon Mangrove

POLDA JAWA BARAT, Monday, 25 May 15 11:49 | Dilihat sebanyak: 4 | 0 Komentar
 0  0
 
 0
Proyek Normalisasi Merusak 120.000 Batang Mangrove
ASEP BUDIMAN/PRLM
NURCAHYA, aktivis lingkungan, menunjukkan kerusakan pohon mangrove yang terdampak normalisasi saluran proyek Balai Besar Saluran Sungai di Desa Totoran, Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu, Kamis (21/5/2015). Sekitar 120.000 batang pohon mangrove rusak, sedangkan ratusan ribu lainnya terancam.*
INDRAMAYU, (PRLM).- Diperkirakan 120.000 batang pohon mangrove rusak oleh proyek normalisasi Sungai Kalentengah di Desa Totoran, Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu, Kamis (21/5/2015). Sementara ratusan ribu batang pohon mangrove lainnya terancam rusak jika pihak Balai Besar Wilayah Sungai memaksakan normalisasi menggunakan alat berat.
Ketua Himpunan Pemuda Pelopor Pembangunan Indramayu, Narendra Nurcahya, Kamis (21/5/2015), mengungkapkan hal itu sembari mengantar "PR" ke Sungai Kalentengah yang mengalami kerusakan. Menurut dia, proyek normalisasi ini baru berjalan sekitar 1,5 kilometer, tetapi dihentikan warga karena ternyata pelaksanaannya merusak lingkungan.
"Kami tidak mengira normalisasi ini akan menggunakan alat berat sejenis ponton yang lebarnya 6 meter, sedangkan salurannya hanya 3 meter," ucapnya yang merupakan aktivis lingkungan.
Akibatnya, Nurcahya memperkirakan 120.000 batang pohon mangrove rusak parah terlindas alat berat. Padahal, sebagian besar tanaman tersebut sudah berusia puluhan tahun lantaran ditanam sejak 1968.
Selain itu, ratusan ribu batang pohon mangrove lainnya terancam rusak jika pihak BBWS memaksakan penggunaan alat berat ponton selebar 6 meter tersebut. Pasalnya, proyek tersebut baru berjalan 1,5 km, sedangkan total proyek sekitar 6 km.
Menurut Nurcahya, pihak BBWS mengulang kesalahannya saat menormalisasi sungai di Desa Pabean Ilir Kecamatan Pasekan pada 2013 lalu. Saat itu, sekitar 1 juta batang pohon rusak, tetapi penanaman kembali hanya sekitar 200.000 batang. "Karena pemulihan diserahkan kepda pihak ketiga atau oknum. Kenapa tidak diserahkan kepada dinas/instansi terkait," ucapnya.
Perwakilan masyarakat petani tambak yang terkena dampak, Suteja, yang juga Sekretaris Desa Totoran, membenarkan adanya perusakan oleh pihak pelaksana proyek normalisasi Sungai Kalentengah. Dia menjelaskan, proyek yang dimulai dari muara itu melewati tanah milik Perum Perhutani dan warga.
"Ada empat kelompok masyarakat yang menanam mangrove di situ. Mangrove milik Perum Perhutani juga rusak akibat alat berat itu, tetapi tidak separah milik warga," ucapnya.
Bahkan, kata Suteja, bukan hanya mangrove di sisi kiri-kanan saluran yang rusak, empang-empang dan ikan di dalamnya juga terkena dampak negatif normalisasi itu. Disebutkan, dari empat empang warga yang rusak, dua empang jebol sehingga ikan-ikannya terbawa arus. "Untung, segera dihentikan warga saat itu. Kalau tidak, ikan-ikan di dua empang lainnya bisa hilang juga," ujarnya.
Suteja mengaku mengapresiasi niat baik BBWS yang hendak menormalisasi saluran tersebut, tetapi hendaknya ada koordinasi dengan warga sekitar terlebih dahulu. Pasalnya, sejak proyek normalisasi ini dimulai dua pekan lalu, tidak ada koordinasi sama sekali dengan warga.
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indramayu Munzaki menyesalkan pihak BBWS yang membuat kesalahan yang sama seperti pada tahun-tahun sebelumnya. "BBWS kan instansi pemerintah. Mereka seharusnya tahu bahwa di daerah tersebut ada mangrove," ujarnya.
Akibat normalisasi saluran ini, kata Munzaki, bukan hanya kerusakan ribuan mangrove dewasa, tetapi juga beberapa empang dan tanggul, puluhan pintu air, dan 12 jembatan bambu. Sementara ini, dia memperkirakan kerusakan mencapai Rp 400 juta.
Berdasarkan pengakuan pihak BBWS, ungkap Munzaki, proyek itu sepanjang 4,18 km. Kemudian, proyek dihentikan warga ketika pekerjaan baru mencapai 500 meter. "Namun, kami akan melakukan survei ke lapangan lagi untuk memastikan dan menghitung besaran kerusakan," katanya.
- See more at: http://humas.polri.go.id/berita/Pages/Proyek-Normalisasi-Sungai-Kalentengah-Merusak-120.000---Pohon---Mangrove----.aspx#sthash.pbPNEAtO.dpuf

Ups…! Perusahaan Perambah Hutan Mangrove Lapor Polisi

on



Merambah hutan di Dusun IV, Desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, membuat pengusaha PT MAR mengalami kerugian. Kawanan perampok menjarah onderdil paling vital ekskavator mereka, hingga berujung lumpuh tak bisa dioperasikan.

Kasus pencurian itu diketahui dari masuknya laporan pengaduan pihak PT MAR ke Polsek Pangkalan Susu. Informasi dihimpun, kejadian yang merugikan perusahaan perkebunan ini mencapai ratusan juta tersebut,terjadi pada Sabtu (23/5) sekitar pukul 02.:00Wib.

Aksi dilakukan kawanan tersebut, ketika petugas jaga sebanyak dua orang, Suhendra (20) dan Eko Hamdani (25) warga Dusun IV, tidak berada di tempat. Aksi pencurian itu, spontan mengagetkan ketiga petugas jaga.

Satu unit mototswi, radiator,oil tuller radiator dan dua unit batrey 24 volt dan dinamo start, dinamo cash, panel elektrik, turbo, ejos, kipas radiator, sudah hilang dicuri orang yang tidak bertanggungjawab.

Atas kejadian itu, petugas jaga melalui pihak pengusaha PT MAR langsung mengontak petugas dan membawa kedua penjaganya yakni, Suhendra dan Eko Hamdani untuk dimintai keterangan atas peristiwa ini.

Menurut Kapolsek Pangkalansusu, IPTU Henri DB Tobing melalui Kanitres, IPDA D Situmorang menyebutkan, barang-barang yang diambil dari alat berat berupa beco tersebut merupakan bagian-bagian paling vital.”Kemungkinan pelakunya mengetahui akan seluk-beluk alat berat. Karena yang diambil adalah bagian yang sangat vital,” kata D Situmorang kepada wartawan di ruang kerjanya.

Sejauh ini belum diketahui perihal pelaku maupun kerugian yang diderita akibat aksi pencurian tersebut. Hanya yang pasti, backhoe milik PT MAR lumpuh total karena hilangnya bagian-bagian penting pada alat berat tersebut.

Infomasi terpisah, selama ini warga masyarakat Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, sangat sengsara dan resah dengan aktifitas PT MAR ( Makmur Abadi Raya). Pasalnya, perusahaan raksasa ini kembali melancarkan aktivitasnya melakukan kegiatan di kawasan hutan mangrove tersebut. “Kita nggak percaya begitu saja alat berat mereka dirampok. Jangan-jangan ini nantinya hanya jadi alat untuk mengkriminalisasi warga,” ketus sejumlah nelayan Pulau Sembilan.
Salah satu areal yang dirambah PT MAR hingga terjadi abrasi bibir pantaiSalah satu areal yang dirambah PT MAR hingga terjadi abrasi bibir pantai

Keterangan dihimpun, sebelumnya pihak PT MAR sudah menghentikan aktifitasnya di kawasan terlarang tersebut. Namun belakangan, kabarnya mereka nekat beraksi lagi pasca mengantongi surat kesepakatan bersama Pemkab Langkat degan Dandim 0203 Langkat tentang, Kerjasama di bidang ketahanan pangan dalam mewujudkan peningkatan produksi dan daya saing.

Menurut warga di sana, surat penolakan permohonan izin lokasi No: 593.44-834/PEM/2013 tanggal 21 Maret 2013, dan surat peringatan No:593-44-144/Pem/2014 tanggal 9 Januari 2014 yang dilayangkan Pemkab Langkat kepada PT MAR sama sekali tidak digubris.

” Dalam hal ini kita menuntut ketegasan Bupati Langkat serta DANDIM Langkat. Intinya Bupati dan DANDIM Langkat jangan mau dibodohi oleh pihak PT MAR. Jika memang tidak mampu, katakan saja. Biar masyarakat yang bertindak. Karena sikap diam hanya akan semakin menambah derita kami para nelayan,” ujar Kus, mewakili warga nelayan Pulau Sembilan dengan nada kesal.

Seperti diketahui, berdasarkan peta pola ruang RTRW Kab Langkat, lokasi yang ditinjau berada pada kawasan lindung dengan peruntukan kawasan perlindungan setempat (Sempadan Pantai), yang meliputi minimal 200 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Sementara kenyataan di lapangan, aktifitas perusahaan ini hanya 10-50 meter dari bibir pantai. Hal ini melanggar UU RI No 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir pantai dan Pulau-pulau kecil, serta Perda Kab Langkat No 31 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir di pasal 12 yang mengatur tentang kawasan konservasi.

POS METRO MEDAN

Tempat Makan di Hutan Mangrove

on

KOMPAS/HERU SRI KUMORO Keberadaan mangrove rimbun dan tinggi dengan batang kokoh di Kuala Langsa, Kota Langsa, Aceh, dimanfaatkan pedagang sebagai tempat makan, Minggu (24/5). Selain menjadi tempat rekreasi yang diminati warga, rimbunan mangrove juga memiliki peran ”paru-paru” kota.

Pemerintah Kepulauan Tanakeke Terbitkan Perdes Lindungi Mangrove

on

Ratusan hektar tanaman mangrove mengelilingi Kepulauan Tanakeke, yang menjaga pulau dari hantaman ombak, khusus di musim angin kencang. Untuk penyelamatan mangrove dari penebangan liar, warga dan pemerintah desa menginisiasi Peraturan Desa tentang Pengelolaan Mangrove. Foto: Wahyu Chandra

MAKASSAR - Pemerintahan Desa di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), telah menerbitkan Peraturan Desa (Perdes) untuk melindungi hutan mangrove.

"Perdes itu memberikan rambu-rambu bagi masyarakat setempat maupun dari luar, agar tidak mengambil pohon mangrove atau pun merusaknya," kata Ketua Pemerintahan Desa Tajuddin Daeng Ngirang di Pulau Tanakeke, Takalar menanggapi upaya yang dilakukan untuk melindungi hutan mangrove, Makassar, Senin (25/5).

Dia mengatakan, jika ada yang yang melanggar dengan mengambil kayu mangrove misalnya, untuk satu batang mangrove diwajibkan menanam pohon mangrove beberapa kali lipatnya. Selain itu, lanjut dia, juga dikenakan sanksi hukum dan administrasi.

Hal itu dibenarkan salah seorang warga di Desa Tompo Tana, Kecamatan Mappasunggu, Kabupaten Takalar, Sulsel, Rustam.

Menurutnya, sejak sepuluh tahun terakhir, tidak ada warga Pulau Tanakeke yang mengambil mangrove, tetapi justru makin yang banyak menanam mangrove.

"Hal ini karena adanya pendampingan dan sosialisasi dari Yayasan Konservasi Laut (YKL) bahwa hutan mangrove sangat penting untuk menangkal abrasi, juga menjaga ekosistem di sekitar pesisir," kata lelaki yang aktif dalam kegiatan desa.

Menurutnya, hutan mangrove yang dimiliki Pulau Tanakeke awalnya hanya sekitar beberapa hektare saja, namun kini sudah mencapai puluhan hektare.

Bahkan hutan mangrove di Pulau Tanakeke tercatat sebagai hutan mangrove terluas di Sulsel. Hal itu karena didukung oleh kesadaran masyarakat setempat untuk menjaga hutan mangrove, termasuk mengembangkannya.



ANTARA

Menyemai Kehidupan dari Mangrove

on Thursday, May 21, 2015


TRP



Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, merupakan daerah pesisir. Panjang garis pantainya mencapai 120 kilometer dan seluruhnya relatif rawan akan abrasi. Sudah 20 tahun terakhir, pantai di Mempawah hilang sekitar 1,5 kilometer. Kondisi itu menggerakkan sukarelawan dari berbagai kelompok masyarakat untuk menanam mangrove demi menyelamatkan pantai dari abrasi.

Minggu (22/3) pagi itu, ratusan anggota klub motor dan mobil berkumpul di depan Kantor Desa Sengkubang, Kecamatan Mempawah Hilir, Mempawah. Mereka adalah sukarelawan yang selalu aktif menanam mangrove atau bakau di garis pantai Mempawah. Mereka sebagian besar berasal dari Kota Pontianak.

Mereka ada yang sudah datang sehari sebelumnya. Ada pula yang berangkat dini hari menempuh perjalanan sekitar 67 kilometer dari Pontianak, ibu kota Kalbar. Jarak jauh itu tak menghalangi semangat mereka untuk berkontribusi terhadap lingkungan yang sudah rusak.

Sebelum menuju lokasi penanaman, mereka memulai meneriakkan yel-yel ”Sahabat... Alam.... Alam.... Sahabat. Kita... Sahabat Alam”. Mereka pun bergegas menuju lokasi penanaman dengan membawa bibit mangrove jenis akar jangkar (Rhizophora). Mangrove jenis akar jangkar dipilih karena cocok untuk menangkal abrasi di pantai. Akarnya kuat dan mampu menahan terjangan ombak.

Sebelum menanam, anggota dari Mempawah Mangrove Conservation (MMC), organisasi yang berinisiatif menyelamatkan daerah pesisir, memberi pengarahan terlebih dahulu kepada sukarelawan tentang cara menanam mangrove yang benar sehingga bisa tumbuh dengan baik.

Ratusan anggota klub motor dan mobil yang biasanya berjibaku di jalanan memacu kendaraan mereka, kini berjibaku di lumpur. Bibit mangrove sebanyak 1.500 batang pun satu per satu ditanam di tengah teriknya matahari.

”Kondisi alam di Kalbar sudah memprihatinkan, baik hutan maupun pantai. Itulah yang membuat kami tergerak untuk berkontribusi menyelamatkan lingkungan,” ujar Sony Aprizal, Ketua Ertiga Club Indonesia, klub mobil Pontianak.

Hendi Some, Ketua Khatulistiwa Motor Bebek 70, menuturkan, selama ini klub motor hanya membuat program penjelajahan dari suatu wilayah ke wilayah lain. Terkadang identik dengan kejahatan jalanan meski tidak semuanya seperti itu. ”Kami ingin melakukan hal yang lebih bermanfaat bagi sesama dan lingkungan. Ikut menanam mangrove salah satu yang bisa kami lakukan. Sudah tiga tahun kami berkontribusi dalam penanaman mangrove di Mempawah,” ujar Hendi.


Ditebang

Raja Fajar Azansyah, Ketua MMC, menuturkan, hutan mangrove di Mempawah rusak karena ditebangi masyarakat sekitar untuk dijadikan kayu bakar. Masyarakat menebang karena tidak tahu betapa pentingnya fungsi hutan bakau untuk menyangga daerah pantai dari abrasi.
Bahkan, abrasi yang dahsyat kini memisahkan sebagian wilayah Desa Penibung, desa lainnya di Mempawah sejauh 100 meter lebih dari desa induknya. Bagian wilayah desa itu lalu seperti pulau tersendiri yang di kelilingi perairan. Abrasi yang terjadi nyaris membelah jalan utama yang menghubungkan Kota Pontianak dengan Kota Singkawang.

Untuk itulah, Fajar dan beberapa rekannya di Mempawah berinisiatif menyelamatkan pantai dengan menanam mangrove. ”Kami mulai menanam mangrove sejak 2011 di sepanjang pantai Mempawah. Total saat ini sudah sekitar 10.000 bibit mangrove yang kami tanam bersama para sukarelawan,” paparnya.
Para anggota klub motor dan mobil merupakan sukarelawan yang setia dalam setiap penanaman mangrove, selain masyarakat yang tergabung dalam MMC. Ada pula pelajar dan mahasiswa dari sejumlah universitas di Kalbar.

Fajar menargetkan penanaman mangrove sebulan dua kali. Namun, terkadang saat ada bantuan keuangan atau bibit dari sejumlah pihak, bisa hingga enam kali penanaman. Seiring waktu, inisiatif dari masyarakat sekitar pun kian bertambah.

Selain Mempawah, Kabupaten Sambas juga merupakan kabupaten yang pantainya rawan abrasi. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kalbar, Kabupaten Sambas juga berpotensi rawan abrasi. Diperkirakan terdapat 3 lokasi potensi rawan abrasi pantai, yaitu pantai di Kecamatan Selakau, Pemangkat, dan Paloh.

Fajar mengakui, sulit untuk menjaga konsistensi masyarakat agar tetap menjaga kelestarian mangrove di pantai. Untuk itu, agar masyarakat memiliki motivasi menjaga keberlangsungan mangrove, muncul ide untuk mengolah buah mangrove agar bernilai ekonomis.

Pada pertengahan 2014, Fajar pun membentuk kelompok pengolahan dodol mangrove. Anggota kelompok itu terdiri atas ibu-ibu di sekitar pantai Mempawah. Jika ada produk hilirnya, ada kebutuhan bahan baku dari buah mangrove. Setelah ada kebutuhan terhadap buah mangrove, maka muncul usaha untuk menjaga dan menanam mangrove.

Pemasaran dodol mangrove kini mulai menembus pasar di Kalbar, antara lain dari Tangrang, Banten, dan Papua. ”Untuk pesanan dari Tangerang, kami masih bisa mengirim karena ongkos tidak mahal, tetapi Papua terhadang biaya mahal,” kata Suaidah, pembuat dodol.

Saat hari raya, pesanan meningkat hingga 60 kilogram (kg). Harga 1 kg dodol mangrove sekitar Rp 75.000. Satu kg buah mangrove setelah diolah bisa menghasilkan 3 kg dodol. Kelompok pembuat dodol mangrove pada salah satu desa di Mempawah, yaitu Desa Bakau Besar, menyisihkan hasil penjualan dodol. Dari harga Rp 3.000 per bungkus itu, Rp 1.000 disisihkan untuk konservasi mangrove. Uang itu digunakan untuk membeli bibit mangrove dan selebihnya menjadi pendapatan masyarakat.

Jadi langkah kecil sejumlah kelompok masyarakat patut diapresiasi karena menjaga wilayah dari terjangan gelombang. Langkah itu tidak hanya dengan menanam baku, tapi juga menjadikan mangrove sebagai sumber penghasilan warga. Perlindungan kawasan dari berbagai gangguan pun akan semakin ketat karena dipagari peraturan desa tentang pengelolaan daerah pesisir.


Oleh: Emanuel Edi Saputra
Sumber: Kompas | 20 Mei 2015

Sri Lanka Nyatakan Negara pertama Pelindung Mangrove

on


Sri Lanka mengumumkan dirinya telah menjadi negara pertama yang berjanji untuk melindungi semua mangrove di wilayah Srilanka, dalam skema perjanjian kerjasama senilai US $ 3.400.000, yang notabene merupakan gabungan inisiatif antara pemerintahan Srilanka, Organisasi Nirlaba Seacology dan LSM Sudeesa.

Proyek ini rencananya akan melindungi 21.782 hektar hutan mangrove milik negara yang ada selama lima tahun ke depan, termasuk di dalamnya kegiatan penanaman kembali 9.600 hektar mangrove yang telah ditebang, sebagian besar untuk memberikan ruang bagi tambak udang atau karena kerusakan selama perang saudara yang berakhir pada tahun 2009.

Skema ini akan dijalankan oleh 15.000 wanita, termasuk banyak janda perang saudara, dari masyarakat berpenghasilan rendah di sekitar kawasan hutan mangrove. Mereka akan menerima pelatihan kerja alternatif dan kredit mikro, masing-masing sekitar $ 100 sebagai modal awal mendirikan usaha kecil. Sebagai gantinya, mereka akan memantau mangrove, memastikan bahwa tidak ada yang memotong pohon-pohon dan memperingatkan pihak berwenang, sehingga dapat memberikan dukungan legislatif, kepada siapa pun yang melakukannya. Para wanita di proyek ini juga akan diharapkan untuk berhenti menggunakan pohon bakau sebagai kayu bakar, dan masing-masing akan diberikan kompor hemat bahan bakar dari tanah liat dan dilatih bagaimana mengurangi bahan bakar dengan menggunakan sumber-sumber alternatif seperti beras-sekam dan kayu jenis cepat tumbuh.

Bagi Srilanka, Mangrove menduduki peran amat penting dalam memberi makan beberapa komunitas termiskin Sri Lanka, di negara di mana setengah protein berasal dari ikan di laguna pesisir yang ditopang oleh bakau.

Anuradha Wickramasinghe, Ketua Sudeesa, menyatakan bahwa proyek tersebut "membantu beberapa warga termiskin Sri Lanka menemukan penghidupan yang berkelanjutan", dan akan membantu untuk secara signifikan meningkatkan hasil perikanan yang saat ini rendah. Ia percaya bahwa keterlibatan perempuan sangat penting untuk skema karena mereka mengendalikan keuangan keluarga mereka: "Kami telah menemukan bahwa jika Anda ingin sebuah proyek sukses, peran wanita dalam masyarakat sangat vital dalam menjalankannya", katanya.

Jika berhasil, Direktur Eksekutif Seacology, Duane Silverstein percaya model untuk perlindungan hutan bakau dapat ditiru dalam konservasi dan restorasi ekosistem penting yang mendukung masyarakat berpenghasilan rendah di seluruh dunia.

Sumber
Seacology (2015, May 12) Seacology launches nationwide mangrove project in Sri Lanka
BBC (2015, May 12) Sri Lanka first nation to protect all mangrove forests
New Scientist (2015, May 12) Sri Lanka first nation to promise full protection of mangroves

Perusakan Mangrove Indramayu

on

Perangkat desa menunjukan mangrove yang rusak akibat ditebang oknum tadak bertanggung jawab di Desa Totoran, Kecamatan Pasekan, Indramayu, Jawa Barat, Rabu (20/5). Penebangan liar tersebut merusak sedikitnya 2 kilometer kawasan mangrove di pesisir daerah itu. ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/Rei/Spt/15.

Setelah Pohon Mangrove tunggal di Wellington Point dibabat

on

Seorang Photographer Australia, mulai mengumpulkan berbagai gambar Fotogenik dari pohon bakau tunggal di Wellington Point, yang kedapatan dirusak oleh orang tak dikenal. Upaya tersebut dilakukan sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasa mangrove tunggal Wellington Point, Titik timur dari Brisbane, sekaligus sebagai upaya mendokumentasikan perubahan pemandangan dan lingkungan di lokasi tersebut.



Bakau ternama yang berlokasi di teluk Waterloo tersebut baru-baru ini ditemukan dalam keadaan ditebang, sehingga memunculkan kekecawaan warga, lantaran telah terjadi perubahan tata letak yang signifikan. Selama ini, lokasi tersebut sering dikunjungi oleh fotografer amatir dan profesional, yang mencoba untuk menangkap gambar terbaik dari balik lensa mereka masing-masing.

Fotografer Landscape, Kane Gledhill pun berinisiatif menciptakan sebuah galeri online guna mengenang dan sekaligus mendokumentasikan sejarah pohon terkenal tersebut. Kawasan itu sering digunakan sebagai tempat pelatihan fotografi dan Gledhill meminta fotografer dan masyarakat untuk menyumbangkan gambar favorit mereka dari pohon tersebut untuk dimasukkan dalam galeri.
"Hal ini telah menjadi sebuah halaman tribute untuk menjaga kenangan hidup ... itu adalah bagian dari sejarah nyata," tukas Gledhil kepada laman ABC.
"Kita bisa melihat perubahan landscape dari waktu ke waktu serta ekosistem, sehingga merupakan cara untuk menjual pesan konservasi dan untuk menjaga orang-orang fokus pada betapa pentingnya ini eko-sistem kecil. "Fotografer selalu memiliki kemampuan untuk menjual ide dan pesan dalam menginspirasi orang."

Gledhill sendiri telah memfoto mangrove tersebut sejak tahun 2008.

"Itu adalah pohon besar dan di lokasi yang aman di mana seorang fotografer pemula bisa mengambil foto dari pohon tunggal di pantai, itu objek yang besar."

Seorang teman memberitahu Gledhill tentang penebangan bakau ini sekitar tiga minggu yang lalu.

"Saya datang dan melihat-lihat sendiri bahwa mangrove itu telah ditebang," katanya.

"Bakau itu ternyata memang telah dipotong tapi tunggul pohon masih utuh, dan dari bukti yang ada dapat diasumsikan bahwa bakau tersebut telah dirusak."

Dewan Kota Redland sedang menyelidiki bagaimana pohon itu ditebang.
 


 Gambar lebih banyak lagi bisa anda lihat di galeri Gledhill.

Rusak Hutan Mangrove Demi Rekan Bisnis

on Wednesday, May 20, 2015

Walikota Beri Izin Pembangunan di Lateri




AMBON, SPEKTRUM – Kebijakan Walikota Ambon, Richard Louhenapessy yang memberikan ijin pembangunan di kawasan hutan mangrove di Lateri Tiga, Mata Passo, membuktikan Walikota tidak berpihak pada kelestarian lingkungan hidup.

Hutan lindung dan ruang hijau dalam Kota Ambon makin terhimpit. Dari waktu ke waktu, ijin yang dikeluarkan Walikota kepada para pengusaha semakin menimbulkan kecemasan.
Hutan mangrove yang melambungkan Dominggus Sinanu sebagai penerima penghargaan Kalpataru dari pemerintah pusat, kini makin merana. Bagaimana tidak? Saat ini di lokasi tersebut telah ditimbun material untuk pembangunan tempat usaha.

Sumber Spektrum menyebtukan, kegiatan penimbunan di lokasi tersebut diperuntukan bagi pembangunan sebuah restaurant mewah. Restauran yang akan dibangun itu, milik seorang kolega bisnis Walikota Ambon Richard Louhenapessy yang selama ini berkiprah di Papua.

Versi lain menyebutkan di lokasi hutan mangrove tersebut akan dibangun sebuah hotel mewah. “Pemiliknya berasal dari Papua, dan ijin sudah dikeluarkan oleh Walikota,” ungkap sumber Spektrum.
Saat ini proses penimbunan di lokasi mulai mendapat perlawanan dari warga sekitar. Sebab, di awal-awal proses, warga diyakinkan akan dibangun sebuah restaurant mewah dengan bangunan apung yang ramah lingkungan.

Namun belakangan kondisi di lapangan justru tidak seperti yang dibayangkan. Material didatangkan menggunakan truk ke lokasi dan semakin hari kegiatan pengeringan dengan menimbun jelas terlihat.
Bahkan setelah ditimbun, lokasi itu mulai ditutup dengan senk dan sangat mencurigakan. Tidak ada tanda-tanda pembangunan rumah panggung.

Pihak Kantor Penanggulangan Dampak Lingkungan Kota Ambon, konon tak berkutik. Ijin membangun sudah terlanjur dikeluarkan oleh Walikota. Belum lagi, ijin tersebut ternyata untuk kolega bisnis dari orang pertama di Kota Ambon.

“Silakan dicek ke ibu Lucia Izaac sebagai Kepala Kantor Penanggulangan Dampak Lingkungan Kota Ambon. Dia tidak bisa berbuat apa-apa dan melawan perintah Walikota,” kata sumber tersebut.
Apalagi, sejak dikeluarkan ijin oleh Walikota Ambon, Kepala Kantor Penanggulangan Dampak Lingkungan Kota Ambon Lucia Izaac kini sibuk mencari para pakar lingkungan untuk merekomendasikan, bahwa di lokasi hutan mangrove itu jika dibangun tidak akan berdampak pada kelestarian.

Sayang sejumlah pakar lingkungan yang dimintai rekomendasi menolak memberikan rekomendasi Amdal yang mendukung kegiatan pengeringan dan penimbunan yang sedang dilakukan.

Karena itu, Inaya Polhaupessy salah satu pemerhati lingkungan menyesalkan kebijakan Walikota Ambon itu. Menurutnya, penghargaan Adipura yang diterima Pemkot Ambon, bertolak belakang dengan keramahan pemimpin terhadap lingkungan sekitar yang perlu dilestarikan.

“Saya kira dibalik penghargaan bergengsi itu, pembangunan fisik belakangan ini, justru merusak lingkungan. Visi pembangunan Walikota Ambon, Richard Louhenapessy patut dipertanyakan,” tegasnya kepada Spektrum.

Penghargaan Adipura, kata jebolan Institut Pertnian Bogor (IPB) ini,  seolah hanya kebanggaan semu. Sebab sejumlah kawasan strategis dalam Kota Ambon mulai tergerus pembangunan fisik yang tidak ramah lingkungan.

Daerah perbukitan dan pesisir pantai yang pantas dilindungi, belakangan dihajar pembangunan fisik. Perbukitan Gunung Nona, Kayu Tiga, Kusu Kusu, Mahia, Lata, Lateri, Halong dan sekitarnya  yang masuk kawasan hutan lindung perlahan tapi pasti mulai rusak.

“Walikota sebaiknya menghentikan ambisi membangun kota dengan memberikan ijin pembangunan yang sangat tidak bersahabat dengan lingkungan,” tegas pemerhati lingkungan Inaya Polhaupessy kepada Spektrum pekan kemarin.

Keberhasilan meraih Adipura, kata Polhaupessy, harus diakui hanya sebatas pada kebersihan dalam kota, tetapi daerah perbukitan dan pesisir sama sekali tidak mendapat perhatian.

“Perbukitan sepanjang Hative, Taeno saat ini mulai digusur untuk perumahan. Kondisi ini pada saatnya akan mendatangkan bahaya banjir dan longsor. Saya yakin cepat atau lambat akan mendatangkan masalah besar jika Pemkot tidak segera menghentikan pemberian ijin membangun,” ujarnya.

Baik perbukitan dan pesisir pantai mulai rusak. Pemkot memberikan ijin membangun perumahan tanpa memikirkan dampak kerusakan lingkungan.

Malah, sesal Polhaupessy, sebagian besar perbukitan yang dulunya sangat hijau kini digusur bagi
pembangunan perumahan mewah.

“Di dalam kota saja kita lihat pembangunan fisik terjadi dimana-mana dan hampir tidak pernah meninggalkan ruang hijau,” sesalnya.

 Senada dengan Polhaupessy, pemerhati lingkungan lainnya, La Empe, meminta pemkot Ambon segera menghentikan ijin membangun pada tempat-tempat yang patut dilestarikan.

“Pembangunan galangan kapal di Tawiri tetap berjalan dan sekarang ada ijin lagi di hutan mangrove. Jika tidak diingatkan, suatu saat Kota Ambon akan ditimpa bencana yang lebih besar lagi. Sangat disayangkan sikap Walikota yang hanya mengejar pembangunan fisik kota tetapi tiak mengindahkan kelentarian lingkungan hidup,” kata jebolan Fakultas Perikanan Unpaati ini. 


SPEKTRUM MALUKU

Prajurit PASMAR-1 Mengikuti Sosialisasi Teknik Penanaman Mangrove

on



Ekosistem mangrove merupakan komunitas tumbuhan pesisir yang memiliki manfaat sangat besar, antara lain sebagai daerah pemijahan jenis ikan tertentu, daerah asuhan ikan-ikan ekonomis penting, penyedia nutrien dan zat hara penting, serta fungsi fisik yang sangat besar seperti menjaga daerah pesisir dari abrasi dan gelombang besar dari laut.
Secara umum, kondisi mangrove di Indonesia sudah dalam tataran yang memprihatinkan, kondisi ini sebagian besar diakibatkan oleh penebangan mangrove untuk area pertambakan dan keperluan lainnya. Kerusakan-kerusakan ini pada dasarnya disebabkan ketidakpedulian sebagian masyarakat akan pentingnya ekosistem mangrove demi kelangsungan sumberdaya daerah pesisir. Pada umumnya mereka lebih mementingkan keuntungan sesaat tanpa memikirkan kelangsungan kelestarian alam.
Atas dasar tersebut diatas, maka dilakukanlah upaya penanaman untuk menjaga kelestarian dan menumbuh kembangkan rasa kepedulian masyarakat serta generasi muda tentang arti pentingnya ekosistem mangrove. Usaha penanaman ini akan dilakukan oleh prajurit Pasmar-1 Korps Marinir TNI Angkatan Laut yang bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Sidoarjo serta seluruh elemen masyarakat lainnya, sebelum melaksanakan penanaman Mangrove terlebih dahulu diadakan sosialisasi teknik penanaman Mangrove oleh Direktur Politeknik Kelautan dan Perikanan Sidoarjo Dr. Endang Suhaedy, APi, MM, MSi, di Aula Politeknik Kelautan dan Perikanan Sidoarjo, Selasa (190515).
Pada sosialisasi teknik penanaman Mangrove tersebut dihadiri oleh Komandan Pasmar-1 Brigadir Jenderal TNI (Mar) Kasirun Situmorang, Asintel Danpasmar-1 Letkol Marinir Supriyono, S.E dan Asrena Danpasmar-1 Letkol Marinir M. Hasintongan Silalahi, juga diikuti oleh para prajurit Korps Marinir dari Pasmar-1, TNI AD, Kepolisian, Instansi Pemerintah Daerah Sidoarjo,  LSM, Taruna Politeknik Kelautan dan Perikanan Sidoarjo, Siswa-Siswi SMU, Karang Taruna setempat dan elemen masyarakat lainnya.
Sebelum dilaksanakannya sosialisasi tersebut, Direktur Politeknik Kelautan dan Perikanan Sidoarjo menyampaikan selamat datang kepada para peserta yang mengikuti sosialisasi ini dan berharap kepada seluruh peserta agar menyimak apa yang disampaikan tentang fungsi dan teknik penanaman mangrove tersebut.
Sementara itu, Komandan Pasmar-1 dalam sambutannya menyampaikan ucapan terimakasih serta apresiasi yang tinggi kepada Direktur Politeknik Kelautan dan Perikanan Sidoarjo yang telah berkenan memberikan pembekalan serta sosialisasi tentang fungsi dan teknik penanaman Mangrove kepada seluruh elemen masyarakat yang turut hadir khususnya kepada para prajurit Pasmar-1.
Setelah selesai sambutan dilanjutkan dengan pemberian cinderamata dari kedua belah pihak yaitu dari Politeknik Kelautan dan Perikanan Sidoarjo dan Pasmar-1 dan dilanjutkan dengan pembekalan tentang sosialisasi teknik penanaman dan pemeliharaan Mangrove yang disampaikan oleh Direktur Politeknik Kelautan dan Perikanan Sidoarjo Dr. Endang Suhaedy, APi, MM, MSi dan bapak Dr. Bambang Suprakto serta kegiatan diakhiri dengan sesi tanya jawab dan foto bersama.
(Dispen Kormar)

Tanamkan Cinta Lingkungan lewat Lomba Mewarnai

on

PEKALONGAN – Sebanyak 41 siswa taman kanak-kanak (TK) dan 29 sekolah dasar (SD) mengikuti Lomba Mewarnai Gambar Mangrove tingkat TK dan SD di Pusat Informasi Mangrove, Kelurahan Kandang Panjang, Kecamatan Pekalongan Utara, Selasa (19/5).

Melalui lomba ini, penyelenggara ingin menanamkan kecintaan dan kepedulian terhadap lingkungan, terutama terhadap mangrove kepada anakanak sejak dini. Lomba ini diselenggarakan Dinas Peternakan, Pertanian dan Kelautan (DPPK) dan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Muara Rejeki dalam rangka mendukung pengelolaan mangrove yang berkelanjutan.

’’Kami ingin menumbuhkan sedini mungkin kecintaan dan kepedulian anak-anak terhadap lingkungan, khususnya tanaman mangrove sebagai salah satu upaya adaptasi terhadap dampak perubahan iklim,’’ kata Kasi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Bidang Kelautan, DPPK Kota Pekalongan, Sri Yulianti.

Kawasan Mangrove Berkurang

Dalam lomba tersebut, penyelenggara telah menyiapkan beberapa gambar tanaman mangrove. Anak-anak dengan kreativitasnya kemudian mewarnai gambar mangrove tersebut dengan krayon. Untuk menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan dalam diri anak-anak, cara yang dipilih memang harus menyenangkan. Salah satunya melalui lomba mewarnai gambar.

Harapannya, kelak ketika mereka dewasa akan menjadi generasi yang mencintai dan peduli terhadap lingkungan, khususnya mangrove. Sebab ekosistem mangrove sangat penting dalam upaya meningkatkan ketahanan wilayah pesisir terhadap dampak perubahan iklim. Aniessa Delima Sari, Manajer Program Jejaring Ketahanan Kota-Kota Asia terhadap Perubahan Iklim atau Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN), Mercy Corps Indonesia, mengatakan, makin berkurangnya kawasan hutan mangrove di sepanjang pesisir Kota Pekalongan telah menyebabkan laju abrasi semakin luas dari tahun ke tahun. Menurut dia, dalam kurun waktu 40 tahun, daratan di Kota Pekalongan tergerus abrasi seluas 258,6 hektare (ha) atau rata-rata 2,2 hektare per tahun. Pada 2008, luasan abrasi di Kota Pekalongan telah 400 hektare.


SUARA MERDEKA

Kendari Bangun Kawasan Tracking Hutan Mangrove Di Pulau Bungkutoko

on Tuesday, May 19, 2015


KENDARI - Pemerintah Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, akan membangun kawasan Tracking Mangrove di Pulau Bungkutoko.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Kendari Agus Salim Safrullah mengatakan untuk tahap awal, lahan pembangunan kawasan ekowisata alam tracking Mangrove Bungkutoko seluas kurang lebih dua hektare.
"Lokasi ekowisata alam Tracking Mangrove berdekatan dengan Pelabuhan Kontainer Bungkutoko," katanya, Selasa (19/5/2015).
Dia menjelaskan, anggaran pembangunan kawasan ekowisata tersebut bersumber dari pemerintah pusat dengan total dana kurang lebih Rp1,5 miliar. Tracking mangrove ini dibangun dengan tujuan untuk pendidikan, penelitian dan tujuan wisata darat dengan cara membangun beberapa fasilitas pendukung.
Pembangunan kawasan ekowisata tracking mangrove Bungkutoko tersebut juga sebagai upaya pelestarian mangrove di kota itu. "Kawasan ini dibangun dengan anggaran satu tahun. Kawasan ini akan tuntas tahun 2016," katanya.
BISNIS SULAWESI

Pengrusakan Mangrove Kasat Mata

on

MEDAN -DPRDSU menilai, komitmen pemerintah untuk  menyelamatkan alih fungsi hutan mangrove (bakau) sangat lemah. Padahal pengrusakan hutan mangrove dilakukan sudah  secara kasat mata, tidak lagi sembunyi-sembunyi.

Pernyataan tersebut disampaikan sejumlah personel Komisi B DPRDSU kepada Waspada di gedung dewan, Senin (18/5). Mereka adalah Donald Lumbanbatu, Aripay Tambunan, Guntur Manurung dan Ramses Simbolon.

Aripay mengatakan, alih fungsi hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit, tambak dan lainnya pasti perbuatan ilegal. Sebab, hal itu dilarang oleh peraturan. ‘’Karena itu yang namanya alih fungsi hutan bakau pasti perambahan. Itu berarti kejahatan,’’ katanya.

Ditambahkan anggota Komisi B lainnya Guntur Manurung, alih fungsi hutan mangrove di Sumut sudah sangat keterlaluan. Pengusaha terlihat dengan bebasnya menebangi tanamanan bakau dan menggantinya dengan kelapa sawit. Itu dilakukan secara terangterangan.

Komisi B, menurut Guntur, sejak beberapa waktu lalu sudah meninjau beberapa lokasi. Diantaranya di Deliserdang. ‘’Secara kasat mata jelas sekali terlihat kalau hutan bakau sudah beralih menjadi kebun kelapa sawit,” katanya.

Hal yang membuat masalah ini menjadi aneh, kata Guntur, adalah sikap pemerintah yang sepertinya tidak peduli terhadap perambahan itu. Sampai saat ini, tidak pernah terdengar ada perusahaan yang ditindak karena merambah hutan bakau. “Sementara alih fungsi terus dilakukan,” tambahnya.

Anggota dewan Ramses Simbolon menyebutkan, untuk masalah alih fungsi hutan mangrove ini, Komisi B DPRDSU juga sudah pernah mengeluarkan rekomendasi. Yakni, meminta pihak kepolisian untuk menindak pelaku perambah hutan bakau.

Diakuinya, tanggapan pemerintah terhadap alih fungsi hutan mangrove ini sangat rendah. Itu membuktikan bahwa keberpihakan pemerintah kepada nelayan tradisional dan lingkungan juga sangat rendah.
Padahal, menurut Ramses, instansi yang membidangi masalah lingkungan ini sudah sangat banyak. Tidak saja oleh Kementerian Kehutanan atau Dinas Kehutanan di tingkat provinsi dan kabupaten, tapi ada juga Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). “Bahkan khusus untuk mengawasi hutan mangrove, telah dibentuk UPT (Unit Pelaksana Teknis) di bawah  Kementerian Kehutanan,” katanya.

Harusnya, kata personel Komisi B DPRD Sumut, pemerintah tidak menutup mata lagi  terhadap pengrusakan hutan bakau yang terjadi. Perambahan hutan mangrove di Sumut sudah sangat mengkhawatirkan.

Disebutkan anggota dewan, nelayan tradisional yang hanya mengandalkan keberadaan hutan bakau sebagai tempat mencari nafkah, kini semakin terancam.
Paluh-paluh tempat mereka mencari ikan, kini sudah ditutup oleh pengusaha yang kemudian menjadikan lahan itu sebagai kebun kelapa sawit.

WASPADA

Karena Sampah, Dua Hektar Mangrove di Surabaya Rusak Parah

on Monday, May 18, 2015


Mangrove


REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pemerintah Kota melalui Dinas Pertanian menyampaikan sekitar dua hektare lahan mangrove di Surabaya mengalami rusak parah akibat terlilit sampah sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan pohon.

"Dua hektare luas lahan mangrove (hutan bakau) di Surabaya rusak parah karena sampah," ujar Kepala Dinas Pertanian Kota Surabaya Joestamadji di sela peninajuan di Ekowisata Mangrove Wonorejo, Surabaya, Sabtu (16/5).

Lahan mangrove di Surabaya mencapai 700 hektare yang terbentang dari Sungai Lamong hingga Sungai Gunung Anyar. Berdasarkan data yang dimilikinya, saat ini terdapat 200 hektare mangrove mengalami rusak, namun tidak parah sehingga tetap bisa tumbuh dan hijau kembali.

"Berbeda dengan dua hektare yang rusak parah dan ini sangat memprihatinkan. Kami minta warga sadar dengan tidak membuah sampah di sungai karena sangat berpengaruh terhadap tanaman maupun satwa sekitarnya," katanya.

Mengantisipasi masuknya sampah yang dibawa dari sungai ke lahan mangrove, pihaknya telah membuat jaring-jaring sebagai penahan agar tak sampai terkena batang maupun akar mangrove.

"Tapi kekuatan jaring tetap tidak bisa menahan semua sampah yang masuk. Jalan satu-satunya yakni dengan manual atau tenaga manusia," katanya.

Selain sampah, penyebab kerusakan mangrove lainnya juga ulat yang memakan daun-daun sehingga mengakibatkan kerusakan, meski tidak dikategorikan parah.

REPUBLIKA

Tanam Mangrove tanpa Pemberitahuan, Warga Tuding Perhutani Serobot Lahan Warga

on Friday, May 15, 2015




PAMEKASAN – Damanhuri, 50, pemilik tambak garam di Desa Majungan, Kecamatan Pademawu, Pamekasan, geram dengan tindakan Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madura. Penyebabnya, lahan miliknya ditanami pohon mangrove oleh orang yang diduga suruhan Perhutani. Bahkan Damanhuri menuding, Perhutani akan merampas 2 hektare tambak garam kepunyaannya.

Damanhuri mengaku kecewa karena pihak Perhutani melakukan tindakan tidak etis. Seharusnya, kata dia, Perhutani terlebih dahulu berkoordinasi dengan pemilik lahan sebelum menanam mangrove. Dia menyatakan membeli tambak garam itu kepada Khalifah pada 1993 lalu lengkap dengan sertifikatnya. Bahkan ketika dicek ke agraria, sertifikat tersebut asli.

”Saya sudah 23 tahun mengelola lahan itu. Tapi kenapa baru sekarang seolah-olah akan dipermasalahkan,” keluhnya, kemarin (13/5).

Menurut Damanhuri, jika lahan tersebut memang bermasalah di mata Perhutani, seharusnya ada penjelasan terlebih dahulu. Namun hingga kini belum ada keterangan dari Perhutani terkait penanaman pohon mangrove di lahan tersebut. Tindakan Perhutani yang sepihak tersebut dinilai menyalahi aturan.

”Silakan datang kepada saya secara baik-baik, lalu jelaskan mengenai status lahan tersebut jika memang bermasalah,” ungkapnya.

Damanhuri yakin dirinya adalah pemilik sah lahan yang jadi tambak garam tersebut. Sebab, pembelian lahan jelas dan sejak awal telah ada pengajuan ke kepala desa hingga dinaikkan ke agraria. ”Karena kalau beli hutan lindung, saya tidak mungkin mau. Saya beli berdasarkan sertifikat, dan kalau lahan ini sejak awal memang bermasalah, tidak mungkin akan terbit sertifikat,” beber dia.

Bambang, keluarga dekat Damanhuri menambahkan, tanaman pohon mangrove tersebut nantinya akan merusak kualitas garam. Sebab jika pohon itu sudah besar, akan mengganggu pengkristalan garam.

”Tapi kalau pohon itu kami cabut dan dimatikan, mereka (Perhutani, Red) pasti akan mempermasalahkan. Karena itu, seharusnya mereka juga tidak asal menanam pohon di lahan milik orang,” tegas Bambang.
Sementara itu, Humas Perum Perhutani KPH Madura Suhartono tidak mau memberikan penjelasan. Menurut dia, terkait penanaman pohon mangrove yang dipermasalahkan, sepenuhnya menjadi kewenangan Administratur KPH Madura.

”Lebih jelasnya silakan konfirmasi kepada administratur saja. Tapi yang bersangkutan masih keluar kota,” ujar Suhartono.

 RADAR MADURA

Nelayan Desak Para Perusak Hutan Mangrove di Perairan Sumut Ditindak

on Thursday, May 14, 2015

* Perusahaan Asing Dituntut Hentikan Penutupan 10 Paluh di Hamparan Perak dan Marelan
Jumat, 15 Mei 2015 | 10:24:11
Medan (SIB)- Nelayan tradisional Kelurahan Terjun dan Sei Pasir Medan mendesak DPRD Sumut bekerja sama dengan aparat terkait untuk segera menindak tegas perusahaan perusak lingkungan hutan mangrove, tempat berkembangnya ikan, udang dan kepiting, Perusahaan Manggrove menghabiskan sumber pencaharian nelayan.

"Perusahaan yang merusak lingkungan telah mendzolimi kami. Tempat ikan, udang dan kepiting, berkembang biak, yakni hutan bakau tempat kami mencari nafkah telah dirusak perusahaan perusak lingkungan. Kami minta aparat penegak hukum segera menindaknya," kata koordinator aksi Rahman saat berorasi di depan gedung DPRD Sumut, Selasa (12/5).

Kerusakan lingkungan itu dikarenakan  eksploitasi pengerukan pasir sungai dan penebangan pohon mangrove. Selain itu, perusahaan asing dan lokal di kawasan perairan Sumut, seperti Kecamatan Medan Marelan dan Kecamatan Hamparan Perak menutup 10 paluh (anak sungai), yakni Paluh Udang, Luka, Lumpur, Kurau, Besar, Pelakak, Sorong, Benteng, Tiga dan Paluh Babi. "Hentikan penutupan paluh dan penebangan mangrove serta pengerukan pasir. Buka kembali lahan tempat nelayan tradisional mencari nafkah," katanya.

Dalam kesempatan itu, Rahman menyampaikan kekecewaanya terhadap anggota DPRD Sumut yang sempat melihat kondisi limbah perusahaan namun hingga kini tidak ada tindakan. Disempaikanya juga kekecewaan kepada pemerintah Dinas Perikanan Deliserdang, Camat Hamparan Perak, Kepala Desa Palu Kurau yang diduga tidak menindaklanuti laporan nelayan yang dilengkapi dengan identitas pelapor.

 "Sudah pernah datang anggota dewan, tapi apa penyelesaianya sampai sekarang. Kami hanya dapat janji - janji, tapi tidak terealisasi" katanya kepada anggota Komisi A DPRD Sumut Sutrisno Pangaribuan dan Burhanuddin yang menerima aspirasi warga nelayan.

Burhanuddin dan Sutrisno dalam kesempatan itu meminta agar massa nelayan mengirimkan laporan resmi disertai data lengkap dan identitas pelapor. Hal itu untuk melengkapi prosedur, sehingga bisa ditindaklanjuti dalam rapat dengar pendapat Komisi A dengan mengundang pihak-pihak terkait.

"Kami minta agar ini dilaporkan secara lengkap. Biar dewan mengundang perusahaan perusak hutan mangrove dan penambang pasir beserta masyarakat nelayan yang dirugikan juga pihak terkait yang terlibat masalah perusakan ini," kata Sutrisno sembari meminta masyarakat nelayan bersabar menyikapi permasalahan ini.


HARIAN SIB

Check Page Rank of your Web site pages instantly:

This page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service

Locations of visitors to this page