Cara Cerdas Lestarikan Mangrove

on Wednesday, May 27, 2015





Bagaimana masyarakat di Kepulauan Tanakeke melestarikan mangrove patut menjadi pelajaran bagi kita semua. Masyarakat di pulau ini sangat sadar, ketika melestarikan mangrove, dampak baik akan dirasakan oleh mereka sendiri. Upaya pelestarian ini dimulai dengan membuat sebuah peraturan desa (perdes) tentang mangrove.\

Perdes konservasi mangrove di Kepulauan Tanakeke lahir karena kekhawatiran masyarakat dan pemerintahan desa terhadap kondisi mangrove yang  sudah menghawatirkan. Kekhawatiran masyarakat didukung oleh hasil penelitian mitra Oxfam dalam program Restoring Coastal Livelihood (RCL), yaitu Yayasan Konservasi Laut (YKL) dan Mangrove Action Project (MAP) yang menunjukkan bahwa laju kerusakan mangrove lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhannya. Hasil penelitian ini semakin mendorong masyarakat untuk menjaga kelestarian mangrove di Kepulauan Tanakeke.
Di Pulau Tanakeke sebagian besar tanaman mangrove sudah ada pemiliknya. Di awal lahan mangrove ini dulunya ada yang ditanami warga kemudian diklaim sebagai lahan miliknya, dan ada juga mangrove yang tumbuh secara alami. Jadi kepemilikan lahan mangrove sudah diturunkan dari generasi ke generasi. Kepemilikan ini seperti sebuah kesepakatan tidak tertulis, tetapi diakui oleh seluruh masyarakat.


Bagi masyarakat di Pulau Tanakeke mangrove menjadi aset keluarga. Nilai jual mangrove yang tinggi inilah yang kemudian membuat masyarakat tergiur untuk menebang semua pohon mangrove yang  biasanya diproduksi menjadi arang. Untuk memproduksi arang ini, biasanya pohon mangrove yang luasnya berhektar-hektar ditebang, dipotong, kemudian dibakar menjadi arang. Karena menjadi aset keluarga inilah, maka mangrove ini berpotensi suatu hari akan ditebang ketika pemilik lahan memerlukan dana yang besar.

Satu-satunya kawasan mangrove yang tidak diklaim oleh masyarakat di Pulau Tanakeke adalah Bangko Tappampang dengan luas 55,5ha. “Bangko Tappampang” yang berarti bakau melintang ini memang mempunyai posisi melintang di antara dua desa di Pulau Tanakeke yaitu Desa Tompotana dan Desa Rewataya. Sedangkan tiga desa lainnya (Desa Balandatu, Desa Macini Baji, dan Desa Mattirohbaji) di kepulauan ini tidak bersinggungan langsung dengan Bangko Tappampang.

Melihat kondisi mangrove yang sudah menurun dan perilaku masyarakat yang banyak menebang lahan mangrovenya, faktor inilah yang mendorong masyarakat dan forum pemerintah Desa Kepulauan Tanakeke untuk membangun sebuah kesepahaman bersama mengenai pelestarian dan pengelolaan mangrove. Kesepahaman bersama ini mewujud dalam bentuk peraturan desa (perdes) yang melibatkan masyarakat dari 5 desa di kepulauan Tanakeke.

Proses pembuatan perdes mangrove ini dimulai dari tahun 2013, cukup memakan waktu lama mengingat proses membangun kesepahaman bersama ini melibatkan warga dari lima desa. Oxfam, YKL, dan MAP yang tergabung dalam program RCL mendampingi masyarakat tentang bagaimana proses pembuatan perdes. Kemudian mengenai hal-hal teknis dalam konservasi mangrove seperti berbagai cara rehabilitasi mangrove, dan mempelajari alur hidrologi kawasan mangrove.

Mangrove mempunyai peranan penting bagi daerah-daerah pesisir, yaitu sebagai penahan abrasi dan angin, juga menjadi tempat perkembangbiaan beberapa habitat ikan dan hasil laut lainnya yang tentunya bermanfaat menunjang kehidupan masyarakat pesisir. Perdes ini kemudian mengatur agar tidak terjadi penebangan mangrove secara liar dan sewenang-wenang yang dilakukan warga, serta mengedukasi masyarakat agar lebih memahami tentang pentingnya pelestarian mangrove.

Menurut Lukman (Fasilitator YKL) menyampaikan proses rehabilitasi mangrove di Kepulauan Tanakeke diarahkan agar bagaimana mangrove bisa tumbuh secara alami. Apa yang sudah dilakukan adalah mengatur alur hidrologi di kawasan mangrove. Ketika biji yang akan menjadi bakal pohon mangrove ini jatuh dari pohonnya dan terbawa aliran air, maka aliran air diarahkan agar bakal pohon baru tersebut tumbuh di lokasi yang diharapkan. Cara alami ini memang membutuhkan waktu yang cukup lama. Jika kemudian setelah dievaluasi proses alami ini dianggap kurang berhasil, maka akan dilakukan intervensi manusia misalnya dengan cara tanam langsung.

Perdes mangrove lebih lanjut menjelaskan bagaimana tata cara penebangan. Penebangan mangrove (walaupun itu lahan milik pribadi) tetap harus menyesuaikan dengan perdes yang berlaku. Setiap penebangan dengan ukuran mulai dari  4 m2 diwajibkan untuk menyisakan 1 pohon induk. Kebijakan ini dibuat, agar regenerasi mangrove tetap berlangsung, dengan asumsi  pohon induk ini akan beregenerasi dan calon mangrove baru bisa tumbuh. Jika ada warga yang dengan sewenang-wenang menebang mangrove, maka bisa dikenakan sanksi. Bagi pemilik lahan mangrove yang menebang mangrovenya tanpa menyisakan beberapa pohon inti, maka dikenakan sanksi berupa denda sebesar 2 kali lipat dari harga jual hasil penebangan tersebut. Dan bagi yang menebang mangrove di lahan orang lain, akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp. 100.000,- per pohon.  Jika ada diketahui ada yang melanggar peraturan desa ini, uang denda akan dibayarkan ke kas desa sebagai pendapatan kas desa dan digunakan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat desa.

Setelah perdes ini terbentuk dan disepakati bersama, masing-masing pemerintahan desa melakukan sosialisasi terhadap warga desanya. Seperti yang dilakukan Tajuddin Erang-Kepala Desa Tompotana melakukan sosialisasi di Desanya dengan menunjuk perwakilan dusun untuk menyebarkan informasi mengenai aturan pengelolaan mangrove ini. Tajuddin juga memanfaatkan momen berkumpul warga seperti saat shalat Jumat sebagai sarana sosialisasi perdes ini.

Setelah satu tahun berjalan perdes ini berlaku di Kepulauan Tanakeke, dampaknya mulai terasa. Perilaku masyarakat kepulauan Tanakeke yang seringkali menebang mangrove secara sembarang, kini mulai tereduksi. Warga juga menjadi sadar perlunya pengelolaan mangrove yang baik. Kesadaran masyarakat yang mulai tumbuh juga dilihat dari warga yang ikut memantau keamanan lokasi konservasi mangrove di Bangko Tappampang. Bangko Tappampang terbagi dalam zona inti, zona penyangga, dan zona rehabilitasi. Warga di Kepulauan Tanakeke ini mempunyai jatah 10 batang pohon mangrove yang bisa didapatkan di zona rehabilitasi. Itupun dengan kewajiban menanam kembali pohon mangrove sebagai pengganti. Jika ada warga yang masuk ke wilayah Bangko Tappampang dan diketahui menebang sejumlah pohon, maka warga yang melihat akan melapor pada kepala desa yang bersangkutan. Jika mangrove yang diambil lebih dari ketentuan yang diperbolehkan, maka kemungkinan akan dikenakan sanksi.

Kesepahaman bersama ini lah yang menjembatani komunikasi antara warga dan pemerintahan desa di lima desa Kepalauan Tanakeke. Proses pembuatan perdes yang partisipatif dan cukup mengakomodir kepentingan masyarakat mendorong kesepahaman bersama ini dijalankan oleh warganya. Karena masyarakat Kepulauan Tanakeke sadar betul, ketika mangrove di desanya dalam kondisi baik maka akan mendatangkan manfaat bagi mereka sendiri.

KOMPASIANA

0 komentar:

Post a Comment

Check Page Rank of your Web site pages instantly:

This page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service

Locations of visitors to this page