Kabupaten
Mempawah, Kalimantan Barat, merupakan daerah pesisir. Panjang garis
pantainya mencapai 120 kilometer dan seluruhnya relatif rawan akan
abrasi. Sudah 20 tahun terakhir, pantai di Mempawah hilang sekitar 1,5
kilometer. Kondisi itu menggerakkan sukarelawan dari berbagai kelompok
masyarakat untuk menanam mangrove demi menyelamatkan pantai dari abrasi.
Minggu (22/3) pagi itu, ratusan anggota
klub motor dan mobil berkumpul di depan Kantor Desa Sengkubang,
Kecamatan Mempawah Hilir, Mempawah. Mereka adalah sukarelawan yang
selalu aktif menanam mangrove atau bakau di garis pantai Mempawah.
Mereka sebagian besar berasal dari Kota Pontianak.
Mereka ada yang sudah datang sehari
sebelumnya. Ada pula yang berangkat dini hari menempuh perjalanan
sekitar 67 kilometer dari Pontianak, ibu kota Kalbar. Jarak jauh itu tak
menghalangi semangat mereka untuk berkontribusi terhadap lingkungan
yang sudah rusak.
Sebelum menuju lokasi penanaman, mereka
memulai meneriakkan yel-yel ”Sahabat... Alam.... Alam.... Sahabat.
Kita... Sahabat Alam”. Mereka pun bergegas menuju lokasi penanaman
dengan membawa bibit mangrove jenis akar jangkar (Rhizophora). Mangrove
jenis akar jangkar dipilih karena cocok untuk menangkal abrasi di
pantai. Akarnya kuat dan mampu menahan terjangan ombak.
Sebelum menanam, anggota dari Mempawah
Mangrove Conservation (MMC), organisasi yang berinisiatif menyelamatkan
daerah pesisir, memberi pengarahan terlebih dahulu kepada sukarelawan
tentang cara menanam mangrove yang benar sehingga bisa tumbuh dengan
baik.
Ratusan anggota klub motor dan mobil
yang biasanya berjibaku di jalanan memacu kendaraan mereka, kini
berjibaku di lumpur. Bibit mangrove sebanyak 1.500 batang pun satu per
satu ditanam di tengah teriknya matahari.
”Kondisi alam di Kalbar sudah
memprihatinkan, baik hutan maupun pantai. Itulah yang membuat kami
tergerak untuk berkontribusi menyelamatkan lingkungan,” ujar Sony
Aprizal, Ketua Ertiga Club Indonesia, klub mobil Pontianak.
Hendi Some, Ketua Khatulistiwa Motor
Bebek 70, menuturkan, selama ini klub motor hanya membuat program
penjelajahan dari suatu wilayah ke wilayah lain. Terkadang identik
dengan kejahatan jalanan meski tidak semuanya seperti itu. ”Kami ingin
melakukan hal yang lebih bermanfaat bagi sesama dan lingkungan. Ikut
menanam mangrove salah satu yang bisa kami lakukan. Sudah tiga tahun
kami berkontribusi dalam penanaman mangrove di Mempawah,” ujar Hendi.
Ditebang
Raja Fajar Azansyah, Ketua MMC,
menuturkan, hutan mangrove di Mempawah rusak karena ditebangi masyarakat
sekitar untuk dijadikan kayu bakar. Masyarakat menebang karena tidak
tahu betapa pentingnya fungsi hutan bakau untuk menyangga daerah pantai
dari abrasi.
Bahkan, abrasi yang dahsyat kini
memisahkan sebagian wilayah Desa Penibung, desa lainnya di Mempawah
sejauh 100 meter lebih dari desa induknya. Bagian wilayah desa itu lalu
seperti pulau tersendiri yang di kelilingi perairan. Abrasi yang terjadi
nyaris membelah jalan utama yang menghubungkan Kota Pontianak dengan
Kota Singkawang.
Untuk itulah, Fajar dan beberapa
rekannya di Mempawah berinisiatif menyelamatkan pantai dengan menanam
mangrove. ”Kami mulai menanam mangrove sejak 2011 di sepanjang pantai
Mempawah. Total saat ini sudah sekitar 10.000 bibit mangrove yang kami
tanam bersama para sukarelawan,” paparnya.
Para anggota klub motor dan mobil
merupakan sukarelawan yang setia dalam setiap penanaman mangrove, selain
masyarakat yang tergabung dalam MMC. Ada pula pelajar dan mahasiswa
dari sejumlah universitas di Kalbar.
Fajar menargetkan penanaman mangrove
sebulan dua kali. Namun, terkadang saat ada bantuan keuangan atau bibit
dari sejumlah pihak, bisa hingga enam kali penanaman. Seiring waktu,
inisiatif dari masyarakat sekitar pun kian bertambah.
Selain Mempawah, Kabupaten Sambas juga
merupakan kabupaten yang pantainya rawan abrasi. Berdasarkan data Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kalbar, Kabupaten Sambas juga berpotensi
rawan abrasi. Diperkirakan terdapat 3 lokasi potensi rawan abrasi
pantai, yaitu pantai di Kecamatan Selakau, Pemangkat, dan Paloh.
Fajar mengakui, sulit untuk menjaga
konsistensi masyarakat agar tetap menjaga kelestarian mangrove di
pantai. Untuk itu, agar masyarakat memiliki motivasi menjaga
keberlangsungan mangrove, muncul ide untuk mengolah buah mangrove agar
bernilai ekonomis.
Pada pertengahan 2014, Fajar pun
membentuk kelompok pengolahan dodol mangrove. Anggota kelompok itu
terdiri atas ibu-ibu di sekitar pantai Mempawah. Jika ada produk
hilirnya, ada kebutuhan bahan baku dari buah mangrove. Setelah ada
kebutuhan terhadap buah mangrove, maka muncul usaha untuk menjaga dan
menanam mangrove.
Pemasaran dodol mangrove kini mulai
menembus pasar di Kalbar, antara lain dari Tangrang, Banten, dan Papua.
”Untuk pesanan dari Tangerang, kami masih bisa mengirim karena ongkos
tidak mahal, tetapi Papua terhadang biaya mahal,” kata Suaidah, pembuat
dodol.
Saat hari raya, pesanan meningkat hingga
60 kilogram (kg). Harga 1 kg dodol mangrove sekitar Rp 75.000. Satu kg
buah mangrove setelah diolah bisa menghasilkan 3 kg dodol. Kelompok
pembuat dodol mangrove pada salah satu desa di Mempawah, yaitu Desa
Bakau Besar, menyisihkan hasil penjualan dodol. Dari harga Rp 3.000 per
bungkus itu, Rp 1.000 disisihkan untuk konservasi mangrove. Uang itu
digunakan untuk membeli bibit mangrove dan selebihnya menjadi pendapatan
masyarakat.
Jadi langkah kecil sejumlah kelompok
masyarakat patut diapresiasi karena menjaga wilayah dari terjangan
gelombang. Langkah itu tidak hanya dengan menanam baku, tapi juga
menjadikan mangrove sebagai sumber penghasilan warga. Perlindungan
kawasan dari berbagai gangguan pun akan semakin ketat karena dipagari
peraturan desa tentang pengelolaan daerah pesisir.
Oleh: Emanuel Edi Saputra
Sumber: Kompas | 20 Mei 2015
0 komentar:
Post a Comment